Oleh Anni McLeod dan Jan Hinrichs
Diterjemahkan oleh: Agna D. Lantria
DISCLAIMER
This article was translated to enable Bahasa Indonesia readers to better understand the topic explained inside the article in their native language. The translator made no profit in translating the article.
Pengenalan
Epidemi H5N1 HPAI yang telah menyebar di benua Asia, Eropa dan Afrika sejak 2003 yang diikuti oleh muncul dan menyebarnya beberapa subtipe influenza baru. Meskipun publik telah semakin meningkat pengetahuannya tentang ancaman kesehatan yang ditimbulkan oleh influenza dari hewan, kepanikan terus menerus berlangsung. Kerugian secara ekonomi terus ada bahkan di wilayah yang tidak mengalami wabah, atau wilayah yang telah dilaporkan ada penyakit dan telah di stamping out, atau yang telah dilanda virus influenza non-zoonotic strain. Kemunculan pandemi virus H1N1 di Meksiko mengakibatkan kampanye vaksinasi masal pada manusia di seluruh dunia pada bulan Oktober 2009 [80]. Low pathogenic avian influenza (LPAI) H7N9 telah menyebabkan penyakit yang parah pada manusia dan menyebabkan penurunan mendadak permintaan unggas sejak pertama kali di deteksi di China pada bulan Februari 2013 [61]. Meskipun wabah influenza kuda tidak mengancam kesehatan manusia, program pengendalian penyakit ini telah menyebabkan gangguan bisnis peternakan kuda pribadi di Australia, yang selanjutnya menimbulkan kerugian finansial sangat besar. Hal ini menyebabkan pemerintah Australia memberikan pertolongan pembayaran finansial pada tahun 2007 [69]. Influenza pada hewan menyebabkan kerugian yang besar, dan perkiraan kerugian potensialnya lebih besar lagi. Potensi zoonotik dan pandemik yang dimiliki oleh virus influenza hewan yang baru muncul telah melanjut kepada peningkatan kolaborasi antara sektor kesehatan manusia dan hewan, selain juga memberikan tekanan pada stakeholder bidang peternakan untuk meningkatkan keamanan produksi ternak dan rantai nilai ekonomi terkait.
Sebagian dampak ekonomi timbul dikarenakan ketakutan bahwa virus influenza hewan sewaktu-waktu dapat menyebabkan pandemi global dengan transmisi yang terjadi antar manusia. Banyak virus influenza hewan diketahui bersirkulasi pada spesies yang berbeda, akan tetapi tidak semuanya bersifat zoonosis. Beberapa diantaranya memiliki virulensi rendah, dan hanya sebagian kecil dari virus-virus ini yang diharuskan untuk dilaporkan pada otoritas veteriner terkait yang bertanggung jawab terhadap program pengendaliannya. Virus-virus influenza hewan yang bervirulensi rendah menurunkan produktivitas dari hewan ternak yang terinfeksi dan dapat mengurangi efektivitas vaksinasi terhadap penyait yang umum pada ternak. Virus LPAI H7N9 yang baru-baru ini muncul bersifat zoonosis. Tabel 3.1 memberikan gambaran subtipe virus avian influenza yang paling umum ditemui pada unggas. Dengan mengurangi prevalensi influenza pada hewan ternak juga akan mengurangi kemungkinan penyusunan genetik virus (genetik reassortment) yang mampu meimbinuljan virus yang dapat menular antar manusia. Karena itulah program kontrol virus influenza pada hewan baik yang bersifat zoonosis ataupun tidak tetap memiliki manfaat dalam rangka melindungi kesehatan manusia. Sebuah contoh yang baru-baru ini terjadi adalah dengan munculnya LPAI H7N9 yang bersifat zoonosis. Kemunculannya difasilitasi dengan tersebar luasnya virus LPAI H9N2 berpatogenesis rendah dan bersifat non zoonotik pada sistem produksi unggas [60].
Intervensi terhadap pandemi telah memunculkan pendanaan dari komunitas pendanaan internasional, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah hewan terinfeksi dan juga dengan begitu membatasi ekposure manusia terhadap virus. Antara tahun 2005 dan 2009, sekitar 3.9 milyar US telah disalurkan oleh badan donasi baik bilateral atau multilateral untuk pengendalian pandemi influenza [83]. Sementara penguatan pelayanan kesehatan dengan dana ini mungkin memberikan keuntungan diluar pengendalian influenza saja, intervensi kontrol pada rantai nilai terkait hewan ternak telah menyebabkan efek negatif pada pelaku usaha didalam rantai nilai ekonomi ini dan juga pemusnahan hewan ternak. Untuk menggunakan dana yang diberikan dengan efektif, sangat penting untuk memahami faktor sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesuksesan dan dampak program pengendalian penyakit. Ketidakjelasan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh virus-virus berpatogenesis rendah pada produksi hewan ternak merepresentasikan tantangan utama dalam melibatkan stakeholder bidang peternakan dalam membuat program kontrol yang diarahkan untuk kesehatan manusia. Bagian ini membahas kepentingan-kepentingan ekonomi yang dihadapi oleh otoritas pengambil keputusan yang harus berhadapan dengan infeksi virus influenza hewan yang berbeda sebagai penyakit ternak, sementara juga harus waspada terhadap ancaman kemanusiaan dan ancaman ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi pada manusia.
Tabel 3.1 Subtipe virus Influenza A yang bersirkulasi pada unggas dan ditemukan secara sporadis pada manusia [26, 54, 82].
Subtipe | Penyakit pada manusia | Dampak pada hewan yang relevan dengan analisis ekonomi |
H5N1 H5N3 H5N6 H5N8 H7N9 H9N2 H10N8 | Kasus fatal pada manusia telah dilaporkan Tidak ada kasus pada manusia yang dilaporkan Kasus pada manusia telah dilaporkan Tidak ada kasus pada manusia yang dilaporkan Kasus fatal pada manusia telah dilaporkan Gejala ringan pada manusia telah dilaporkan Kasus fatal pada manusia telah dilaporkan | Mortalitas tinggi telah dilaporkan Mortalitas tinggi telah dilaporkan Mortalitas tinggi telah dilaporkan Mortalitas tinggi telah dilaporkan Tidak ada gejala klinis yang dilaporkan Mortalitas dan morbiditas bervariasi telah dilaporkan ? |
Keuntungan (Benefit) dan Biaya (Cost) upaya pengendalian avian influenza
Ada tiga tipe manfaat program kontrol influenza pada hewan. Influenza pada hewan meliputi virus influenza babi dan kuda yang bervirulensi rendah, LPAIV, dan HPAIV. Perkiraan kerugian terganggunya kegiatan ekonomi lainnya akibat social distancing dan biaya pencegahan lainnya juga sama spekulatifnya. Epidemi H1N1 pada tahun 2009 dianggap sebagai pandemi yang ringan, tetapi tetap meyebabkan lebih dari 18.000 kematian yang terkonfirmasi selama fase pandemi [79], diperkirakan oleh salah satu studi sebagai setara dengan kehilangan sebanyak 334.000 dan 1.973.000 waktu kehidupan per tahun (years of life lost/YLL) [76]. Meskipun pandemi di masa lalu dapat memberikan pendoman kasar potensi jumlah waktu hidup yang hilang, cara ‘menilai’ waktu hidup yang hilang menyodorkan tantangan baru. Penilaian non-keuangan seperti YLL atau disability adjusted live years (DALY) dapat digunakan untuk memprioritaskan penggunaan sumber daya diantara beberapa penyakit. Pendekatan penilaian keuangan lainnya adalah dengan menggunakan nilai statistik nyawa yang terselamatkan berdasarkan data asuransi jiwa. Aplikasi pendekatan ini menjustifikasi investasi sebesar 1 milyar dollar amerika serikat untuk mitigasi resiko virus influenza jika rata-rata jumlah orang yang terselamatkan sebanyak 654 orang per tahun [71]. Estimasi ekonomi lain yang menghitung dampak potensial akan sangat luas, dan hal ini berakibat pendanaan intenasional yang cukup besar untuk mengontrol pandemi pada hewan dan manusia yang terutama berasal dari virus-virus influenza hewan yang bersifat zoonosis, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya dibawah judul ‘dampak potensial dari influenza manusia’.
Net benefit dari terhindarnya pandemi pada manusia
Sulit untuk memperkirakan manfaat potensial dari pencegahan pandemi pada manusia. Perkiraan berkurangnya jumlah potensial kematian manusia yang dicegah dengan program kontrol bersifat sangat sensitif dengan asumsi dalam model prediksi epidemiologi.
Net Benefit dari terhindarnya manusia dari penyakit yang ditularkan langsung dari hewan ternak
Kasus dan kematian pada manusia yang disebabkan oleh virus-virus influenza hewan, meskipun tragis, sampai saat ini berjumlah hanya sedikit dan tidak menjustifikasi penganggaran pengeluaran yang besar untuk kontrol penyakit. Terdapat 15.781 kematian yang tercatat akibat malaria pada tahun 2013 [81], sementara HPAI H5N1 menyebabkan 402 kematian dan LPAI H7N9 menyebabkan 178 kematian ketika tulisan ini dibuat.
Keuntungan bersih dari meningkatnya produktivitas hewan ternak melalui pencegahan penyakit
Telah disetujui secara luas bahwa kontrol penyakit pada sumbernya yaitu hewan ternak akan menjadi cara yang paling efektif untuk mencegah munculnya pandemi pada manusia yang bersumber dari hewan, dan Bab ini berfokus terutama kepada dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit dan metode kontrol penyakit pada sektor peternakan. Kontrol harus dicapai dengan biaya yang se-efektif mungkin dan dengan hambatan minimun terhadap kehidupan manusia dan ekonomi.
Banyak dari virus-virus influenza hewan seperti LPAIV H7N9 yang bersifat zoonosis, pandemi virus influenza H1N1, dan LPAI H9N2 yang non-zoonotik, sering menyebabkan sindrom penyakit yang sangat ringan atau bahkan hampir tidak terlihat. Karena itulah pengurus ternak dan pedagang ternak seringkali tidak menyadari kerugian produktivitas yang tidak terlihat ini. Intervensi kontrol untuk virus influenza hewan yang bervirulensi rendah memerlukan kepatuhan dari para penggaduh ternak. Ketiadaan kerugian yang nampak menyebabkan ketiadaan insentif kepatuhan dan ini berarti permasalahan produksi ternak dan pemasaran dengan kisaran yang lebih luas perlu untuk ditangani terlebih dulu.
Sebuah pola tipikal dari efek sosio-ekonomi yang dimulai sebelum munculnya wabah dan melanjut menuju upaya pengendalian jangka panjang ditampilkan pada Tabel 3.2. Lamanya waktu pelaksanaan dan intensitas setiap fase dipengaruhi oleh virulensi setiap tipe virus influenza hewan, struktur sektor peternakan, dan kapasitas respons dari sistem kesehatan hewan.
Tabel 3.2 Fase penyakit dan permasalahan sosio-ekonomi wabah influenza hewan yang harus dilaporkan
Masalah sosio-ekonomi | Pre-wabah | Wabah | Rehabilitasi | Pencegahan jangka panjang | ||
Shock Pasar | ||||||
Culling/Kompensasi | ||||||
Efek kontrol pergerakan | ||||||
Biaya vaksinasi | ||||||
Biaya restocking | ||||||
Investasi restrukturisasi | ||||||
Akses pasar jangka Panjang | ||||||
Pembiayaan kesehatan hewan |
Shock pasar adalah efek ekonomi pertama yang muncul dan dapat terjadi bahkan tanpa terjadinya wabah yang diciptakan dari ketakutan konsumen. Jika wabah terjadi, setiap elemen dari proses pengendalian penyakit memiliki biaya yang terkait dengan dan efek pada mata pencaharian masyarakat, dimulai dari pelaporan penyakit, stamping out dengan culling atau mengontrol perpindahan hewan, memberikan kompensasi untuk hewan yang dimusnahkan, dan selanjutnya mungkin memperkenalkan program vaksinasi. Karakteristik yang sangat berbeda diantara hewan ternak dan penggaduh ternak merepresentasikan tantangan besar dalam membuat desain program pengendalian penyakit yang memaksimalkan keuntungan pengendalian sekaligus pada saat yang sama juga menyeimbangkan kepentingan pelaku usaha kecil dan besar. Ketika penyakit telah dapat dikendalikan, rehabilitasi sektor peternakan dimulai. Tahapan ini cukup mudah jika wabah telah dapat dikendalikan dengan cepat, akan tetapi menjadi lebih kompleks apabila dalam kondisi wabah yang berulang. Jika terdapat rantai nilai mata pencaharian yang kompleks dan penyakit yang terus-menerus ada, akan ada tekanan terhadap pemerintah untuk memperkenalkan upaya pengendalian jangka panjang yang akan merestrukturisasi sektor peternakan menjadi lebih aman dari segi biosekuriti. Meskipun begitu, proses ini mengancam peternak kecil, dimana dia akan mempersulit peternak kecil untuk memiliki ternak, lalu menghilangkan mata pencaharian mereka. Proses ini juga mengharuskan adanya investasi untuk menghidupkan kembali sistem kesehatan hewan yang telah lama terabaikan.
Estimasi net benefit (keuntungan bersih) dari terhindarnya hewan ternak dari penyakit harus mengimbangi dampak penyakit terhadap dampak proses penanggunalangan, dan dapat menaksir dampak differensial oleh sektor dan sepanjang rantai nilai ekonomi. Secara ideal, kesemuanya harus memuat hal-hal berikut ini:
- Dampak bersih terhadap shock pasar. Shock terjadi saat permintaan dan harga terganggu oleh ketakutan konsumen terhadap penyakit atau larangan impor mitra dagang. Proses pengontrolan penyakit juga dapat menyebabkan gangguan pasar dengan pembatasan pergerakan barang dan penjualan atau membesar-besarkan ketakutan konsumen karena komunikasi yang negatif, dan dapat memiliki dampak yang lebih luas sampai keluar wilayah tertular.
- Dampak bersih terhadap produktivitas peternakan. Peningkatan produktivitas yang didapat dari pengendalian penyakit harus mengimbangi kerugian yang disebabkan biaya proses pengendalian penyakit. Efek ini paling besar pada wilayah dimana wabah terjadi, berefek pada produsen ternak dan pihak lain yang secara langsung terkait melalui rantai nilai ekonomi. Akan ada efek yang lebih luas jika depopulasi dilakukan secara ekstensif.
- Biaya penanganan hewan ternak yang berpenyakit. Hal ini meliputi pengobatan (jika mungkin) dan pembuangan karkas.
- Biaya langsung dari proses pencegahan dan pengendalian penyakit. Biaya-biaya ini termasuk biaya sumber daya manusia, biaya modal, dan biaya barang habis pakai untuk pelaksanaan surveilans, culling dan pembuangan karkas, kontrol pergerakan hewan dan vaksinasi.
- Biaya rehabilitasi. Mengembalikan operasional pasca wabah mendatangkan biaya restocking diatas biaya normal untuk mepertahankan siklus produksi. Terlabih lagi, biasanya memerlukan investasi manajemen biosekuriti yang harus dilakukan oleh peternak, pedagang ternak, dan manajer pasar, sebagai bagian dari usaha menghindari berulangnya kejadian penyakit.
- Dampak restrukturisasi. Diluar dampak langsung penanganan penyakit, bisa saja terjadi perubahan struktur dari sektor peternakan sebagai akibat dari pengetatat pengaturan terkait kesehatan hewan dan keamanan pangan, atau pembatasan pada beberapa tempat dimana proses produksi dan prosesing dilakukan. Upaya ini memerlukan investasi dan akan berakibat pada peningkatan produktivitas untuk beberapa pihak dan pengurangan akses pasar pada pihak lainnya. Hal ini juga dapat berakibat hilangkan sumber daya genetik hewan, meskipun dampak ini belum pernah dievaluasi.
Jika strategi kontrol penyakit didesain dengan baik dan dapat diimplementasikan, kerugian yang ditimbulkan dari program pengendalian penyakit seharusnya lebih kecil daripada yang seharusnya terjadi dari wabah yang tidak terkontrol, akan tetapi bisa terjadi ketimpangan pada dampak terhadap stakeholder yang berbeda. Kepatuhan mengikuti peraturan pengendalian penyakit akan tergantung pada manfaat yang dirasakan setiap stakeholder. Sebagai contoh, penyediaan kompensasi tidak mengurangi kerugian produksi dari hewan yang dimusnahkan, akan tetapi membagi kerugian antara peternak dan lainnya dalam masyarakat, memberikan insentif kepada peternak untuk bekerja sama dengan tim pemusnahan.
Analisa lengkap benefit-cost (keuntungan dan biaya) dan efektivitas pembiayaan (cost-effectiveness) upaya pengendalian penyakit secara global terhadap influenza hewan yang bersifat zoonosis belum pernah dilakukan. Estimasi awal terhadap infeksi H5N1 telah dibuat oleh beberapa negara dan wilayah pada berbagai tahapan penyakit. Beberapa diantaranya memberikan laporan mendetail untuk satu negara pada suatu waktu, dan yang lainnya berbicara tentang potensi pembiayaan sampai jutaan dolar, tetapi tidak ada satupun yang memberikan gambaran secara menyeluruh.
Contoh skala kerugian yang disebabkan oleh HPAI H5N1 terhadap sektor perunggasan telah dilaporkan untuk epidemi HPAI H5N1 yang terjadi di Nepal pada tahun 2013, dan dibandingkan dengan pembiayaan upaya respons penyakit jangka pendek, demikian juga dengan investasi jangka panjang terhadap infrastruktur pelayanan kesehatan pada hewan dan manusia [41]. Sebelum onset epidemi dimulai, sektor unggas komersial telah mengalami pertumbuhan dinamis populasi unggas komersial sebesar 50% dalam 3 tahun. Keluaran tahunan yang dicapai sebesar 25.4 juta telur dan 1,9 juta ayam broiler, setara dengan 388 juta USD atau 2.04% produk domestik bruto negara Nepal. Lebih dari 1,7 juta unggas dimusnahkan atau mati selama terjadinya wabah HPAI pada tahun 2013, dan upaya pengendalian berhasil mencegah penyebaran penyakit lebih luas lagi ke peternakan-peternakan lain. Kerugian dari unggas yang hilang memiliki nilai pasar domestik sebesar 9 juta.
Sekitar 40% breeding stock ayam broiler dan sekitar 15% breeding stock ayam layer bernilai tinggi telah musnah. Hal ini berakibat kurangnya stok ayam pengganti untuk produksi daging dan telur. Nepal memiliki sektor produksi unggas komersial yang sangat terspesialisasi yang tergantung pada impor parent stock berumur satu hari. Hilangnya parent stock berakibat berkurang produksi lebih lama setelah HPAI berhasil ditanggulangi, karena memerlukan waktu lama untuk memelihara unggas sampai dapat berproduksi kembali dan memproduksi telur untuk menghasilkan progeny stock. Pemulihan produksi memakan waktu 9 bulan dan selama periode ini pelaku usaha dalam rantai nilai ekonomi harus bertahan menutupi hilangnya pendapatan selama hewan tidak dapat berproduksi.
Nilai produksi perunggasan menurun selama periode ini, berakibat nilai keluaran yang hilang sebesar 119 juta USD, yang setara dengan 0,63% produk domestik bruto tahunan negara Nepal. Hal ini menggambarkan kerugian ekonomi nasional. Peternak unggas menderita kerugian margin kotor sebesar total 38,8 juta dolar amarika selama 9 bulan berkurangnya output. Mereka juga dapat mengalami kehilangan kesempatan penambahan nilai karena wabah memperlambat dinamika pertumbuhan produksi unggas komersial. Sangat mungkin bahwa berkurangnya nilai produksi unggas domestik sampai batas tertentu digantikan oleh impor baik formal maupun non formal dari negara lain, dan dengan mengganti daging ayam dengan daging lain, karena Nepal utamanya merupakan negara pengimpor ternak.
Kapasitas dan infrastruktur pelayanan kesehatan manusia di Nepal telah didukung dengan pendanaan dari donor sebesar 23 milyar USD yang dialokasikan untuk pengendalian dan pencegahan influenza hewan antara tahun 2006 dan 2014. Sangat spekulatif untuk memulai perkiraan skala kerugian pada sektor perunggasan tanpa adanya investasi tambahan pada pelayanan kesehatan hewan dan manusia. Meskipun begitu, skala kerugian sektor perunggasan pada tahun 2013 jika dihubungkan dengan investasi pengendalian dan pencegahan penyakit sebesar 23 milyar USD sepanjang periode 7 tahun mengindikasikan keuntungan yang potensial dalam rangka pencegahan kerugian sektor perunggasan jika salah satu epidemi dengan skala yang sama berhasil dicegah.
Salah satu kesulitan dalam mengestimasikan kerugian secara global bermula dari dari data kerugian akibat dari mortalitas dan morbiditas dikarenakan penyakit yang tidak spesifik dan tidak reliabel. Estimasi sampai saat ini mencatat bahwa sekitar 232 juta unggas telah mati atau telah dimusnahkan dalam upaya pengendalian wabah HPAI H5N1 dimulai dari awal tahun 2004 sampai oktober 2006 [27]. Gambaran ini mungkin dibawah angka sebenarnya, dan tidak mencakup kematian dari virus LPAI yang terjadi disaat bersamaan. Sekitar 40% dari seluruh kejadian penyakit HPAI H5N1 yang dilaporkan ke database United Nations Food and Agriculture Organization (FAO) tidak melaporkan jumlah kematian atau jumlah hewan yang dimusnahkan. Perkiraan yang dibuat berdasarkan data proxy seperti survei rumah tangga atau angka sensus pertanian diperumit oleh fakta bahwa penyakit menunjukkan perilaku berbeda dalam setiap sistem produksi. Efek LPAI terhadap produktivitas terkadang tidak dikenali, atau tidak ada keharusan untuk melaporkannya. Nilai pasar dari hewan ternak sangat berbeda bahkan untuk spesies yang sama. Tipe produksi dan umur hewan ternak yang mati dan dimusnahkan tidak biasanya dilaporkan. Kerugian dari contoh yang diambil dari Nepal diatas merupakan akibat dari kematian dan pemusnahan unggas dengan nilai pasar berkisar dari kurang dari 1 USD untuk anak ayam broiler sampai lebih dari 25 USD untuk parent stock ayam broiler.
Selanjutnya pada Bab ini akan didiskusikan secara lebih mendetail efek ekonomi utama yang telah diidentifikasi pada bagian ini. Selanjutnya Bab ini akan membahas tentang efek potensial influenza hewan pada manusia yang dapat dihindari dengan menanggulangi avain influenza pada unggas, kontribusi keragaman sektor perunggasan terhadap dampak avian influenza, efek dari shock pasar, efek pada keamanan pangan dan mata pencaharian, biaya dan hilangnya produktivitas yang terkait dengan pengendalian wabah, proses restoking, dan efek sosio-ekonomi dari proses restrukturisasi.
Dampak potensial influenza manusia
Sangat mungkin bahwa ancaman berhentinya perkembangan dunia akan berasal dari pandemi influenza pada manusia atau perang dunia [68]. Influenza hewan memiliki potensi memicu pandemi flu manusia berikutnya dan hal ini adalah faktor terbesar yang berkontribusi pada kekhawatiran terkait influenza dari hewan. Dalam istilah sosial dan kemanusian, pandemi pada manusia sangat menghancurkan, dimana dampak dari wabah yang minor seperti severe acute respiratory syndrome (SARS) pada tahun 2003 yang membunuh kurang dari 800 orang [11], akan tetapi berhasil mengganggu perekonomian dan mengancam nyawa warga negara-negara Asia Tenggara dan Kanada [14, 20]. Pandemi influenza manusia pada tahun 1918-1919, 1957, dan 1968 mungkin telah membunuh 100 juta, 2 juta dan 1 juta orang. Jika dihitung dengan angka YLL, pandemi H1N1 pada tahun 2009 diperkirakan setara dengan pandemi tahun 1968 [76].
Efek pandemi tergantung bukan hanya pada berapa jumlah orang yang mati, tetapi juga pada distribusi demografi kesakitan dan kematian. Infeksi dengan proporsi tinggi pada orang-orang dalam usia produktif, seperti yang terjadi pada infeksi HIV/AIDS, memiliki potensi menyebabkan kerusakan ekonomi jangka panjang. Jika pandemi flu manusia terjadi, tidak dapat diprediksikan kelompok umur mana yang akan terdampak paling parah. Dengan begitu banyak ketidakpastian ini, sangat tidak mungkin untuk membuat prediksi akurat terhadap dampak ekonomi dari setiap pandemi baru. Bank Dunia [8] telah mengestimasikan bahwa pandemi flu yang menyebabkan 71 juta kematian berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi sebesar sekitar 3 triliyun USD. Salah satu dampak jangka panjang dari pandemi adalah naiknya jumlah rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan [5], dan rendahnya investasi kesehatan pada negara-negara miskin [59] menimbulkan kekhawatiran.
Efek ekonomi dari pandemi sepertinya akan dimulai dengan terganggunya bisnis dan ekonomi, dan akan menimbulkan permintaan yang tinggi terhadap barang dan jasa tertentu (melalui tindakan menimbun barang-barang penting) dan tiba-tiba menimbulkan berkurangnya permintaan barang dan jasa yang lainnya (misalnya hiburan, restoran dan hotel). Diperlukan rencana melibatkan nasional dan korporasi untuk mengatur jam kerja pada saat pandami untuk memugkinkan kegiatan pemerintahan dan bisnis untuk tetap beroperasi pada kejadian-kejadian seperti ketika ada pegawai yang sakit, harus merawat anggota keluarga yang sakit, atau tidak dapat bepergian ke tempat kerja, dan memungkinkan ketersediaan bahan-bahan paling pokok. Pandemi H1N1 di Meksiko tahun 2009 telah diestami menyebabkan kerugian di sektor pariwisata sebesar 2.8 milayr USD hanya dalam waktu 5 bulan [62]. Sumber daya dalam jumlah besar telah dialokasikan untuk mempersiapkan diri menghadapi pandemi. Sangat tidak logis untuk mengalokasikan dana yang sangat besar hanya untuk persiapan menghadapi pandemi virus influenza zoonosis saja. Pandemi manusia bisa saja berasal dari sumber lain. Serangan teroris juga dapat menciptakan kondisi dimana perjalanan tidak bisa dilakukan dan pekerjaan menjadi terganggu. Akan tetapi sebagian pengeluaran untuk persiapan terhadap bencana tidak akan bisa dibuat atau direncanakan tanpa keberadaan ancaman pandemi manusia yang berasal dari influenza hewan.
Meskipun tanpa adanya pandemi influenza manusia, biaya ekonomi pengendalian influenza pada hewan saja sudah sangat besar dan upaya penanggunalangannya pada sumbernya sangat-sangat penting dilakukan. Beberapa kontributor besaran pembiayaan ini akan didiskusikan pada bagian selanjutnya pada Bab ini. Sejumlah virus influenza hewan non-zoonosis yang umumnya tidak mendapatkan perhatian internasional, adalah fokus dari kewaspadaan dan upaya pencegahan yang lebih ketat daripada yang biasanya dilakukan, karena adanya kekhawatiran bahwa virus-virus tersebut dapat bermutasi menjadi virus influenza hewan yang bersifat zoonosis.
Sektor ternak global
Unggas dan babi mungkin merupakan hewan pernak yang dipelihara paling luas di dunia. Produksi dan perdagangan unggas dan babi telah menunjukkan pertumbuhan yang tetap (Tabel 3.3.), dan proyeksi menunjukkan bahwa permintaan akan terus meningkat. Pada saat yang sama, kedua sektor ini sangat beragam, dengan sistem produksi dimulai dari unit beintensitas tinggi dan sangat terspesialisasi dengan memelihara ras spesial-purpose breed sampai sistem berintensitas rendah yang memelihara ras lokal yang tahan terhadap lingkungan. Pertumbuhan produksi unggas dan babi yang stabil merupakan akibat dari efisiensi keuntungan yang didapat dari teknologi perbibitan, menggunakan seleksi karakteristik spesifik dan spesialisasi proses produksi yang diperlukan untuk tipe ras dan kelompok umur yang spesifik. Seleksi untuk ras galur murni dengan performa yang tinggi, hibridisasi, dan inseminasi buatan, dan juga distribusi ras produksi melalui jaringan perdagangan internasional telah menjadi penggerak pengembangan hewan ternak yang berproduksi tinggi [22].
Tabel 3.3 Produksi dan perdagangan internasional babi dan daging unggas sepanjang periode tahun 2002-2011
Tahun | 2002 | 2003 | 2004 | 2005 | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 |
Produksi Babi (produksi per juta) | 178 | 185 | 186 | 190 | 195 | 200 | 206 | 210 | 215 | 215 |
Perdagangan Babi (per 1 juta ekor) | 18.099 | 19.989 | 21.846 | 23.914 | 26.814 | 30.628 | 31.610 | 32.885 | 33.317 | 34.178 |
Produksi unggas (produksi per juta) | 147 | 151 | 156 | 162 | 166 | 176 | 185 | 190 | 199 | 206 |
Perdagangan unggas (per 1000 ekor unggas hidup) | 868 | 749 | 821 | 917 | 919 | 962 | 1054 | 1312 | 1396 | 1457 |
Dimodifikasi dari FAOSTAT.
Sistem produksi perunggasan
FAO dan OIE [18, 28] telah mendefinisikan empat tipe produksi sistem produksi perunggasan, diklasifikasikan sebagai sektor 1 sampai sektor 4. Sektor 1, adalah sektor industri perunggasan dengan biosekuriti yang tinggi, dengan sistem yang menghasilkan sebagian besar produk perunggasan yang diperdagangkan secara global. Sektor 2 mencakup produsen unggas komersial berskala besar dengan biosekuriti yang baik dan memiliki peternak-peternak yang berada di bawah kontrak perusahaan besar, yang membesarkan unggas dari umur satu hari (DOC), menggunakan suplai pakan dari kontraktornya. Peternakan kontrak memberikan kesempatan baru untuk memasuki pasar industri, yang mengharuskan skill teknis akan tetapi hanya mengharuskan sedikit investasi keuangan dari peternak jika dibandingkan dengan peternakan mandiri, karena kontraktor peternakan akan memberikan sebagian besar input produksi. Selama terjadinya wabah HPAI H5N1 tahun 2004-2005, peternak kontrak di Thailand, Vietnam dan Indonesia selamat dari kerugian finansial oleh perusahaan kontraktor mereka [34, 66]. Sektor 3 terdiri dari unit peternakan kecil sampai menengah, dimana unggas dikandangkan dan diberi pakan, tetapi investasi biosekuritinya rendah. Sektor ini sangat beragam. Pada negara-negara berkembang, beberapa produksi bernilai tinggi yang memiliki pemasaran terbatas, seperti penghasil produk organik dan umbaran, dapat dikatakan termasuk dalam sektor ini, seperti juga produsen spesialis ras langka yang dipelihara dengan sistem umbaran. Pada negara-negara maju, sektor 3 mencakup unit komersial skala kecil dengan investasi terbatas pada fasilitas, keluar masuk ternak yang cepat, dan pasar yang berkembang. Jumlah mereka tidak besar, hanya sebesar 10% dari populasi unggas dalam negara dimana sektor perunggasan terus berkembang, akan tetapi mereka mewakili rute transisi keluar dari kemiskinan dan sebuah cara untuk memenuhi permintaan pasar terhadap daging unggas. Sektor 3 juga mencakup flok itik-itik yang digembalakan untuk memakan sisa panen padi dan siput sawah pada sistem pertanian padi di Vietnam, China, Thailand dan Bangladesh [3, 13]. Sampai kemunculan HPAI H5N1, sistem peternakan ini menjanjikan pendapatan yang stabil yang sangat terkait dengan sistem pertanian sesuai wilayah ekologinya ini. Sebagai ‘silent-carrier’ dari HPAI H5N1, itik menjadi fokus perdebatan tentang masa depan sistem pembesaran unggas tertentu. Di Thailand, peraturan pemerintah diperkenalkan untuk melarang pembesaran itik umbaran [70]. Kelompok sangat terspesialisasi yang juga termasuk dalam sektor 3 adalah kelompok ayam jantan aduan, dilarang disetiap negara, akan tetapi tetap sangat populer dan sangat berharga, dan mewakili bagian unik dari gen pool ayam. Sektor 4 mencakup sistem ternak yang dipelihara di sekitar rumah dan mencari makan sendiri, dimana unggas dimasukkan ke dalam kandang pada malam hari atau tidak sama sekali, dan flok urban kecil yang dipelihara di rumah di kota-kota kecil dan besar di negara-negara berkembang. Flok sektor 4 berukuran kecil dan level produksinya rendah, akan tetapi mereka berkontribusi pada perputaran uang, dan dengan investasi yang minimal mereka bisa memproduksi keuntungan sebesar 600% [55]. Flok unggas kecil ini berkontribusi langsung pada nutrisi rumah tangga dan modal sosial, karena unggas tersebut dapat diberikan sebagai hadiah dan disantap dalam perjamuan sosial [45, 63]., dan daging unggas ini sering lebih disukai dibandingkan ayam broiler komersial. Unggas-unggas ini memainkan peranan dalam ekologi peternakan dan rumah tangga dengan memakan siput dan serangga [3, 30], dan mereka juga digunakan dalam ritual sosial dan keagamaan. Dalam fungsinya untuk peribadatan, ayam dianggap sebagai bagian yang tak tergantikan dari budaya Asia Tenggara. Banyak ras unggas terancam punah yang dipelihara di dalam sistem ini. Jutaan peternak kecil memelihara unggas yang berada dalam sektor 4, akan tetapi sebagian besarnya tidak tercatat dalam sistem registrasi formal. Dari data yang tersedia dan perkiraan yang ada jumlah mereka mewakili 10-99% populasi unggas dan peternak di negara-negara yang berbeda.
Sektor 1 dan 2 mendominasi negara-negara industri, sementara di negara-negara berkembang, bahkan yang memiliki sektor komersial yang kuat, masih didominasi peternakan dengan flok-flok kecil. Gambar 3.1 menunjukkan perbedaan situasi yang dihadapi negara-negara ini. Negara dengan sistem yang paling beragam akan memiliki tantangan paling tinggi dalam upaya pengendalian penyakit yang efisien dan juga wajar.

Gambar 2.1 Rangkaian kesatuan sistem perunggasan tahun 2006 dengan beberapa negara sebagai contoh. Dimodifikasi dari Bank Dunia, FAO, IFPRI dan OIE. 2006. Enhancing control of Highly Pathogenic Avian Influenza in Developing Countries through Compensation: Issues and Good Practice. World Bank: Washington, DC, USA. Tersedia di www.fao.org/docs.eims/upload/217132/gui_hpai_compensation.pdf
Sistem produksi babi
Meskipun tidak ada sistem formal yang terdokumentasi untuk dapat menggambarkan sistem produksi babi yang ekuivalen dengan sistem yang digunakan FAO untuk unggas, masih mungkin untuk mengindentifikasikan tiga tipe produksi yang berbeda.
Sistem produksi skala besar, yang ekuivalen dengan sektor 1 perunggasan, sangat terspesialisasi dalam tahapan produksi, seperti melahirkan, merawat anak dan finishing. Input bernilai tinggi adalah pembelian ternak, seperti pembelian ras dari piramida breeding yang diinginkan menggunakan ras-ras yang telah diperkuat secara genetik pada kantong-kantong kecil. Pemasaran produk kadang terkait dengan perusahaan prosesing internasional. Semua upaya biosekuriti umum dapat diaplikasikan pada sistem produksi ini [23]. Penyembelihan dan transportasi babi secara berjangka sangat krusial dalam mempertahankan keuntungan usaha, yang menjadikan sistem ini sangat rentan terhadap shock permintaan dan pelarangan perpindahan ternak sebagai upaya pengendalian penyakit.
Sistem produksi semi intensif berskala kecil bertipe tertutup, yang ekuivalen dengan sektor 3 perunggasan, telah dipraktekkan oleh peternak kecil mandiri di beberapa negara di Asia dan Amerika Latin, dan di Afrika dengan jumlah yang lebih sedikit, sebagai respon permintaan daging babi di pusat perkotaan, dan untuk beberapa kasus terdapat permintaan terhadap ras babi tertentu [4, 44, 56, 58]. Sistem ini memiliki ciri-ciri pemeliharaan babi di dalam kandang dan pembelian bibit ternak dan menggunakan pakan komersil. Terdapat peningkatan pemasaran di pasar perkotaan terhadap barang bernilai tinggi melalui sistem transportasi yang kompleks. Jika dibandingkan dengan sistem lepas-cari makan sendiri, sistem produksi dikandangkan seperti ini memberikan kesempatan lebih luas dalam mengaplikasikan biosekuriti untuk mencegah penyebaran virus influenza babi.
Sistem produksi babi yang intensif berskala kecil, yang ekuivalen dengan sektor 4, ditemukan pada wilayah pedesaan dan pinggiran kota di banyak negara Afrika, Asia dan Amerika Latin. Rumah tangga pedesaan di negara-negara berkembang biasanya memelihara babi yang dibiarkan mencari makan sendiri di sekitar rumah mereka untuk memakan sisa-sisa makanan dan sisa hasil pertanian lainnya. Sistem berintensitas rendah ini biasanya mempergunakan produknya untuk kalangan sendiri (misalnya, anak yang dilahirkan akan dipelihara untuk menghasilkan bibit kembali/menghasilkan ‘replacement animal’). Meskipun produktivitasnya biasanya rendah, ketahanan ekonominya dan keuntungan kembali dari modal yang minim sangat tinggi. Produk yang dihasilkan bervariasi dan digunakan untuk keperluan sendiri atau dipasarkan secara lokal [6]. Sebagian besar babi yang mencari makan sendiri dimiliki sebagai sumber pendapatan oleh pemiliknya dan digunakan sebagai tabungan daripada pendapatan tetap. Produksi babi rumahan kurang rentan terhadap dampak negatif program pengendalian penyakit dibandingkan dengan produk komersil, misalnya pelarangan transportasi hewan, karena waktu jual yang optimal untuk babi yang digemukkan meliputi waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan sistem produksi intensif [39]. Meskipun begitu, sulit untuk menerapkan biosekuriti didalam sistem ini. Di Eropa terdapat sebuah sistem peternakan babi ekstensif yang lebih terspesialisasi, dimana babi dibesarkan untuk dipasarkan untuk pasar yang khusus, seperti peternakan organik dan lebih menyukai ras-ras tradisional, dan sistem ini lebih rentan terhadap dampak pembatasan transportasi ternak [65].
Rantai pemasaran
Pakan, vaksin, telur, ras, hewan hidup, karkas dan bulu dipasarkan melalui rantai pemasaran internasional, sehingga wabah penyakit unggas ataupun babi pada satu negara dapat berdampak pada negara lain. Rantai pemasaran internasional utama terkonsentrasi dan terintegrasi, dimana rantai pemasaran domestik pada negara-negara berkembang melibatkan banyak pelaku dan hubungan kontrak yang bervariasi. Luasnya jangkauan dan kompleksitas rantai pemasaran perunggasan internasional menjadikan pentingnya memperhatikan keseluruhan rantai pemasaran saat melakukan identifikasi resiko dan menilai keuntungan dan biaya [24].
Pasar unggas hidup membentuk bagian penting dari sektor perunggasan, dikarenakan kesukaan masyarakat terhadap daging yang didapat langsung dari unggas hidup, dan banyaknya jenis unggas dan produknya, yang dibeli oleh banyak pedagang dan produsen yang tak terhitung jumlahnya. Gambar 3.2 menunjukkan keterhubungan antar sektor formal dan informal untuk ayam broiler di Thailand dan untuk ayam layer di Mesir. Untuk kedua kasus ini, DOC yang dihasilkan dari satu sumber bermuara pada banyak variasi produk dan saluran-saluran pemasaran. Di Thailand, ada tiga tipe peternakan pembesaran: yang pertama dimiliki oleh perusahaan yang memproduksi anak ayam, yang kedua peternakan yang dikontrak oleh perusahaan perbibitan, dan yang ketiga peternak mandiri, sering dengan skala yang kecil. Di Mesir, sebagian besar produksi telur dan ayam afkiran berada dalam sistem yang terintegrasi (yang dimiliki oleh satu perusahaan), yang merupakan sumber produksi produk yang penting untuk pasar tidak resmi yang mensuplai konsumen domestik.

Grafik 3.1 Harga pasar unggas dunia dan dampak simulasi dari penurunan 50% permintaan dan pelarangan ekspor di Asia
Pasar domestik untuk produksi babi dikandangkan berskala kecil juga dapat melibatkan jaringan interaksi antara produsen skala kecil, produsen skala besar, dan pedagang [49].
Rantai pemasaran tidak hanya memiliki fungsi fungsional seperti yang dijelaskan di atas, akan tetapi juga berada dalam ruang geografis. Jika populasi hewan dan manusia padat, rantai pemasaran biasanya lebih erat. Pasar unggas hidup dan titik-titik tempat penyembelihan skala kecil adalah tempat interaksi penting untuk rantai pemasaran yang berbeda. Pelaku usaha memberikan pakan, jasa veteriner, dan transportasi yang mensuplai lebih dari satu rantai pemasaran dan menciptakan kontak fisik diantara mereka.
Shock Pasar
Pasar internasional
Wabah influenza hewan telah terjadi dalam konteks pasar internasional unggas dan babi yang secara alami berubah-ubah, menambahkan ketidakstabilan pasar. Dampaknya cukup signifikan dalam hal pergeseran harga, volume, dan lokasinya, yang dipicu oleh penurunan konsumsi daging dan telur.
Pembatasan ekspor dari negara-negara asia yang terdampak wabah HPAI H5N1 pada tahun 2004 dan awal tahun 2005 berkontribusi pada kenaikan hampir 20% harga unggas internasional selama periode tersebut (Gambar 3.3). Konsumen berpindah kepada sumber daging lain, dan ekspor dari unggas hidup dan daging beku dari negara asia penghasil unggas terbesar dibekukan, terutama dari Thailand dan China. Pada saat yang sama seiring naiknya harga unggas internasional, harga unggas domestik pada negara-negara tertular menurun karena berkurangnya permintaan domestik dan pelepasan produk yang seharusnya untuk diekspor ke pasaran [46]. Populasi unggas di Asia menurun karena dimusnahkan. Dan selama 2003 dan 2004 terdapat penurunan volume perdagangan unggas global sebesar 8%. Perdagangan unggas global kembali mengalami kenaikan pada tahun 2005, dan lebih meningkat lagi pada tahun 2006.
Berita yang mengabarkan bahwa pandemi H1N1 pada tahun 2009 berhubungan dengan sebuah peternakan babi di Meksiko berakibat pada penurunan tajam permintaan ternak dan mengganggu perdagangan ternak babi. Ekspor daging babi dingin dan beku dari Meksiko ke Jepang dan Amerika Serikat menurun sebesar masing-masing 61% dan 32%. Sekitar 12 juta keuntungan dari ekspor hilang dalam waktu 6 bulan [62]. Wabah LPAI juga telah memicu shock pasar. Contohnya, pada Agustus 2006 sebuah strain H7 HPAI terdeteksi di sebuah peternakan d Belanda, menyebabkan larangan ekspor ke Taiwan dan Hong Kong.
Rantai pemasaran internasional tidak terbatas pada sistem formal, tetapi mengalir secara informal melalui perbatasan negara-negara yang bertetangga di kawasan Delta Mekong, Asia Selatan, Afrika dan Timur Tengah. Artinya baik penyakit maupun dampak shock pasar memiliki potensi melewati perbatasan. Nepal mengalami penurunan permintaan lokal saat India pertama kali terjangkin HPAI H5N1, dan terjadi penurunan harga unggas hidup dilaporkan secara informal di Mauritania sebesar 52% dari harga sebelumnya setelah terjadinya wabah di Nigeria.

Gambar 3.1 Rantai pemasaran daging unggas di Thailand tahun 2003 dan rantai pemasaran layer di Mesir tahun 2006. Kotak berwarna abu-abu menunjukkan sistem yang terintegrasi. Dimodifikasi dari Rushton, J. 2006. Compensation for HPAI in Egypt. Report produced for the FAO ECTAD Socio-Economics Working Group, November 2006. FAO: Rome, Italy.
Shock Pasar Domestik
HPAI H5N1 telah menyebabkan shock pasar domestik di sebagian besar negara yang telah mengalami wabah dan pada beberapa negara yang tidak terkena wabah. LPAI H7N9 yang bersifat zoonotik terlah menyebabkan shock pasar yang parah di China. Saat kasus pertama LPAI H7N9 pada manusia dilaporkan pada akhir bulan Maret 2013, permintaan unggas hidup dan produk unggas menurun, dan sebagai hasilnya hara pasar turun. Pasar grosir unggas hidup di 27 perfektur di wilayah China Timur ditutup selama 33 sampai 63 hari, yang berakibat hilangnya keuntungan penjualan unggas sebesar kurang lebih 69 juta USD Serikat. Penutupan pasar tidak didasari oleh jatuhnya permintaan secara drastis, akan tetapi sebagai usaha menurunkan angka resiko infeksi HPAI H7N9[61]. The China Animal Agriculture Association memperkirakan hilangnya 6.5 milyar USD dalam waktu 7 minggu setelah LPAI H7N9 pertama kali dilaporkan, akan tetapi belum jelas faktor-faktor apa saja yang masuk ke dalam estimasi ini [86].
Umumnya permintaan terhadap produk unggas dan babi menurun saat wabah terjadi untuk pertama kalinya, yang berakibat penurunan harga. Hal ini dapat membesar jika diumumkan secara dramatis oleh media ataupun pemerintah, disertai dengan informasi yang terbatas tentang anjuran perubahan perilaku untuk menghindari resiko infeksi, meskipun belum ada analisa penuh tentang seberapa banyaknya komunikasi yang diperlukan untuk dapat memitigasikan shock pasar. Penjualan dan pemusnahan ternak baik yang resmi maupun tidak resmi menyebabkan penurunan populasi hewan produktif. Dapat memakan waktu beberapa minggu sebelum restocking diperbolehkan kembali, dan bahkan saat sudah diperbolehkan, mungkin terjadi penundaan penetapan sumber suplai ternak. Jika kepercayaan konsumen sudah kembali, harga pasar meningkat lagi, kadang-kadang lebih tinggi dari harga sebelum wabah.
Contoh terjadinya shock pasar ditunjukkan pada gambar 3.4 dan Tabel 3.4. Grafik tersebut menunjukkan harga daging dan telur unggas, dan harga daging babi di China selama fase-fase awal wabah LPAI H7N9 tahun 2013. Harga daging ayam broiler dan harga telur terdampak minimal dalam skala nasional. Resiko infeksi LPAI H7N9 pada manusia cepat dihubungkan dengan pasar unggas hidup, yang utamanya disuplai oleh ayam ras campuran berharga premium, ‘yellow chicken’. Pasar ‘yellow chicken jatuh sebagai akibat dari penurunan permintaan dan upaya pengendalian penyakit, seperti pelarangan transportasi hewan dan penutupan pasar untuk mencegah infeksi pada manusia. Pada pasar grosir yang masih buka, harga ayam hidup adalah 3-4 yuan/kg di pertengahan bulan April, sekitar sepertiga dari harga sebelum dimulainya wabah LPAI H7N9.
Dari perspektif konsumen, analisa situasi ini sangat kompleks. Keputusan konsumen untuk berhenti mengkonsumsi daging unggas maupun babi dapat memilik efek yang berketerusan terhadap pasar. Konsumen dapat mengalami perubahan diet makanan dan mengalami dampak berubahnya anggaran pembelian bahan makanan untuk rumah tangga, karena harga dan ketersediaan daging dari spesies yang satu berbeda dengan lainnya. Belum jelas sejauh apa faktor-faktor yang berbeda dapat mempengaruhi pandangan konsumen terhadap resiko. Sebuah studi di Vietnam menunjukkan adanya perbedaan antara populasi tua dan mua, dan antara populasi pedesaan dan perkotaan, dalam persepsinya terhadap resiko HPAI [29]. Di Uni Eropa (EU), negara-negara yang mengalami level resiko HPAI H5N1 yang berbeda

Grafik 3.2 Harga babi dan unggas nasional tahun 2013 di China [12].
Tabel 3.4 Harga pasar grosir ayam broiler kuning (yuan/kg) di provinsi yang berbeda di China
Provinsi | 13 maret | 20 maret | 27 maret | 3 april | 10 april | 17 april | 24 april | 9 may | 15 may | 22 may | 29 may | 5 juni | 14 juni | 19 juni |
Anhui | 11.5 | 11.1 | 11.1 | 10.2 | Penutupan pasar | Penutupan pasar | ||||||||
Jiangsu | 13.4 | 12.8 | 12 | 13.4 | 7.30 | 9.00 | 9.50 | 11.40 | 11.4 | |||||
Jiangsu | 12.8 | 12.8 | 12.8 | 12.6 | Penutupan pasar | 12.8 | ||||||||
Jiangxi | 11.2 | 11.6 | 11.6 | 11.2 | 10.60 | Penutupan pasar | 9.2 | |||||||
Hubei | 14.2 | 14.2 | 14 | 14 | 13.5 | 13.50 | 13.5 | |||||||
Guanxi | 20.5 | 20.5 | 20.5 | 20.5 | 20.5 | 18.50 | 18.50 | 18.50 | 18.50 | 18.50 | 18.50 | 18.50 | 18.5 | |
Xingiang | 14.5 | 14.5 | 14.5 | 14.5 | 12.00 | |||||||||
Xingiang | 9 | 9 | 9.00 | 9.00 | 9.00 | 9.00 | 9.00 | 9.00 | ||||||
Xingiang | 14.75 | 14.75 | 14.25 | 14.25 | 14.50 | 14.5 | 11.50 | |||||||
Xingiang | 15 | 15 | 15 | 15.00 | 15.00 | 15.00 | 13.50 | 13.50 | 13.50 | 13.50 | 13.50 | 13.50 | 13.5 |
Dimodifikasi dari China Institure of Animal Husbandry Engineering. www.chinabreed.com/market/poultry
menunjukkan perbedaan perilaku konsumen (sebagai contoh, penurunan permintaan di Italia lebih besar daripada di Inggris). Di Thailand yang telah mengalami wabah sebanyak tiga kali sejak 2003, komunikasi progresif dan kontrol kualitas secara berangsur-angsur meminimalisir shock pasar.
Efek substitusi telah terlihat yaitu pada pergantian sumber protein alternatif. Di Kamboja, saat harga daging ayam dan telur ayam dan itik jatuh salama terjadinya wabah HPAI H5N1 pada tahun 2004, harga lokal daging babi, sapi dan ikan semuanya meningkat dan tetapi lebih tinggi dari harga normal bahkan ketika harga unggas meningkat kembali [77]. Di Vietnam harga babi telah meningkat dari 15.000 dolar vietnam/kg (sekitar 1 USD) menjadi 24 ribu dolar vietnam/kg di bulan November dan Desember 2005, pada titik terbawah pasar perunggasan [1]. Penyakit selain influenza juga mempengaruhi harga pasar protein pengganti. Sebagai contoh, penyakit mulut dan kuku (PMK) dan bovine spongiform encephalopathy telah terbukti berkontribusi terhadap rendahnya harga daging sapi antara tahun 2001 dan 2004 [50].
Dampak langsung terhdap ketahanan pangan (berkurangnya pemasukan energi, protein ataupun mikronutrient) tampaknya tidak memberikan dampak yang besar pada shock pasar yang disebabkan oleh penyakit hewan. Efek tidak langsung melalui hilangnya mata pencaharian lebih dikhawatirkan daripada efek langsung, karena mengurangi kemampuan untuk memproduksi protein alternatif, dan dapat berlanjut untuk beebrapa minggu selama terjadinya wabah dan sampai periode rehabilitasi. Shock pasar yang dihasilkan dari dampak ini dapat dirasakan secara luas. Unggas dan telur dapat dijual cepat untuk mendapatkan uang cepat dalam jumlah kecil, hanya untuk membeli makanan dan keperluan rumah tangga lainnya, dan rumah tangga miskin lebih mungkin untuk menjual produk unggasnya daripada mengkonsumsinya sendiri, terutama di wilayah periurban dan perkotaan [35]. Permasalahan ketahanan pangan dan mata pencaharian akan dijelaskan secara detail di bagian berikutnya.
Tipe-tipe pasar yang berbeda mungkin harus menyesuaikan diri dengan cara yang berbeda untuk menghadapi shock pasar [73]. Dalam ekonomi tertutup, kekuatan relatif dari penurunan permintaan dan penurunan suplai menentukan dampak akhirnya, karena tidak ada kesempatan untuk mengkompensasi penurunan populasi unggas melalui impor. Negara pengimpor dapat menggunakan impor dalan membuffer pergesaran suplai dan demand domestik. Untuk negara pengekspor, pelarangan ekspor akan melukai keseluruhan sektor dan tidak hanya mempengaruhi perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor. Negara yang tidak mengalami wabah sekalipun dapat menderita dari pergeseran permintaan. Dampak otbeak LPAI H7N9 di China terhadap harga pasar unggas dunia terbatas. Gambar 3.3 menunjukkan volatilnya harga unggas dunia, dimana penurunan selama onset wabah HPAI H5N1 di 2003. Jika dibandingkan dengan proyeksi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)-FAO untuk 2013, skenario menyebutkan penurunan 50% dari permintaan dan pengentian ekspor secara total untuk seluruh negara Asia Tenggara. Dalam skenario ini pasar unggas dunia akan mengalami penurunan sebesar 5.8% [52]. Efek kolapsnya sektor unggas domestik dan selanjutnya berkurangnya impor kepada negara-negara Asia Timur (China, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar) akan mengurangi efek pelarangan ekspor dari produk unggas dari negara-negara pengekspor di Asia Tenggara.
Mesksiko yang merupakan eksportir besar produk babi, kehilangan keuntungan ekspor dari daging babi dingin dan segar ke Jepang dan Amerika Serikat sebesar sekitar 2 juta USD per bulan selama paruh kedua 2009. Pada saat yang sama, meksiko berhenti mengimpor produk babi dengan skala sebesar 36.1 juta USD dari Amerika dan Kanada [62].
Pada kasus dimana shock pasar telah dipelajari secara detail, dampaknya meskipun dramatis, tampaknya Cuma berlangsung singkat. Efek yang lebih serius pada pasar dapat merupakan akibat dari upaya-upaya pencegahan penyakit dan permasalahan ini akan dibahas lebih lanjut pada Bab ini.
Tidak adanya ketahanan bahan pangan dan mata pencaharian
Kurangnya ketahanan mata pencaharian dan pada beberapa kasus kurangnya ketahanan padangan dapat disebabkan oleh shock pasar, oleh penyakit atau oleh upaya pengendalian dan pencegahan penyakit. Terutama yang berhubungan dengan depopulasi dan pembatasan pasar. Hilangnya hewan produktif dan pasar dan menurunnya harga semuanya menimbulkan efek terhadap produsen, sementara konsumen dapat menderita kekurangan produk pangan atau peningkatan harganya.
Permasalahan ketahanan pangan nasional hanya akan terjadi jika wabah influenza hewan terjadi dalam waktu yang panjang dan berlarut-larut dan terjadi dalam ekonomi pasar tertutup. Sangat tidak mungkin menimbulkan ketidaktahanan pangan nasional (misalnya dengan mengurangi jumlah makanan yang tersedia) kecuali di negara-negara yang telah berada di ambang krisis makanan, atau negara kepulauan kecil yang mengalami kesulitan untuk restocking.
Meskipun begitu, ketahanan pangan rumah tangga dapat mempengaruhi wilayah sekitar terjadinya wabah atau di area yang lebih luas yang terpengaruh penutupan pasar. Pada puncak wabah HPAI H5N1, berdasarkan perkiraan konservatif, 78 juta orang di Afrika dan 280 juta orang di Asia berada pada rumah tangga tidak tahan pangan yang memelihara unggas [35]. Dalam rumah tangga seperti itu, kehilangan unggas karena HPAI akan menciptakan masalah ketahanan pangan, sebagai efek tidak langsung dari hilangnya mata pencaharian [21]. Pada saat itu, produk unggas hanya meliputi 1% dari konsumsi kalori harian di Afrika dan 3% di Asia, meliputi 5-15% konsumsi protein dan 20-50% konsumsi daging. Unggas tampaknya merupakan bagian diet terpenting untuk masyarakat miskin di negara-negara di Asia Tengah dan Timur Tengah. Sumber produk unggas yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin bervariasi tergantung wilayah dan kelompok pendapatan. Pada saat terjadi wabah HPAI H5N1, pada wilayah terpencil di Vietnam, proporsi unggas yang dikonsumsi dan ndigunakan didalam rumah tangga adalah sebsar 91%, sementara hanya 9% di wilayah dengan kemudahan akses menuju pasar [72]. Tidak peduli dimanapun lokasinya, orang-rang yang berada di rumah tangga miskin lebih mungkin untuk menjual produk yang dihasilkan oleh ternak daripada memakannya sendiri.
Karena bervariasinya kebiasaan konsumsi, hilangnya unggas baik karena penyakit ataupun pemusnahan, atau karena peningkatan harga produk unggas karena shock pasar, memiliki dampak yang berbeda tergantung lokasinya. Peternak kecil di Turki yang terdampak wabah HPAI H5N1 menyebutkan bahwa mereka harus membeli telur untuk makan daripada memproduksinya sendiri [30], akan tetapi mereka menganggap hal ini sebagai ketidaknyamanan dibandingkan sebuah krisis. Pada sebuah studi yang mempelajari dampak HPAI H5N1 yang dilakukan di lima negara Asia Tenggara tahun 2005 [9,16, 18, 33], kehilangan makanan secara langsung tidak menjadi kekhawatiran bagi peternak yang diwawancarai, tetapi banyak dari mereka melaporkan hilangnya pendapatan. Skema pengembangan peternakan unggas kecil telah mengakibatkan kenaikan konsumsi, perbaikan nutrisi, dan kenaikan pendapatan [17]. Pendapatan dari perunggasan biasanya dikelola oleh perempuan, dan pendapatan yang dikelola oleh perempuan biasanya langsung digunakan untuk pemenuhan gizi atau pendidikan anak.
Studi yang mempelajari dampak HPAI H5N1 di Asia Timur Tenggara menunjukkan bahwa dampaknya berbeda-beda tergantung sistem produksinya. Jumlah total unggas yang mati ataupun dimusnahkan terbesar pada produsen yang memiliki sistem produksi berskala besar menggunakan ras yang unggul. Produsen yang memiliki flok lebih kecil akan tetapi memiliki sistem yang sama intensifnya mengalami kerugian total yang sedikit, akan tetapi dapat memuat keseluruhan total aset mereka, dan sangat mungkin menanggung hutang jika mereka kehilangan ternak mereka. Penggaduh ternak umbaran kehilangan ternak dan pendapatan dengan jumlah paling sedikit, akan tetapi kemungkinan mereka akan dikecualikan untuk pemberian kompensasi resmi, karena unggasnya mati sebelum tim pemusnahan datang atau tidak terdaftar secara resmi. Data untuk Vietnam memperlihatkan pola bagi negara-negara yang terdampak parah oleh HPAI H5N1 dan upaya pengendalian yang diterapkan setelahnya. Sebanyak 58 dari total 64 provinsi terdampak di tahun 2004 -2005 [64]. Survei peternak kecil menemukan bahwa rata-rata kerugian per peternakan yang terdampak H5N1 adalah antara 70 sampai 108 USD, dan kerugian per ekor unggas sebesar 2,70 USD, meliputi pemotongan, pembuangan dan waktu istirahat kandang [15]. Berdasarkan parameter garis kemiskinan sebesar 1 USD per orang per hari dan ukuran keluarga per 5 orang, ini sebanding dengan pendapatan 2 sampai 3 minggu bagi keluarga sangat miskin. Empat bulan setelah wabah di 2005, survei menemukan bahwa 27% peternak belakang rumah dan 19% penggaduh unggas tidak mengisi kembali ternaknya dan telah mempertimbangkan untuk meninggalkan industri perunggasan [34]. Peternak sektor 3 yang terus memelihara unggas memberi pakan unggas mereka dengan jumlah minimum hanya untuk mempertahankan hidup peliharaannya [1], dan ini mengakibatkan kerugian penjualan pakan unggas. Penjualan unggas dilarang pada banyak pasar di sepanjang Sungai Merah dan Delta Mekong (wilayah dimana produksi unggas paling besar di Thailand) mulai Desember 2005. Beberapa pedagang tetap menduduki pasar untuk mencegah orang lain menduduki posisinya, sementara yang lainnya berdagang komoditas lain dengan kesuksesan yang bervariasi. Di Kota Ho Chi Minh, kota terbesar di selatan, sebagai akibat dari pemberlakuan biosekuriti di pasar-pasar, terjadi konsentrasi dari 134 pasar grosir yang menjual telur segar menjadi 75 pasar, dan dari 1300 toko kecil dan 250 pasar yang menjual ayam menjadi enam ‘titik’ penjualan unggas dan satu toko yang menjual daging unggas beku [1].
Thailand diestimasikan kehilangan 29% dari total populasi ayam saat terjadinya gelombang pertama wabah, termasuk didalamnya 18 juta ayam kampung, dan lebih dari 20% populasi itik [16]. Sangat sulit bagi peternak itik untuk kembali berproduksi, karena regulasi biosekuriti yang diperkenalkan mengharuskan mereka untuk mendaftar dan berinvestasi dalam perbaikan perkandangan. Kamboja [77] dan Laos [75] mengalami lebih banyak efek yang terlokalisasi. Di Kamboja, dampak utamanya kelihatannya disebabkan oleh shock pasar yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun begitu, rumah tangga terdampak mengalami kehilangan aset yang parah. Antara Juli 2003 dan Juli 2004, jumlah unggas rata-rata turun sampai 44% dan jumlah rumah tangga yang memiliki unggas berjumlah 0-10 ekor meningkat dari 5% ke 25%. Di dua provinsi di Turki para peternak menempatkan hilangnya telur unggas dan daging untuk konsumsi langsung sebagai dampak paling serius dari pemusnahan ternak, dan hilangnya pendapatan dari unggas sebagai dampak 3 teratas [30]. Hilangnya hewan kesayangan dan stress dari proses pemusnahan juga disebutkan oleh lebih dari 50% peternak yang diwawancarai.
Hilangnya mata pencaharian juga telah dialami oleh pelaku lain dalam rantai pemasaran, termasuk pedagang, suplier DOC, dan mereka yang bekerja dalam industri ternak. Kerugian yang dialami kalangan diluar produsen unggas cenderung merupakan efek dari shock pasar atau pengendalian pergerakan ternak daripada efek langsung yang berasal dari kematian ternak, kecuali jika kematian yang disebabkan HPAI H5N1 atau pemusnahan ternak meliputi wilayah yang luas dan menyebabkan depopulasi masif.
Dampak Stamping out sebagai upaya pengendalian penyakit
Diskusi pada bagian ini berfokus terutama pada influenza hewan pada unggas, terutama HPAI H5N1 dan LPA H5N9, karena sebagian besar materi yang dipublikasikan tentang biaya langsung pengendalian influenza hewan berhubungan dengan kedua virus tersebut. Meskipun begitu prinsipnya masih bisa diaplikasikan untuk setiap influenza hewan baik unggas maupun babi.
Stamping out untuk penanggulangan wabah HPAI dan LPAI H5/H7 telah meliputi pengendalian pergerakan ternak, pemusnahan dengan kompensasi, disinfeksi dan pembuangan karkas. Saat seluruh kegiatan ini telah berhasil mengendalikan penyakit, tidak ada upaya lain yang diperlukan, namun jika penyakit telah menyebar luas, vaksinasi telah dipergunakan. Tabel 3.5 menunjukkan timeline terjadinya wabah HPAI H5N1 dalam komunitas di Turki tahun 2006. Tabel itu menunjukkan perkembangan mulai dari diberikannya pengumuman adanya penyakit di dalam negeri itu, melalui pelaporan terduga wabah, konfirmasi hasil laboratorium, pemusnahan dan kompensasi. Dampak potensial dari setiap bagian dari proses stamping out akan dijabarkan lebih lanjut pada bagian tersendiri.
Pelaporan dan Konfirmasi
Timing sangat krusial dalam pengendalian wabah, karena setiap penundaan meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit dan semua biaya terkait upaya pengendalian akan meningkat pula. Meskipun wabah HPAI dalam flok yang terisolasi akan akhirnya hilang tanpa adanya intervensi dari dokter hewan, wabah HPAI ataupun LPAI yang berhubungan dengan sistem pemasaran yang dinamis akan cepat menyebar. Situasi yang ditunjukkan oleh Tabel 3.5 patut untuk dijadikan pelajaran, bahwa pelayanan veteriner mendapatkan laporan pada hari yang sama dengan saat kasus pertama kali diketahui, dan hasil tes dapat diketahui dalam lima hari berikutnya. Kecepatan respons seperti ini biasanya ditemukan pada negara-negara yang baru saja mengalami kematian pada manusia dan dimana terdapat laboratorium yang baik.
Ketiadaan gejala klinis pada infeksi LPAI H7N9 pada ayam mengakibatkan pelaporan dan deteksi klinis LPAI H7N9 pada level peternakan unggas hampir mustahil dilakukan. Sebagian besar kasus terdeteksi di pasar unggas hidup. Kosongnya waktu diantara pengambilan sampel dan konfirmasi hasil laboratorium telah mengakibatkan dilakukannya pemusnahan unggas yang baru datang ke pasar yang belum dijual akan tetapi bisa saja terinfeksi dari virus yang berdiam di lingkungan pasar.
Bagian-bagian terpenting dari sistem pelaporan yang baik dapat diikhtisarkan sebagai berikut.
Kesadaran peternak terhadap alur pelaporan penyakit
Banyak usaha telah dilakukan oleh berbagai negara untuk meningkatkan pelaporan, menggunakan kombinasi pendanaan pelayanan veteriner untuk surveilans, pelibatan petugas kesehatan hewan, mengkomunikasikan pesan-pesan untuk peternak melalui televisi, radio, poster dan leaflet, dan pelibatan komunitas masyarakat. Telah cukup banyak disepakati bahwa komunikasi harus menempati 10% pos dari keseluruhan budget pengendalian penyakit hewan wajib lapor, dan ini meliputi pengriman pesar, negosiasi di semua level, dan advokasi yang didukung dengan strategi pengendalian penyakit yang baik yang terus diawasi sampai berhasil [78]. Investasi terbesar yang telah dilakukan sekarang ini adalah dengan mencetak pesan, terutama diarahkan pada perlindungan terhadap manusia. Biaya komunikasi massa tergantung pada konsentrasi penggaduh hewan yang berpotensi terdampak dan metode penyampaian informasi yang digunakan. Sebagai contoh, kampanye melalui media massa untuk pengendalian dan pencegahan HPAI H5N1 di Vietnam telah memakan biaya sebesar 1 milyar USD per tahunnya [38]. Tetapi saat dimana komunikasi dapat dicapai melalui kelompok industri, dokter hewan mandiri/swasta, dan internet, biayanya seharusnya lebih rendah. Tabel 3.5 menunjukkan pentingnya saluran keagamaan dan institusi komunitas lainnya dimana infrastruktur komunikasi telah tersedia.
Tabel 3.5 Timeline terjadinya wabah HPAI H5N1 di Turki
Event Wabah | Tanggal | Perilaku penyakit |
Siaran televisi nasional Mulai ada kematian unggas dalam flok atau di suatu desa Dokter hewan dipanggil Dokter hewan mengambil sampel Hasil laboratorium keluar Tim pemusnahan datang Kompensasi dibayarkan | Januari 2006 Februari 2006 Hari yang sama Hari yang sama 5 hari kemudian 1 hari kemudian 1 bulan kemudian | Tiga anak kecil meninggal karena HPAI di Turki bagian timur, menyebabkan kepanikan di seluruh negeri Penjualan unggas karena panik (panic sales) Peternak melapor ke Mukhtar, yang memanggil dokter hewan Pengumuman melalui pengeras suara Mesjid Beberapa orang tidak mau menyerahkan unggas milik mereka, orang-orang diberitahu tentang kompensasi yang akan mereka terima Kompensasi dibayarkan pada mereka yang mendaftarkan nama dan nomor pajaknya. |
Dimodifikasi dari Geerlings, E. 2006. Rapid Assessment of HPAI Socio-Economic Impacts in Turkey. Laporan diproduksi untuk FAO-ECTAD Socio-Economic Working Group, November 2006. FAO: Rome Italy.
Pelaporan wajib penyakit hewan, peraturan, kapasitas penegakan hukum, dan insentif pelaporan
Laporan sistem pembiayaan pengendalian penyakit di Australia [2] menyoroti perlunya pendekatan baik “wortel” (kompensasi) dan “tongkat” (penalti jika tidak melaporkan, termasuk dengan menahan pemberian kompensasi) untuk meningkatkan pelaporan. Akan tetapi, tidak mudah menemukan keseimbangan diantara dua pendekatan ini. Seringkali dibutuhkan perubahan legislasi dan perbaikan kapasitas penegakan aturan, yang bisa saja tidak membutuhkan biaya besar, akan tetapi memerlukan waktu yang sangat lama. Kompensasi, yang nantinya akan dibahas lebih lanjut di bagian lain, memerlukan prosuder manajemen yang baik dan juga dapat berbiaya mahal. Juga mungkin diperlukan investasi infrastruktur untuk memperbaiki kemampuan identifikasi kasus terduga. Di Hong Kong, perbaikan biosekuriti di pasar unggas hidup, termasuk pelaporan terduga kasus, telah memerlukan negosiasi yang lama dengan stakeholder di pasar, penyediaan warung yang lebih layak fasilitas kesehatan, dan hukuman berat untuk yang tidak mengikuti peraturan yang berlaku.
Sistem informasi kesehatan hewan yang efektif
Sistem informasi kesehatan hewan dapat dikatakan efektif jika informasi tentang penyakit yang ditambahkan ke dalamnya akurat dan up to date, dan jika keputusan dapat dibuat berdasarkan informasi tersebut untuk memperbaiki penanggulangan penyakit. Untuk negara yang terlibat perdagangan internasional, sistem informasi yang efektif akan dapat meningkatkan prospek dagang dengan memberikan kepercayaan diri para partner dagang. Tidak hanya melalui hardware dan software komputer, aspek manusia juga harus diperhatikan. Di Vietnam, sistem informasi kesehatan hewan telah di upgrade sebagai bagian dari upaya pengendalian H5N1, dengan estimasi biaya awal sebesar 340 ribu dolar untuk mengupgrade laboratorium dan sistem di level provinsi di 2/3 dari total jumlah provinsi yang ada [42]. Elemen manusia dalam sistem memerlukan personel yang kompeten di lapangan dan memerlukan hubungan yang baik antara peternak, staff kesehatan hewan swasta, dan staf veteriner di pemerintahan. Informasi memerlukan setiap stakeholder untuk masuk ke dalam sistem, dan hubungan antar stake holder yang kadang rumit dan kompleks harus dimengerti dan dijaga [19]. Terlepas dari persoalan legislasi, pelaporan saat kecurigaan awal akan lebih mudah terjadi antar individu yang saling mengenal dan percaya satu sama lain dan yang memiliki setidaknya pemahaman yang sama terhadap masalah yang dihadapi, walaupun cuma sedikit. Dalam sistem produksi industrial dan untuk sebagian besar peternak di negara maju, kontak yang paling dapat dipercaya kemungkinan adalah dokter hewan langganan peternak. Untuk sistem produksi yang kurang intensif di negara-negara berkembang, hubungan antara peternak dan petugas pelayanan veteriner adalah melalui paraveterinarian dan pemimpin komunitas setempat [18, 25].
Di Vietnam, upaya-upaya telah dilakukan selama beberapa tahun unntuk menguatkan jaringan pekerja kesehatan hewan di komunias (community animal health worker/CAHW). Inisiatif awal telah menggunakan pertemuan dan pelatihan untuk mengembangkan hubungan antara pekerja CAHW, peternak dan staf kesehatan hewan kabupaten, dan kegiatan ini terus dikembangkan di tahun 2006 sebagai respon terhadap HPAI H5N1. Biaya pembangunan jaringan di satu distrik dan melakukan pelatihan semua staff diestimasikan sebesar 3 ribu USD, dengan tambahan dana sebesar 1200 USD untuk menjalankannya (data dari pembiayaan proyek sesuai estimasi World Bank Avian Influenza Emergency Recovery Project). Sebuah pembahasan dari pengendalian sampar babi klasik [48] memperkirakan biaya untuk kontrak pekerja CAHW untuk melakukan pekerjaan surveilans yang disupervisi oleh staf veteriner kabupaten berada di kisaran 3000 sampai 4600 dollar per kabupaten per tahun, diluar biaya tambahan lain untuk pelatihan ataupun membangun jaringan komunikasi. Di Indonesia, sebuah sistem dibuat untuk pelaksanaan surveilans participatory dan pelaporan pada level kabupaten. Biaya pembangunan sistem memakan biaya 23 juta USD antara tahun 2005 sampai 2009 [57].
Staf laboratorium yang kompeten pada laboratorium yang berfasilitas baik
Testing laboratorium untuk mengidentifikasi secara pasti strain virus influenza telah berada diluar kemampuan banyak negara terinfeksi, memberikan mereka pilihan apakah mengirimkan sampel ke laboratorium yang telah disetujui ataukah jika keperluan uji masih bisa ditunda, apakah mereka memilih mengupgrade fasilitas laboratorium sendiri dan melatih staff laboratorium tentang bagaimana cara melakukan uji-uji baru. Biaya pembangunan atau pembaharuan laboratorium berkisar antara 500 ribu sampai 50 juta USD, tetapi tidak semuanya bisa dimasukkan hanya untuk penanggulangan influenza hewan, karena laboratorium juga bisa digunakan untuk pengujian penyakit hewan ternak dan unggas lainnya.biaya uji isolasi virus atau uji RT-PCR sekitar 10-20 dolar per sampel [67]. Di Thailand dimana survei detail dari rumah ke rumah dilakukan sebagai bagian dari program surveilans aktif, pengujian diagnosa laboratorium yang dihubungkan dengan setiap survei menghabiskan dana sebesar kira-kira 1 juta USD [42]. Di Hong Kong, pembiayaan surveilans dan monitoring untuk HPAI di tahun 2006 adalah sekitar 0.12 USD per unggas yang terjual [67].
Kontrol pergerakan hewan
Implementasi pelarangan perpindahan ternak karena LPAI antara peternakan mensuplai dan pasar tertutup lebih menantang daripada pelarangan klasik yaitu pelarangan di sekitar peternakan yang terkena wabah. LPAI H7N umumnya telah terdeteksi di pasar unggas hidup di China. Culling dan disinfeksi yang dilakukan pada pasar-pasar ini, bersama dengan penutupan pasar, merupakan langkah standar yang diberlakukan untuk menghambat setengah penyebaran pasar. Penutupan pasar telah mengurangi resiko infeksi pada manusia yang biasanya mengunjungi pasar-pasar ini. Pelarangan perpindahan hewan dengan radius 3 sampai 5 km sering tidak memasukkan sebagian besar peternakan yang mensuplai pasar yang terdampak. Rantai nilai unggas dan hewan ternak terspesialisasi lainnya bersifat dinamis, kompleks, dan perdagangannya meliputi ruang yang luas. Pedagang dan peternak memiliki insentif kuat untuk meyakinkan terlaksananya perpindahan hewan dan prosesing sesuai jadwak. Untuk ayam broiler chicken, penambahan beberapa hari dapat menimbulkan celah kerugian dan masalah kesejahteraan di peternakan-peternakan, demikian juga berdampak berkurangnya margin keuntungan.
Pada wabah HPAI H5N1 di Turki yang digambarkan di tabel 3.5, terjadi penjualan ternak karena panik (panic selling) sebelum pengendalian penyakit hewan dilakukan, hal ini umum terjadi, dan unggas mungkin terus menerus berpindah tempat meskipun setelah diterapkannya pelarangan pemindahan unggas oleh pemerintah. OIE merekomendasikan bahwa pengendalian perpindahan unggas harus dilakukan mengikuti kecuriagaan wabah paling awal [85]. Tabel 3.5 tidak menyebutkan adanya peraturan perpindahan hewan, akan tetapi ini bisa saja karena peternak yang diwawancarai adalah peternak kecil yang menkonsumsi sendiri hasil unggas piaraannya atau yang menjualnya hanya ke pasar lokal. Upaya pengendalian dapat berupa persyaratan tertentu untuk dapat diperbolehkan membawa ternak, penutupan pasar yang menjual hewan hidup, dan bahkan karantina hewan sakit dalam peternakan di area yang tertular. Pembiayaan yang terkait dengan pengaturan perpindahan ternak meliputi biaya pelaksanan dan kerugian dari hilangnya keuntungan akibat ternak yang tidak bisa dijual dan biaya pakan yang diberikan pada ternak diluar siklus produksi normal. Pada negara-negara yang didominasi sistem produksi bertaraf industri berskala besar lebih mudah untuk mengawasinya, dan penalti terhadap pelanggaran dapat dibuat menjadi sangat berat. Pembiayaan yang terlibat meipulti komunikasi, pemeriksaan alat transportasi, dan pengeluaran surat izin memindahkan hewan. Di negara-negara yang banyak peternakan dengan skala kecil hampir tidak mungkin untuk memberlakukan kontrol, karena unggas dan babi dipindahkan dengan berjalan kaki, atau menggunakan sepeda, taksi, dan mobil keluarga, dibawa di dalam kantong plastik atau kandang kecil. Petugas pelayanan kesehatan hewan sering tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan atau bahkan mencari orang-orang yang melanggar, sehingga hal ini harus dilakukan oleh pihak kepolisian.
Pembiayaan kerugian dari hilangnya hasil penjualan memiliki pola yang serupa dengan shock pasar, akan tetapi ketika pasar sedang ditutup untuk membatasi pergerakan hewan mungkin saja ada tambahan biaya mempertahakan lapak pasar dari kompetitor, atau memberi makan hewan diluar siklus produksi normal. Penyewaan lapak pasar untuk pasar unggas hidup bernilai sampai 14,6 juta USD untuk penutupan karena LPAI di China [61]. Di Hong Kong tahun 2001, seluruh pasar unggas hidup ditutup untuk 1 bualn karena HPAI H5N1. Karena Hong Kong tidak memilki rencana terdahulu untuk pemusnahan ayam, outlet untuk unggas menjadi hilang. Pemerintah memusnahkan unggas yang sudah memenuhi syarat untuk di peternakan-peternakan, dan memberikan pembayaran pada peternak atas harga unggas itu [67]. Di Vietnam, untuk HPAI H5N1, kota Ho Chi Minh dan Hanoi menutup pasar unggas hidup di dalam kota dan membatasi pemasukan unggas dari provinsi lain. Unggas yang bisa dijual hanyalah dari rumah pemotongan unggas yang telah diberi izin. Sebelum wabah HPAI H5N1, rumah tangga yang memelihara unggas yang mencari makan sendiri biasanya menjual unggas dan telur di pasar-pasar lokal, atau kepada tetangga, atau pengumpul langsung di gerbang peternakan. Unggas yang terjual ke pengumpul akan dijual lagi ke pedagang eceran atau konsumen [1]. Setelah wabah HPAI H5N1 unggas tidak boleh lagi dibawa keluar komunitasnya atau diluar pasar lokal. Peternak unggas kecil sebelumnya memiliki saluran pemasaran yang lebih luas, akan tetapi kini banyak diantaranya telah ditutup [1]. Sebelumnya mereka dapat menjual produknya ke supermarket, akan tetapi hal ini tidak mungkin lagi dilakukan karena peraturan baru. Beberapa peternak mencoba beralih ke produksi ternak babi, sementara yang lainnya beralih sepenuhnya melakukan aktivitas pertanian. Produsen di sektor 1 adalah yang paling dapat menyesuaikan diri dengan pembatasan pergerakan ternak, dengan penambahan produk daging dalam kemasan untuk dijual di spuermarket, dan bahkan membuka gerai sendiri untuk menjual produk unggas mereka [1].
Culling dan Kompensasinya
Pemusnahan unggas yang terinfeksi di peternakan biasanya mencakup unggas yang terinfeksi dan berkontak dekat, tetapi ‘kontak dekat’ yang dimaksud dapat mencapai radius 3 km di sekitar peternakan. Pemusnahan unggas di pasar dan pelacakan kembali ke peternakan yang telah berkontak langsung, seperti yang telah terjadi pada kasus LPAI H7N9 di China dikatakan tidak mungkin dilakukan atau tidak bisa sepenuhnya dilakukan. Tabel 3.5 menunjukkan skenario tipikal dimana pemusnahan karena HPAI H5N1 dilakukan di peternakan oleh tim dari pemerintah setelah adanya periode pemberitahuan sebelumnya. Dalam kasus ini, meskipun peternak telah diberikan informasi bahwa akan ada kompensasi, beberapa diantara mereka masih enggan untuk memberikan unggas mereka untuk dimusnahkan. Perempuan dan anak-anak merupakan pihan yang paling terampak stress dari menyaksikan prosedur pemusnahan.
Dampak ekonomi dari proses pemusnahan dapat diikhtisarkan sebagai berikut.
Biaya pelaksanaan culling, pembuangan, dan disinfeksi
Pemusnahan dan pembuangan karkas biasanya dilaksanakan oleh pemerintah, dan biayanya harus selalu ditanggung oleh pemerintah, begitu juga dengan biaya desinfeksi. Karena desinfeksi dilakukan setelah peternakan kosong dari unggas untuk sementara waktu, desinfeksi bisa dilakukan oleh peternak sendiri, yang nantinya harus diberikan kompensasi untuk waktu dan bahan yang mereka sediakan sendiri sebelumnya. Pembiayaan tergantung pada sistem produksi dan proses yang digunakan, dengan pertimbangan skala ekonomi dan pengalaman. Dengan adanya influenza hewan yang bersifat zoonosis, perlu adanya pakaian pelindung untuk melindungi terhadap kemungkinan infeksi terhadap manusia. Biaya pemusnahan pada pasar-pasar yang berbeda tipenya di tiga negara Asia Tenggara yang beresiko tinggi dibiayai oleh FAO untuk melakukan persiapan terhadap darurat LPAI H7N9. Telah ditemukan bahwa tim pemusnahan dapat memusnahkan sampai 3000 ekor unggas per hari dengan biaya sebsar 1300 dolar per tim per minggu.
Hilangnya produksi
Kira-kira terdapat 232 juta unggas yang telah diestimasikan mati atau dimusnahkan karena HPAI H5N1. Nilai pasar rata-rata untuk ayam dewasa sebelum wabah mungkin sekitar 5 USD serikat, memberikan estimasi kasar kerugian sebesar 1.16 milyar dolar. Meskipun begitu, hal ini tidak memperhitungkan total kerugian dari proses produksi yang hilang sebelum restocking, atau nilai jenis unggas tertentu yang lebih tinggi dari pasaran, seperti parent stock, angsa, kalkun dan ayam aduan. Tujuan pemusnahan yang dilakukan adalah bahwa meskipun banyak unggas akan mati dalam jangka pendek sebagai akibat dari pemusnahan, akan ada lebih sedikit unggas yang akan mati dalam jangka panjang ke depan, karena pemusnahan akan mengurangi penyebaran dan mengurangi infeksi. Jika kompensasi disediakan untuk unggas yang dimusnahkan, kerugiannya ditanggung bersama oleh pemerintah dan produsen, jika tidak ditanggung seluruhnya oleh produsen. Kerugian lainnya dalam rantai pemasaran tidak diberikan kompensasi dalam skema resmi pengendalian setiap penyakit hewan di setiap negara. Stress psikologi yang dialami oleh peternak dan petugas pemusnahan merupakan efek samping dari proses ini. Peternak tidak pernah dibayar penuh, dan bahkan seringnya tidak dibayar sama sekali untuk hilangnya pendapatan saat mereka menunggu restocking. Saat waktu tunggu restocking menjadi panjang diakibatkan peraturan pemerintah, seperti di China, karena wabah yang bersifat musiman seperti di Turki, efek dari ‘waktu istirahat kandang’ bisa jadi cukup parah. Efek positif tidak biasa telah dialami pada tahun 1998 setelah peternakan unggas di Hong Kong telah dilakukan depopulasi dan dibersihkan, dengan peternakn melaporkan bahwa generasi pertama unggas yang dipelihara setelahnya tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sebelum wabah [67].
Kompensasi adalah transfer pembayaran antara pemerintah dan peternak. Nilai dari unggas yang mati tidak berubah jika kompensasi disediakan untuk mereka, kerugian nantinya hanya akan ditanggung oleh stakeholder yang berbeda. Meskipun begitu, skema kompensasi yang didesain dengan baik harus mampu meningkatkan kepatuhan persyaratan pemusnahan, dan harus menggiatkan pelaporan, yang nantinya akan mengurangi penyebaran penyakit dan kerugian total. Tidak ada estimasi yang telah dibuat mengenai dampak kompensasi terhadap pelaporan penyakit penyebaran penyakit di negara yang tedampak HPAI H5N1. Banyak diantara mereka hanya memiliki sedikit pengalaman terkait skema kompensasi untuk penyakit hewan. Terlebih lagi, negara-negara yang telah mengalami penyebaran infeksi secara luas atau problem penyakit yang terus-menerus (misalnya Vietnam, China, Indonesia, Mesir, Nigeria) adalah negara-negara yang termasuk dalam wilayah tengah seperti yang dideskripsikan oleh Gambar 24.1, dengan beragamnya sistem perunggasan di dalamnya, dimana negara dengan pengalaman skema kompensasi tertinggi adalah negara-negara yang memiliki peternakan industri berskala besar. Perkiraan pembiayaan sampai saat ini melaporkan jumlah uang yang dibayarkan pada peternak, akan tetapi tidak menyebutkan pembiayaan administratif tambahan yang dikeluarkan untuk skema pembayaran. Di Thailand, sampai maret 2004, peternak telah mendapat kompensasi untuk 61 ekor juta unggas [18], dibiayai sebesar 46.5 juta USD. Di Nepal tingkat kompensasi meningkat mengikuti wabah tahun 2003, dan berada di kisaran 0.52-5.15 USD tergantung kategori unggas. Angka kompensasi setengahnya menuruti nilai pasar dari unggas yang dimusnahkan, dimulai dari 9% untuk ayam kampung yang dipelihara di sekitar rumah sampai 67% untuk ayam broiler putih [40].
Skema kompensasi yang diperlukan oleh Sektor 1 dan 2 berbeda dengan sektor 3 dan 4 [85], dan ini berimplikasi pada pembiayaan dan pembagian pembiayan. Sebagai contoh, pada sektor 1 dan 2 lebih menekankan pada nilai unggas secara tepat, yang artinya harus diperhitungkan adanya biaya proses penilaian. Peternak kontrak mungkin harus diberikan kompensasi meskipun mereka bukan pemilik sah unggas yang mereka pelihara, karena terdapat biaya produksi dari kantong mereka sendiri. Pada sektor 3 dan 4, meskipun nilai yang dibayarkan untuk pengganti unggas tidak boleh terlalu rendah, kecepatan pembayaran lebih penting, dan dapat dibenarkan untuk menggunakan penilaian secara menyeluruh terhadap kategori unggas yang luas, selama pembayaran dapat dilakukan secepatnya. Perlu dilakukan pembagian uang meliputi wilayah yang luas, kadang dalam bentuk tunai, dan ini memerlukan biaya administrasi tambahan. Sektor 1 dan 2 paling tertarik untuk merespon pengendalian penyakit secara cepat untuk memulihkan pasar, dan bisa menahan kerugian dari pemusnahan untuk mencapai hal ini. Sektor 3 khawatir terhadap pasar, tetapi bisa saja tidak melihat perlunya dilakukan pemusnahan, dan hutang mereka dapat menjadi menumpuk jika kompensasi tidak dibayarkan secepatnya. Bisa juga ada kesulitan melakukan restocking, yang akan didiskusikan di bagian lain. Untuk sektor 4, salah satu tantangannya dalah untuk memasukkan peternak dalam skema pembayaran pemusnahan resmi sehingga mereka bisa diberikan kompensasi, karena kompensasi jarang dibayarkan untuk unggas yang mati. Sistem registrasi dan pembayaran harus direncakan dengan mempertimbangkan kondisi negara dan lokal, tidak ada satu solusi yang dapat diterapkan untuk semua tempat.
Dalam hal pembiayaan, negara-negara dimana sektor 1 dan 2 nya kuat cenderung melakukan pembiayaan bersama, menggunakan dana publik dan swasta untuk membuat dana bersama kesehatan hewan yang kemudian dari dana itu dapat ditarik biaya kompensasi dan biaya-biaya terkait kesehatan hewan lainnya. Dana ini berhubungan dengan peraturan biosekuriti yang ketat. Secara teori, grup produsen di sektor 3 juga mampu berkontribusi terhadap dana tersebut, akan tetapi tidak ada contoh baik yang dapat diikuti. Untuk sektor 4, kompensasi harus selalu ditanggung oleh pemerintah, dan juga untuk alasan efisiensi dari alokasi dana pusat.
Pemusnahan di area terbatas dengan vaksinasi cincin (ring vaccination) untuk wilayah yang lebih luas mungkin dilakukan, jika vaksinasi dapat dilakukan dengan aman dan efektif. Pada 2006 telah diperkirakan bahwa untuk wilayah China dengan kepadatan unggas sedang, melakukan vaksinasi cincin dalam radius zona 5 km dengan pemusnahan terbatas untuk untuk stamping out wabah HPAI H5N1, daripada melakukan pemusnahan seluruh unggas yang ada dalam zona radius 3 km, berpotensi mencegah pemusnahan unggas senilai kira-kira 84.000 USD serikat berdasarkan harga sedang unggas pedaging, dari investasi sebesar sekitar 14,000 USD [67]. Biaya pelaksanaan vaksinasi cincin dapat ditanggung bersama antara pemerintah dan peternak, atau seluruhnya oleh pemerintah.
Vaksinasi Preventif
Negara-negara yang telah mengalami wabah HPAI yang berulang dan meliputi wilayah yang luas telah mengembangkan strategi jangka panjang yang meminimalisir perlunya permusnahan. Program vaksinasi skala besar untuk virus HPAI dan LPAI telah diimplementasikan di Meksiko (H5N2), Italia (H7N1), dan Pakistan (H7N3). Vietnam, Indonesia, China dan Hong Kong telah memperkenalkan vaksinasi skala besar terhadap H5N1 dengan level cakupan dan kesuksesan yang bervariasi. Setidaknya sebanyak 125 milyar dosis vaksin H5N1 telah digunakan antara tahun 2004 dan 2012 di China, Indonesia dan Vietnam [10]. Kampanye vaksinasi berskala besar mebutuhkan sumber daya yang banuak dan karenanya memerlukan manajemen perencanaan yang baik dalam hal teknis, operasional, dan permasalahan finansial agar dapat berjalan secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang. Beberapa kerangka dan alat perencanaan [10, 41, 47] tersedia dalam literatur untuk membantu membuat struktur perencanaan dan pengambilan keputusan otoritas veteriner berkenaan dengan masuknya program vaksinasi sebagai salah satu bagian strategi pengendalian HPAI H5N1. Keputusan otoritas veteriner untuk melakukan vaksinasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa pertanyaan di bawah ini (diadopsi dari [47]) memberikan daftar periksa sederhana untuk baik untuk virus HPAI ataupun LPAI.
Apakah vaksinasi dapat dilakukan?
Vaksin yang tersedia telah dapat melindungi ayam dan itik dengan baik dari HPAI H5N1, meskipun perlu adanya kewaspadaan munculnya strain baru dan untuk perlu meningkatkan formulasi vaksin. Vaksin LPAI H7N9 untuk unggas belum tersedia.
Apakah vaksinasi hewan merupakan pilihan yang paling efektif dari segi biaya untuk mengurangi kasus pada manusia?
Untuk virus influenza hewan yang bersifat zoonotik, seperti H5N1 dan H7N9, keputusan untuk menggunakan vaksin pada hewan utamanya didorong oleh kepentingan kesehatan manusia. Keuntungan terhadap kesehatan manusia dalam jangka pendek telah didemonstrasikan oleh kampanye vaksinasi HPAI H5N1 berskala besar di China, Vietnam, Indonesia dan Hong Kong. Pembiayaan yang efektif dalam jangka panjang akan tergantung pada waktu yang diperlukan dan efektivitas program vaksinasi.
Apakah vaksinasi memberikan manfaat pada penghidupan orang-orang yang rentan?
Kemungkinan ada efek positif dari vaksinasi terhadap virus HPAI jika vaksinasi berhasil meminimalisir penyebaran penyakit dan depopulasi, terutama pada situasi dimana kompensasi yang cukup tidak tersedia. Untuk memberikan dampak maksimal perlu diikuti oleh signal yang jelas bahwa restocking diperbolehkan, juga pembukaan kembali pasar hewan dan meyakinkan konsumen bahwa unggas yang divaksinasi aman untuk dimakan. Juga terdapat efek positif terhadap mata pencaharia jika vaksinasi dapat meminimalisir terganggunya sektor-sektor lain yang berhubungan dengan hewan ternak, seperti wisata dan hiburan, akan tetapi efek ini terhadap HPAI belum diestimasikan. Di Vietnam, jumalh kasus kematian manusia telah turun sejak diperkenalkannya vaksinasi masal bersama dengan upaya pencegahan launyall dan hal ini telah dikatakan berdampak postif terhadap pariwisata. Meskipun begitu, Thailand dan Malaysia, dua negara yang khawatir terhadap dampak HPAI terhadap pariwisata memilih untuk tidak melakukan vaksinasi.
Vaksinasi yang mengurangi perlunya pemusnahan dan kematian unggas dapat menjadi strategi valid untuk mempertahankan biodiversity. Jika spesies terancam punah dipelihara di sektor 4 atau stok genetik yang berharga di grandparents stock, dan dapat divaksinasi dan dikecualikan dari pemusnahan.
Vaksinasi tidak menghilangkan dampak shock pasar atau pembatasan pergerakan hewan, dan pada beberapa kasus, peternak lebih rela floknya dimusnahkan dan menerima kompensasi cepat daripada melakukan vaksinasi ternak dan menyebabkan mereka tidak dapat menjual ternak mereka.
Apakah vaksinasi memiliki efek samping terhadap perdagangan internasional?
Untuk pemerintah yang didominasi produsen sektor 1, pilihan yang paling baik adalah melakukan stamping out tanpa vaksinasi, akan tetapi seperti yang telah ditemukan oleh Belanda dan Kanada, biaya yang dikeluarkan bisa jadi sangat tinggi. Thailand adalah salah satu dari lima eksporter daging unggas top dunia sebelum wabah HPAI H5N1, yang berakibat pelarangan importasi produk ayam dari Thailand. Thailand telah sukses mengeliminasi HPAI h5n1, akan tetapi Uni Eropa tidak mengangkat larangan impor ayam dari Thailand kecuali setelah 8 tahun sejak HPAI H5N1 pertama ditemukan di Thailand. Perancis dan Belanda memvaksinasi sebagian stok unggas mereka sebagai upaya pencegahan [41].
Apakah terdapat sumber dana yang pasti untuk pelaksanaan vaksinasi yang berkelanjutan?
Keuntungan vaksiasi pencegahan dibandingkan upaya emergensi adalah bahwa banyak pembiayaan terkait dapat direncanakan dari awal. Meskipun begitu, sekali program vaksinasi dimulai, harus berlanjut
Apakah vaksinasi dapat dilaksanakan efektif dari segi biaya dengan memperhatikan sistem produksi dimana vaksinasi diaplikasikan?
Dalam produksi tertutup, intensif, berskala sedang ataupun besarm metode paling efektif dari segi pembiayaan
Rehabilitasi pasca wabah
Dalam perencanaan cadangan untuk wabah sangat penting untuk berfikir untuk mengatasi tidak hanya pengendalian wabah saja tetapi juga proses rehabilitasi, karena hal ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan selama pelaksanaan stamping out selama wabah berlangsung. Sebagai contoh, penyediaan kompensasi berupa dividen dibandingkan tunai, atau menghubungkannya dengan restocking, akan menunjukkan adanya niat untuk mempromosikan restocking, dan juga berarti bahwa pembayaran kompensasi mungkin ditunda. Pertimbangan ekonomi selama fase rehabilitasi meliputi rehabilitasi keuangan dan manajemen restocking, dan rehabilitasi potensi infestasi perbaikan biosekuriti sebelum proses restocking berlangsung. Peternak kecil lebih sulit untuk restocking dan mengadopsi biosekuriti yang baik jika dibandingkan dengan peternak besar komersial [21].
Restocking
Ada dua pertimbangan dalam melakukan restocking, yatu keuangan dan sumber asal hewan ternak dan unggas. Dalam sistem tertutup berskala besar dan sedang, keuangan dapat dibiayai dari dalam atau dibiayai dari kredit, dan stok ternak pengganti diambil dari produsen komersial. Setelah wabah yang parah, jika peternakan breeder telah mengalami pemusnahan, diperlukan waktu untuk membangun kembali siklus produksi. Siklus produksi normal bersifat teratur, sehingga ada aliran keluar masuk ternak yang rutin. Jika peternakan breeder melakukan destocking, produksi harus dimulai kembali agar aliran ternak ini kembali seperti biasa, dan ini berarti memerlukan waktu yang lama untuk membuat aliran secara penuh. Di Kanada, rencana cadangan untuk pelaksanaan stamping out HPAI H5N1 harus mempertimbangkan penundaan penyediaan DOC untuk beberapa peternak, dan hal ini mungkin dapat menjadi pembenaran angka kompensasi yang lebih tinggi bagi peternak yang mengalami waktu kosong kandang yang lama [7].
Untuk flok dan kawanan ternak ekstensif, unggas dan hewan ternak untuk restok biasanya bersumber dari lokal. Peternak dapat memisahkan floknya dan menyerahkan salah satu bagian flok untuk dipelihara anggota keluarga lainnya untuk menghindari resiko, atau restok dari desa mereka sendiri.
Peternak intensif berskala kecil lebih mungkin bergantung pada kredit untuk mempertahankan siklus produksi dan akan mengalami masalah keuangan terutama jika unggas atau hewan lain mati pada saat mendekati berakhirnya siklus, saat banyak biaya telah dikeluarkan untuk pakannya. Di Vietnam tahun 2004-2005, pemerintah mendoroong bank untuk memperpanjang periode kredit agar peternak dapat memulai kembali produksi unggasnya. Di Indonesia, banuak peternak skala kecil dan skala menengah memiliki masalah pembayaran atau penjadwalan kembali kredit usaha mereka [36]. Beberapa memilih menjadi peternak kontrak untuk mendapatkan input untuk memulai produksi kembali. Di pulau Lombok, Indonesia, peternak kontrak pembesaran grower terpaksa melakukan destocking selama satu bulan selama wabah 2003-2004 saat kontrak mereka ditangguhkan, akan tetapi mereka tetap dibayar untuk unggas-unggas yang kena destocking dengan harga sesuai kontrak yang ditentukan oleh kontraktor sebelum wabah [66].
Di Turki, setelah wabah HPAI H5N1 di 2006, banyak orang yang hewan unggasnya telah dimusnahkan hanya memelihara sedikit hewan pengganti (restock) dengan alasan yang bervariasi, diantaranya karena adanya kekhawatiran terpapar penyakit HPAI lagi, atau takut jika pemerintah akan memusnahkan hewan mereka lagi, atau karena mereka tidak tahu kalau sudah boleh mengisi ternak lagi, atau mereka mengeluarkan setengah ternaknya saat musim dingin dan lebih memilih untuk melakukan restocking setelah musim migrasi burung liar telah lewat [30].
Peningkatan biosekuriti pada peternakan dan pasar
Saat sektor perunggasan direhabilitasi setelah terjadinya wabah yang serius, peternak dan pemerintah mungkin berfikir untuk mengupgrade biosekuritnya. Idealnya mereka akan melakukannya dari awal sebagai upaya pencegahan, akan tetapi ini jarang dilakukan kecuali pada sistem perkandangan berskala besar dimana pengembangan yang berkelanjutan diperlukan untuk memenuhi persyaratan keamanan pangan internasional. Perbaikan biosekuriti dan higiene dapat saja diperlukan pada supplier pakan, peternakan, sistem stransportasi , rumah potong hewan dan penjual daging eceran.
Pada level peternakan, pendekatan yang berbeda diperlukan untuk unggas yang akan masuk ke dalam rantai pemasaran yang panjang dibandingkan dengan skala lokal. Sektor perunggasan 1 dan 2 dan produsen ternak babi berskala besar menganggap investasi di bidang biosekuriti sebagai hal yang wajar dalam praktek bisnis, dan melihat potensi hilangnya pasar sebagai hal yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan biaya upgrading biosekuriti. Sedangkang peternakan yang dijalankan oleh pemerintah tidak khawatir dengan masalah keuangan. Di Vietnam sangat diperlukan untuk melakukan peningkatan besar-besaran pada sistem biosekuriti pada peternakan breeding milik pemerintah, dengan biaya per peternakan sebesar 10.300 sampai 75.500 USD untuk konstruksi dan 12.750 sampai 41.875 USD untuk peralatan, dan sekitar 1500 USD untuk PELATIHAN [67]. DI Lombok Indonesia, peternak kontrak yang ingin mengupgrade biosekuriti untuk memenuhi persyaratan dari firma kontraktor dapat menghabiskan biaya sebesar 3000 USD, data tahun 2002 menunjukkan ada 2500 kandang broiler yang telah memenuhi persyaratan kontraktor [66]. Untuk bisa menjadi peternak kontrak, peternak harus setuju untuk membangun kandang ayam, membangun jalan yang bagus agar truk dapat mengakses peternakan sepanjang tahun, memberikan air bersih dan cahaya untuk ayam, dan memelihara ayam, itik dan babi terpisah dari pemukiman [1].
Untuk dapat meningkatkan biosekuriti pada sistem pemeliharaan itik memerlukan perubahan total sistem manajemennya, jika itik umbaran yang sebelumnya dilepaskan ke sawah diharuskan untuk ditaruh didalam tempat tertutup atau dipelihara di dalam ruangan. Tidak hanya menimbulkan investasi baru dan peningkatan biaya rutin, tetapi juga dapat menyebabkan hilangnya hasil panen, atau perlunya menambahkan pestisida dan pupuk. Peternak dapat mempertimbangkan melanjutkan vaksinasi untuk dapat melakukan perubahan yang drastis ini. Sistem pemeliharaan ayam sektor 3 mungkin perlu untuk menambahkan kandang pemeliharaan dengan netting (sekitar 200 USD di vietnam untuk unit kandang kecil), pembersihan yang lebih rutin, alas kaki sekali pakai atau yang dapat dicuci berkali-kali, dan tidak boleh menerima pengunjung. Di negara berkembang, pasar-pasar produk khusus seperti produk organik atau sistem pemeliharaan lepas bebas (free-range) dapat mendapat manfaat dari pendekatan spesialis berdasarkan pengetahuan resiko musiman dari burung-burung liar, karena kekhawatiran utama dari sistem ini bukanlah biaya biosekuriti tambahan, akan tetapi kemungkinan hilangnya pasar premium jika unggas tidak lagi bisa dipelihara di luar kandang. Di sektor 3, peningkatan biosekuriti hanya akan mungkin dicapai jika terkait dengan registrasi yang progresif dan inspeksi peternakan yang terus menerus. Di Hong Kong telah ada pengetatan persyaratan biosekuriti yang sangat progresif untuk peternakan, meliputi perlindungan terhadap burung liar, pembangunan tempat untuk pembersihan peralatan menggunakan desinfektan, dan transportasi dan hal-hal lainnya. Di sebuah penawaran yang diberikan pada peternak yang ingin meninggalkan industri, biaya sebesar 19.300 USD untuk peternakan dan 10.000 sampai 20.000 USD untuk unggas pedaging yang dikandangkan telah disediakan untuk mengkompensasi perbaikan yang telah dilakukan oleh peternak tersebut [67].
Kawanan hewan dan flok yang dipelihara secara intensif dapat memerlukan pendekatan yang berbeda, dengan upaya-upaya dari komunitas dan juga individu dalam rumah tangga, karena investasi program isolasi wilayah secara total tidak memungkinkan secara ekonomi.
Pada semua kasus perlu diperlukan pembaharuan informasi dan pelatihan yang diberikan pada peternak dan pembimbing pelatihan. Salah satu survei [64] menemukan bahwa adopsi upaya biosekuriti oleh peternak unggas dapat dipengaruhi oleh struktur industri, apakah peternak dikontrak oleh firma agribisnis atau beroperasi secara mandiri, tipe produksi, dan tahapan perkembangan dari industri perunggasan. Misalnya, peternak kontrak yang melakukan pembesaran (grower) bisa saja mengadopsi biosekuriti saat diharuskan oleh kontraktor, sementara peternak mandiri dapat memilih untuk melepaskan diri dari usaha di bidang perunggasan daripada berinvestasi dalam biosekuriti.
Pemerintah menghadapi dilema apakah harus melarang pasar unggas hidup atau berfokus pada peningkatan kesehatan. Pasar-pasar ini memberikan mata pencaharian bagi banyak orang, dan daging segar yang baru dipotong dari unggas yang telah diperiksa sebelumnya lebih disukai oleh konsumen. Deteksi virus LPAI H7N9 pada pasar unggas hidup di China telah membuat tekana pada seluruh stakeholder untuk mengimplimentasikan biosekuriti yang lebih tinggi untuk mencegah perbanyakan dan penyebaran virus. Pedagang dan vendor memiliki insentif untuk menghindarkan mereka dari kerugian yang besar dari penutupan pasar dan shock permintaan, dan untuk mendapatkan kepercayaan konsumen. Beberapa contoh pembiayaannya telah dipublikasikan di beberapa literatur. Solusi lokal untuk mengupgrade biosekuriti kadang tidak bisa diganti. Solusi untuk pasar unggas hidup seringkali tidak hanya terbatas pada investasi pada infrastruktur dan dan peningkatan pembiayaan reguler untuk pembersihan dan desinfeksi. Untuk mencapai biosekuriti yang operasional memerlukan sensitisasi dan partisipasi para pedagang dan vendor. Pembangunan tempat pencucian alat angkut di Guang Dong memakan biaya sebsar 80.000 USD. Perencaaan dan konstruksi pasar unggas hidup grosir yang baru diluar kota Hanoi memakan biaya 2 juta USD dengan pembiayaan dari donor. Pembangunan pasar dilakukan dari tahun 2009-2010, dengan kapasitas lebih dari 20 ribu unggas perharinya [38].
Upaya jangka panjang dalam rangka pencegahan dan pengendalian influenza hewan
Upaya-upaya pencegahan influenza hewan yang kuat dalam jangka waktu yang lama menggabungkan respon terhadap wabah dengan pengurngan resiko yang akan terjadi. Keuntungan harus meliputi berkurangnya shock pasar dan meningkatnya stabilitas pasar, meningkatnya kepercayaan mkonsumen, sharing resiko, dan manfaat yang besar dari kesehatan hewan. Meskipun begitu, diperlukan investasi yang terjaga berkelanjutan, dan beberapa perubahan yang akan diperkenalkan memiliki potensi mengecualikan orang dari mata pencaharian di sektor perunggasan. Upaya-upaya yang mungkin dilakukan adalah upgrade biosekuriti (yang telah didiskusikan sebelumnya), restrukturisasi rantai pemasaran, dan investasi sistem kesehatan hewan untuk mendukung produksi unggas.
Restrukturisasi
Saat rantai pemasaran direstrukturisasi, perubahan dapat terjadi pada beberapa bagian dari rantai. Perubahan ini dirangkum dalam penjelasan di bawah ini.
Perubahan lokasi
Bagian-bagian dari rantai dapat dipindahkan jauh dari area padat manusia dan hewan ternak lainnya. Contoh dari hal ini meliputi pemindahan pasar basah dan rumah pemotongan ke luar kota, dan pelarangan memelihara unggas di perkotaan. Terjadi pergesaran produksi perunggasan jauh dari Bangkok sekitar tahun 1992 dan 2000, dengan kepadatan semakin menurun sejauh radius 50 km dari kota, yang didorong dengan insetif pajak [31]. Salah satu konsekuensi pemindahan fasilitas rumah potong hewan jauh dari perkotaan adalah banyaknya outlet supermarket yang bertempat di perkotaan, sehingga pemasaran produk memerlukan biaya transportasi yang lebih besar. Dampak pemindahan tempat dapat saja negatif (karena fasilitasnya menjadi lebih susah diakses karena konsumen yang miskin atau pedagang kecil) atau positif (karena terciptanya lapangan kerja di wilayah pedesaan, dan berpindahnya bau dan kontaminasi air jauh dari pemukiman penduduk).
Mengurangi kompleksitas
Salah satu akibat meningkatnya perhatian terhadap biosekuriti adalah terpisahnya rantai formal dan yang sedikit formal, yaitu berkurangnya kompleksitas jika dibandingkan dengan situasi yang digambarkan pada gambar 3.2. Saat beberapa rantai mulai mengalami pengaturan, dengan standar keamanan pangan yang lebih tinggi, kontak mereka terhadap rantai lain cenderung menurun. Di Vietnam, rantai formal dan informal telah memperlihatkan pemisahan terutama untuk sumber bibit untuk pengecer dengan nilai produk satuan yang tinggi. Keuntungan dari meningkatnya perdagangan telah bertumbuh pesat di sektor 1 dan 2 [1]. Saat ini telah pedoman internasional lebih menekankan bahwa status bebas penyakit yang diperlukan untuk perdagangan internasional dapat berlaku bukan hanya untuk satu negara, akan tetapi satu zona atau kompartemen, dengan yang terakhir ini berada dalam rantai pemasaran yang terintegrasi secara biosekuriti.
Peningkatan konsentrasi dan perubahan komposisi
Sektor perunggasan komersial telah terkonsentrasi dari segi kepemilikan dan jumlah tempat, dan ada kecenderungan meningkatnya konsentrasi pada negara-negara yang sektor perunggasannya sedang mengalami modernisasi. Kebijakan eliminasi HPAI H5N1 telah memicu perubahan di Thailand dan Vietnam. Sistem pemeliharaan itik umbaran telah dilarang. Peternak kontrak ayam broiler sebagian besarnya telah dihapuskan sedikit demi sedikit, dan perusahaan besar telah beralih ke integrasi secara vertikal untuk meningkatkan kendali dan biosekuriti pada setiapan tahapan produksi, dengan desakan dari peraturan pemerintah yang diperkenalkan untuk pencegahan HPAI H5N1 [37]. Hasil survei mengindikasikan bahwa 29% peetrnak yang memproduksi ayam broiler pada tahun 2003 telah berhenti memelihara ayam broiler pada tahun 2007. Survei yang serupa pada peternak yang memelihara ayam layer pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa 44% dari mereka telah beralih pada aktivitas lain [51]. Di Vietnam, pemerintah memberikan insentif untuk modernisasi produksi perunggasan yang berakibat peningkatan sebesar 8% pada satuan produksi ayam semi-industri dari total produksi nasional dalam waktu 1 tahun di 2006 [43].
Terdapat kecenderungan menuju mekanisasi dalam ekonomi-ekonomi maju dan berekembang. Pada negara berkembang, karena rendahnya upah maka industri lebih memilih mempekerjakan orang dibanding mesin, akan tetapi adanya kepentingan implementasi sistem manajemen kualitas yang lebih teliti untuk keamanan pangan dapat mengganggu keseimbangan ini. Jika hal ini terjadi, potensi restrukturisasi rantai perunggasan akan menggerus kesempatan kerja bagi para peternak kecil. Penghentian operasional produksi unggas belakang rumah (backyard poultry) di Vietnam saja dapat menghilangkan laba sebesar 550 juta USD per tahun, setara dengan 2,5 juta pekerjaan ‘full-time’ dengan upah minimum pedesaan [43]. Di Thailand, itik mengisi 3% populasi ternak [32], akan tetapi upaya biosekuriti dan pembatasan perbibitan membuat semakin sulit bagi sistem pemeliharaan ternak ekstensif untuk tetap bertahan.
Beberapa hubungan formal lainnya
Hubungan-hubungan yang terdapat dalam sistem pemasaran unggas meliputi integrasi, dimana salah satu firma mempunyai beberapa bagian dari rantai pemasaran, pengaturan kontrak tertulis, kontrak verbal (tetapi kuat), dan beberapa pengaturan yang lebih sederhana. Perlunya biosekuriti yang lebih tinggi di sepanjang rantai pemasaran cenderung untuk menekan hubungan kontral formal dengan transaksi yang lebih rendah. Dalam pasar produk sayuran pun ada kecenderungan mendorong resiko yang ada menuju produsen skala kecil yang ada di ujung rantai pemasaran. Bukan tidak mungkin bagi para peternak kecil untuk masuk ke dalam rantai pemasaran formal, akan tetapi mereka mungkin harus melakukan upgrade dari sektor 3 ke sektor 2 dalam segi biosekuriti, dan untuk dapat beroperasi dengan status keuangan yang lebih kuat untuk dapat mengatasi keterlambatan pembayaran. Mereka juga akan menghadapi persaingan harga yang ketat dengan pesaingnya yaitu produsen besar kecuali jika mereka mampu menawarkan produk yang lebih berbeda, seperti unggas tradisional atau organik. Salah satu kemungkinan bagi peternak kecil adalah untuk meningkatkan kekuatan asosiasi atau kelompok ternaknya untuk bernegosiasi dengan pembeli. Telah ada beberapa kisah penggunaan sukses pendekatan ini di Amerika Latin untuk produk hortikultura, akan tetapi tidak ada contoh jelas yang bisa diikuti untuk produksi perunggasan.
Beberapa negara yang tertarik melakukan restrukturisasi adalah negara-negara yang permintaan daging domestik dalam negerinya sedang berkembang. Terdapat permintaan sangat besar terhadap daging segar dan daging disimpan dingin dibandingkan dengan daging beku, dan ini menumbuhkan harapan bagi produksi domestik. Tendensinya adalah asumsi bahwa permintaan ini akan paling bagus dipenuhi oleh unit yang lebih sedikit, bevolume besar, dan juga efisien yang juga akan membentuk basis untuk menembus pasar ekspor. Meskipun begitu, dalam negara yang permintaannya terus berkembang, sektor 3 dan 4 mensuplai konsumen yang ditidak mempunyai akses ke supermarket, dan sektor 3 memiliki fleksibilitas untuk berkembang dan membuat kontrak-kontrak baru untuk memenuhi pergeseran permintaan. Perubahan yang tiba-tiba dalam komposisi sektor akan lebih mungkin menyakiti konsumen seperti halnya produsen kecil, dan dapat menciptakan celah permintaan yang harus diisi dengan impor dari negara tetangga dengan status influenza hewan yang seringkali tidak pasti.
Investasi pada sistem kesehatan hewan
Manajemen sektor perunggasan dan babi yang terus berkembang secara dinamis akan didukung oleh sistem kesehatan hewan dalam hal surveilans, respons cepat terhadap kasus penyakit, upaya-upaya pencegahan dan kontrol wilayah perbatasan. Hal-hal ini membutuhkan investasi dan pemikiran kembali sebuah sistem. HPAI H5N1 telah memperlihatkan adanya kesulitan melaksanakan pengendalian penyakit dalam sistem keuangan dan pengambilan keputusan yang terdesentralisasi. Isolasi dan eradikasi penyakit lintas perbatasan memerlukan standarisasi dan pedoman yang menembus batasan administratif, nasional dan internasional [18]. Sangat tidak mungkin untuk memberikan saran pelaksanaan re-organisasi, karena ada pendapat yang kuat yang mendukung kelangsungan sistem desentralisasi untuk fungsi-fungsi selain pengendalian epidemi penyakit, akan tetapi kita dapat belajar dari contoh-contoh yang baik dalam pengelolaan pendanaan kesehatan hewan dan pengambilan keputusan terkait legislasi dan penegakan hukum. Bahkan dalam sistem yang terdesentralisasi, pendanaan kesehatan hewan dapat dikumpulkan di satu anggaran sentral dan penggunaannya melalui persetujuan dari kelompok pengambil keputusanyang dapat dipercaya. Sering perkembangan sektor komersial, menjadi semakin sulit untuk mengembangkan pendanaan dengan melibatkan kontribusi dari pemerintah pusat, pemerintahan desentralisasi, dan industri swasta dengan mengikuti pedoman ketat yang disetujui oleh semua perwakilan dari pihak kontributor.
Penyediaan pendanaan untuk mendukung kawanan ternak dan flok unggas berskala kecil dan dengan biosekuriti minimal, yang kepemilikannya tidak berkontribusi pada keuangan negara dinilai lebih problematik. Sektor komersial mungkin saja tertarik untuk memberikan subsidi kepada peternak kecil. Sudah menjadi kepentingan umum pula untuk mendukung pembentukan produsen lokal dimana pelatihan dan pelayanan dapat diberikan dan berpusat pada para pekerja kesehatan hewan para-profesional. Telah terlihat kemajuan cukup pesat dalam usaha mempelajari apa saja yang mendukung dan menghambat kemampuan pekerja keswan para-profesional untuk mendukung komunitasnya [25], dan hal ini perlu dilanjutkan meskipun memerlukan biaya yang tinggi. Akan menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk mengarahkan pelayanan pada unggas, karena flok unggas kecil hanya menerima sedikit input pelayanan keswan jika dibandingkan dengan hewan ternak lainnya. Meskipun telah banyak upaya untuk melegalisasikan posisi para pekerja keswan para-profesional, posisi mereka masih tidak jelas dimata pemerintah. Salah satu cara untuk membangun kapabilitas mereka adalah memberikan pekerjaan tetap, dengan kontral formal, dalam melaksanakan surveilans, kontrol kualitas, dan vaksinasi. Akhirnya, dengan peningkatan kearah penyakit zoonosis yang bersifat emerging, mungkin dapat dipererat hubungan antara para pekerja keswan para-profesinal dan pekerja kesehatan manusia para-profesional, terutama untuk surveilans.
Bab ini telah secara singkat menyoroti permasalahan-permasalahan utama dalam pengendalian influenza hewan dari segi ekonomi, terutama HPAI H5N1, LPAI H7N9 dan pandemi influenza H1N1 tahun 2009. Avian influenza tidak menginisiasi perubahan yang terjadi pada sektor perunggasan, karena trend menuju konsentrasi dan reorganisasi telah lebih dulu dimulai sebelumnya, akan tetapi avian influenza membuatnya lebih diperhatikan oleh orang-orang di seluruh dunia dan mempercepat perubahan yang terjadi.
Ulasan ini telah mendeskripsikan kronologi permasalahan sosial dan ekonomi yang harus diatasi dalam setiap tahapan berbeda dalam manajemen penyakit. Ulasan ini telah menarik perhatian pada pertimbangan-pertimbangan berbeda pada sistem-sistem produksi dikandangkan dan ekstensif/umbaran, skala kecil dan skala besar, dengan level biosekuriti dan komersialisasi yang berbeda-beda, yang kesemuanya memainkan peranan dalam jalinan sosial dan ekonomi dalam suatu negara dimana mereka berada. Saat sistem-sistem ini diteliti, terlihat jelas bahwa strategi pengendalian penyakit untuk suatu negara meskipun mengikuti prinsip umum juga harus diatur untuk mengakomodasi sistem-sistem yang terdapat di dalamnya dan pada tahapan apa sistem tersebut telah berkembang, selain juga memperhatikan sumber daya lokal keuangan dan sumber daya manusianya.
Tedapat sebuah urgensi yang jelas tidak hanya untuk pembiayaan internasional secara berkelanjutan untuk pengendalian influenza hewan, akan tetapi juga memantapkan rekomendasi untuk membuatnya lebih efektif dari segi pembiayaan dalam situasi-situasi yang spesifik. Dalam rangka mendukung proses ini, pekerjaan harus terus dilakukan untuk mempelajari lebih jauh tentang keuntungan dan pembiayaan proses pengendalian penyakit. Bidang minat tertentu yang harus diinvestigasi lebih lanjut dijabarkan secara singkat di bawah ini.
Ekonomi sistem surveillans
Penyakit-penyakit emerging, terutama yang bersifat zoonosis, adalah sebuah ancaman yang berkelanjutan, dan dampak ekonominya meningkat tajam seiring perlambatan respons pertama. Diperlukan pemahaman yang lebih jelas terhadap perlunya insentif pelaporan, yang melibatkan penggunaan kompensasi secara lebih efektif pada sistem produksi peternak kecil di negara-negara berkembang, dan keterlibatan masyarakat yang lebih dalam pada level komunitas untuk pengambilan keputusantentang pengendalian penyakit. Kerjasama regional dalam pelaksanaan surveilans juga harus diperbaiki, mengingat tingginya jumlah keluar masuknya unggas melalui perbatasan baik melalui jalur resmi maupun tidak resmi. Peningkatan koordinasi dan kolaborasi antara sistem surveilans kesehatan hewan dan manusia mengikuti konsep “One Health” telah diestimasikan berakibat pada potensi penghematan sebsar 20-40% untuk 139 negara-negara yang berpenghasilan menengah dan rendah.
Masa depan produksi peternak unggas dan babi skala kecil
Produksi unggas dan babi dalam skala kecil dan intensif telah dipromosikan sebagai sebuah jalan untuk keluar dari garis kemiskinan, akan tetapi masih belum jelas dalam keadaan seperti apa peternakan unggas dan babi dapat berperan dalam hal ini. Jika persyaratan biosekuriti terus menerus dinaikkan apakah bisa sistem produksi skala kecil ini mencapai biosekuriti level tinggi? Sistem pemeliharaan ekstensif tampaknya akan tetap tidak tersentuh dalam jangka waktu lama, karena mereka memainkan peranan ekonomi yang berbeda. Belum jelas apakah peningkatan biosekuriti akan menjadi mungkin untuk sistem ini, dan apakah yang diperlukan untuk mengimplementasikannya, juga pembiayaan dan implikasi manajemennya.
Perlunya investasi pada sistem kesehatan
Dalam pandangan kecenderungan perubahan yang berkelanjutan pada struktur perunggasan, dan struktur peternakan babi dalam tingkatan yang lebih rendah, dan adanya ancama yang berkenlanjutan dari penyakit infeksius, maka perlu ditelaah bagaimana cara desain, koordinasi dan pembiayaan sistem kesehatan hewan dan sistem kesehatan manusia. Negara-negara yang masih berkembang cenderung tidak siap dan tidak memiliki biaya untuk merespon terhadap HPAI H5N1.
Bank Dunia mengestimasikan pembiayaan tahunan sebesar 1.9 milyar USD untuk dapat memenuhi standar sistem pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis secara global yang sesuai dengan standar OIE dan WHO. Keperluan pendanaan ini secara signifikan sangat rendah jika dibandingkan dengan pembiayaaan penyakit zoonosis yang emerging dan re-emerging secara historis yaitu sebesar 6.9 milyar USD per tahunnya. Karena itulah angka kembali dari yang tinggi berbanding pengeluaran dapat diharapkan dari investasi sistem kesehatan dalam rangka pencegahan pandemi [84]. Meskipun begitu mobilisasi dana dalam jumlah sebesar itu tetap merupakan sebuah tantangan.
DISCLAIMER
Artikel terjemahan ini dimaksudkan bagi pembaca berbahasa Indonesia untuk dapat mempelajari artikel keilmuan terkait. Penerjemah tidak mendapatkan keuntungan apapun dari kegiatan penerjemahan ini.