Oleh Lonneke Verveide dan Darrel R. Kapczynski
Diterjemahkan oleh: Agna D. Lantria
DISCLAIMER
Artikel terjemahan ini dimaksudkan bagi pembaca berbahasa Indonesia untuk dapat mempelajari artikel keilmuan terkait. Penerjemah tidak mendapatkan keuntungan apapun dari kegiatan penerjemahan ini.
Gambaran umum tentang imunitas
Fungsi utama dari respons imun adalah untuk mengenali dan mengeliminasi infeksi. Sistem imun verterbrata tersusun dari dua elemen fungsional – imunitas bawaan dan imunitas adaptif – yang berbeda dalam waktu respons dan mekanisme pengenalan pathogen [83, 84]. Reaksi awal dari system imun bawaan menggunakan reseptor code germline (germline-encoded), yang dikenal sebagai reseptor yang mengenali pola (pattern recognition receptors / PRRs), yang mengenali penanda/marker molekuler mikroba infeksius yang telah dilestarikan secara evolusi, yang dikenal sebagai pola molekuler yang berhubungan dengan pathogen (pathogen-associated molecular patterns / PAMPs) [40, 83, 85]. Sistem imun bawaan yang muncul setelahnya menggunakan reseptor antigen sangat spesifik pada sel Limfosit T (imunitas selular) dan sel Limfosit B (imunitas humoral) yang dihasilkan melalui proses acak pengaturan gen [40, 58]. Respons imun bawaan menstimulasi respon imun adaptif dan mempengaruhi sifat respons. Pengaruh ini dapat diprediksi dari tipe respons sitokin yang muncul. Profil respons T-helper (Th) 1 melibatkan interferon (IIFN)-γ, interleukin (IL)-2, IL-7, 1L-12, IL-15, dan IL-18, dan dihubungkan dengan respons kuat dari antigen spesifik CD8+ sel T. Sebaliknya, profil respons sitokin Th2 melibatkan IL-4, IL-5 dan IL-10 untuk menstimulasi produksi antibody antigen spesifik. Dengan begitu, kita bisa menentukan mekanisme prosesing antigen berdasarkan profil sitokin Th yang muncul mengikuti infeksi atau vaksinasi. Tipikalnya, jika unggas divaksin terhadap avian influenza (AI) dengan virus inaktif, maka akan memunculkan respons Th2, sedangkan infeksi alami mungkin akan menstimulasi respons seimbang dari Th1/2.
Respons imun bawaan akan tergantung kepada faktor yang telah ada sebelum perkembangan infeksi, dan memiliki kemampuan untuk merespons secara cepat terhadap mikroba. Imunitas bawaan memiliki empat komponen utama: (i) barrier/Batasan fisik dan kimiawi, seperti kulit, epitel, dan produksi mucus; (ii) sel bawaan, meliputi makrofag, heterofil (sel netrofil pada unggas), dan sel natural killer (NK); (iii) komplemen protein dan mediator inflamasi, dan (iv) sitokin. Dalam kerangka infeksi virus, pemahaman kita tentang bagaimana sistem imun bereaksi dan memulai respons yang tepat telah lebih diperjelas dengan penemuan dan karakteriasasi keluarga reseptor Toll-like (TLR) [127]. TLR ini lebih dikenal sebagai PRRs yang mendeteksi PAMPs. Bertemunya TLRS oleh PAMPs pada sel, seperti makrofag dan heterofil, memacu fungsi efektor imunitas bawaan, seperti produksi sitokin pro-inflamasi, sementara stimulasi TLRs pada sel dendritic memicu aktivasi sitokin sel T (misalnya IL-12) [98, 111]. Meskipun pengetahuan kita tentang TLRs utamanya diambil dari system mamalia, tampaknya system imun pada spesies unggas lumayan dekat sehingga imunologi mamalia dapat digunakan sebagai model untuk mempelajari imunologi unggas. Beberapa TLRs telah terindetifikasi yang dapat mengenali komponen viral PAMPs. Mereka adalah diantaranya (meskipun tidak terbatas pada) TLR2 (protein sitomegalovirus), TLR3 (RNA double-stranded, reovirus), TLR4 (fusi-protein RSV), TLR7 (RNA single-stranded, influenza), TLR8 (RNA single-stranded, HIV), dan TLR9 (DNA, virus herpes simplek, CpG motif) (untuk review, silahkan baca referensi [19]). Homolog TLR yang disebutkan diatas telah dideskripsikan melalui spesies unggas, dengan TLR21 sebagai pengecualian, dimana unggas menggunakannya untuk merepons terhadap motif CpG (ekuivalen dengan TLR9 pada mamalia) [21, 48, 70]. Dengan memperhatikan informasi spesifik terkait respons imun bawaan pada unggas, karakterisasi awal TLR7 dari spesies unggas yang berbeda telah ditentukan dan dibandingkan dengan sekuens TLR7 yang berasal dari mamalia yang telah dihubungkan dengan pengenalan RNA single-stranded dan virus influenza [62, 78, 101]. Hasil preliminary mengindikasikan bahwa terdapat 98-99% kesamaan antar spesies unggas, akan tetapi masing-masingnya hanya ada 93% dan 85% kesamaan dengan kalkun dan itik. Perbedaan pada domain ikatan ligand telah diamati pada spesies ayam dan itik. Antara spesies unggas dan mamalia, hanya ada 64% dan 70% kesamaan yang ditemukan antara ayam dan manusia atau spesies murine (tikus). Sementara TLR7 dan TLR8 pada mamalia telah dilaporkan berespon terhadap infeksi virus AI (aiv), spesies burung gallinaseus tampaknya mempunyai elemen insersi pada lokus genom TLR8 yang berakibat kurangnya ekspresi gen TLR8 [101]. Relevansi perbedaan genetic pada TLR7 dan kurangnya TLR8, dalam kerangka respertor binding dan signaliling sitokin downstream, belum dapat ditentukan, akan tetapi bisa jadi memiliki peranan dalam imunitas bawaan terhadap resistansi dan kerentanan terhadap AIV dan penyakit lainnya.
Pengenalan PAMP oleh PRR, sendiri ataupun melalui heterodimerisasi dengan PRR yang lain (TLR, proteindomain oligomerisasi pengikat nukleotida (NOD), helicases RNA seperti gen penginduksi asam retinoic 1 (retinoic acid-inducible gen 1/ RIG-1) atau MDA5, dan lektin tipe C), menginduksi sinyal intraseluler yang bertanggungjawab terhadap aktivasi gen yang mengkode stoking pro-inflamasi, faktor anti-apoptotik, dan peptide anti-mikrobial [24, 72, 133].
Meskipun beberapa derajat redundansi terdapat pada sinyal yang diinduksi oleh PRR yang beragam, pada umumnya tidak ada PRR tunggal yang mampu menjadi satu-satunya mediator dalam aktivasi respons imun bawaan. Karena itulah beragam pathogen, masing-masingnya memiliki PAMP yang berbeda, dapat berinteraksi dengan kombinasi PRR yang ada pada atau di dalam sel hospes. Variasi kompleks PRR yang ada memicu jalur transduksi sinyal intraseluler spesifik yang akan menginduksi profil ekspresi gen spesifik pula, terutama kespresi sitokin/kemokin, yang merepresentasikan usaha terbaik hospes untuk mengontrol pathogen tertentu [25, 39, 44, 86, 116, 130]. Identifikasi jalur sinyal ini dan hasil akhir profil sitokin yang dihasilkannya pada sel sebagai bagian system imun bawaan mengikuti adanya infeksi AI merepresentasikan salah satu komponen dalam proposal ini. Lebih jauh lagi, induksi transkripsi mRNS diatur oleh “jembatan molekuler” yang dikenal sebagai faktor transkripsi, seperti NF-kB, protein aktivasi 1 (AP-1), dan faktor regulator interferon (IRF) 3, 5, dan 7, merepresentasikan langkah-langkah yang diperlukan dan signaling intraseluler yang mengakibatkan perubahan pada ekspresi gen.
Imunitas adaptif, yang meliputi jalur humoral dan seluler, menyediakan kemampuan deteksi pathogen spesifik dan memerlukan lebih banyak waktu untuk mengembangkannya jika dibandingkan dengan respons bawaan. Sebagai contoh, infeksi virus low-pathogenic avian influenza (LPAIV) berakibat produksi antibody immunoglobulin (Ig) Y yang menteralisir virus (merupakan ekuivalen IgG pada unggas) melawan virus yang memblok perlekatan dan uncoating virus. Akan tetapi, proteksi antibody hanya brsifat sepsifik terhadap subtipe tertentu dari virus yang ada di lapangan. Imunitas humoral juga dipengaruhi oleh cepatnya mutasi virus AI. Salah satu dari hasil biologic utama dari tekanan imunitas yang dihasilkan vaksinadalah perubahan antigenic yang cepat dan munculnya munat yang dapat lepas dari respons imunologik. Dalam kerangka praktikal hal ini berarti benih strain vaksin harus terus diperhabarui secara terus-menerus dalam rangka mempertahankan efikasi. Seleksi benih strain saat ini bergantung beberapa derajat pada analisis sekuens protein dan virus di lapangan sebagai target. Akan tetapi, sekuensing protein dan kecocokan dengan antigen tidak selalu harus aling berhubungan. Pemetaan antigenic mempergunakan data yang didapat dari kartografi antigen telah digunakan untuk memetakan influenza musiman dan flu babi, dan beberapa tahun belakangan juga telah digunakan oleh World Health Organization (WHO) untuk membantu memilih strain virus influenza musiman yang akan digunakan untuk pembuatan vaksin. Kartografi antigen juga telah digunakan untuk menyaring vaksin H5 dan H7 pada unggas terhadap wabah virus untuk mengetahui potensi proteksi dan resistensinya [1, 126].
Imunitas yang dimediasi oleh sel adalah imunitas spesifik yang dimediasi oleh sel Limfosit T, dan telah disarankan sebagai faktor penting dalam perkembangan proteksi melawan penyakit virus pada hewan yang telah divaksinasi. Karena replikasi intraseluler sangat penting untuk prosesing antigen, antigen protektif tidak harus terlokalisasi pada permukaan tubuh virus. Sel subset dari sel Limfosit T, yaitu sel T-helper CD4+ dan sel T-sitotoksik CD8+, merupakan sel-sel utama penyusun respons imun yang dimediasi oleh sel (CMI).
Beberapa studi telah mendemonstrasikan pentingnya sel-T CD4+ dan CD8+ terhadap virus-virus respiratori, termasuk AIV [63, 119]. Sel-T CD8+ berkontribusi dalam proteksi dengan mendeteksi dan melisiskan sel hospes yang terinfeksi virus. Keuntungan respons seluler sekunder telah ditunjukkan dengan berkurangnya durasi dan dan jumlah shedding virus, yang mengurangi potensi transmisi terhadap kohort yang rentan dan mengurangi keparahan penyakit.
Respons imun bawaan terhadap virus influenza
Banyak studi telah membandingkan respons bawaan pada seluruh jaringan, dan temuan-temuan ini tidak dapat dihubungkan dengan populasi sel secara spesifik. Profil ekspresi gen dan ekspresi protein selama infeksi influenza tergantung kepada jaringan yang dianalisa (paru, usus, limpa, PBMC, dan otak), point waktu, dan status infeksi, dan perbedaan yang mendalam telah dideskripsikan antar strain virus di dalam spesies yang sama. Pemahaman kita tentang mekanisme perkembangan penyakit masih belum lengkap, meskipun telah banyak dekripsi patologis dan klinis yang telah dipublikasikan. Meskipun begitu, pada umumnya respons awal dan substansial dari imunitas bawaan dikarakterisasikan dengan meningkatnya ekspresi sitokin pro-inflamasi, interferon, kemokin, PRRs dan protein fase akut (0) pada babi, ayam, kalkun, dan itik yang terinfeksi telah dideskripsikan, dan intensitas serta durasi respons adalah tergantung pada kerentanan hewan dan jumlah virus yang masuk (viral load). Akan tetapi terdapat perbedaan substansial diantara strain virus didalam satu spesies. Makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa respons yang disebut sebagai ‘respons sitokin-awal’ adalah penyebab dari banyak gejala klinis. Sitokin dan kemokin awal ini diproduksi oleh sel-sel non-imun dan sel-sel imun yang berada pada tempat infeksi, dan memiliki efek tidak hanya terhadap respons local tetapi juga pada respons sistemik. Pada sebagian besar spesies, IFN tipe I (IFN-α dan IFN-β), TFN-α (tidak terdapat pada spesies unggas), dan IL-1 terlibat dalam kaskade tanggapan respons awal, diikuti oleh IL-8 (ada dua bentuk yang berbeda secara biologik pada spesies unggas), IL-6, dan IFN-γ. Jawaban dari apakah beberapa diantaranya lebih penting daripada yang lainnya belum diketahui, terutama jika penelitiannya bergantung pada pengukuran level mRNA, karena saat ini tidak memungkinkan secara teknis untuk mengukur aktivitas biologic pada level protein. Lebih penting lagi pula, harus dicatat bahwa sitokin-sitokin ini yang terlibat dalam memperburuk inflamasi, efek sitopatik, dan menarik sel-sel imun menuju lokasi infeksi di saluran pernafasan juga terlibat dalam respons antiviral dan akhir dari infeksi.
Interferon
Respons IFN terhadap infeksi virus relative dimengerti dengan baik (untuk review, baca referensi [42]), meskipun protein-protein baru yang terlibat dalam jalur ini terus menerus diidentifikasi [43, 64]. Respons antiviral ini cepat, terjadi dalam hitungan menit, dan tipikalnya diiduksi oleh RNA double-stranded yang merupakan produks sampingan dari replikasi virus AI. RNA double-stranded dikenali oleh sensor pengenal pathogen TLR3 atau sensor RNA sitoplasmik, gen-I yang diinduksi asam retinoid (RIG-i) dan differensiasi melanoma yang berhubungan dengan protein-5 (MDA-5) yang mengandung domain rekrutmen caspase N-terminal (CARDs) dan domain terminal-C kotak DExD helicase RNA [14]. Pengikatan RNA double-stranded dengan domain helicase memicu interaksi kedua dengan CARD yang mengandung protein IPS-1 (MAVS/VISA/Cardif), berakibat aktivasi kinase yang berhubungan dengan IKK TBK-1 dan IKKe, yaitu fosforilase IRF3 [52]. IRF3 adalah satu dari sembilan anggota faktor transkripsi IRF, dan diperlukan untuk ekspresi IFN [57]. IRF3 yang terfosforilase pada domain transaktivasi terminal-C terdimerisasi dan bertranslokasi ke nucleus, dimana dia berikatan dengan promotor IFN-β yang bekerjasama dengan ko-aktivator transkripsional. Karena ayam tidak memiliki RIG-I, level IFN-β yang diekspresikan mengikuti infeksi mungkin tidak cukup untuk mengontrol penyakit [79].
Induksi transkripsi IFN terjadi melalui penyusunan faktor transkripsi NFKB, ATF2κ-Jun, dan IRF3 pada elemen enhancer domain regulator positif pada promotor IFNB dan elemen respons yang distimulasi interferon (ISRE) pada promotor sebagian gen yang distimulasi IFN (ISG) [53, 67, 73]. IFN yang telah disekresikan berikatan dengan reseptor IFN tipe I permukaan dan mengaktivasi jalur JAK/STAT, berakibat terbentuknya gen faktor-3 yang distimulasi IFN (ISGF3). ISGF3 dalam kompleks heterotrimeric terdiri dari STAT1 (signal transducers and activators of transcription/ transduser sinyal dan aktivasi transkripsi), STAT2 dan IRF9 [129]. ISFG3 bertranslokasi ke nucleus dan menginduksi transkripsi IFN-dan menginduksi transkripsi IFN-α dan sejumlah besar ISG, yang kemudian mengamplikasi respons melalui mekanisme feedback positif. Langkah-langkah induksi IFN, amplifikasi, dan fungsi efektor inilah yang seringkali menargetkan inhibisi protein virus. Penelitian sebelumnya telah mendemonstrasikan virus AIV sensitif terhadap efek antiviral dari IFN tipe I [11, 45, 103, 117]. Studi sebelumnya menggunakan sel dan tikus yang tidak memiliki baik RIG-I maupun MDA-5 mensugestikan bahwa hanya RIG-I lah yang penting dalam induksi IFN sebagai respons terhadap infeksi virus AI [66, 76, 91, 142]. Studi kami sebelumnya mendemonstrasikan sel ayam yang sebelumnya diekspos dengan IFN dapat mengurangi infeksi AI sebanyak lebih dari 100 kali lipat [60]. Karena itulah timing dan level ekspresi IFN bersifat kritikal terhadap hasil akhirnya. Karena infeksi HPAIV pada ayam dapat berakibat kematian dalam waktu 2 – 6 hari, respons imun adaptif hanya sedikit berkontribusi dalam proteksi penyakit pada unggas yang belum divaksinasi. Pada spesies unggas lainnya, termasuk di dalamnya itik, respons imun bawaan dan adaptif mampu untuk melindungi unggas terhadap penyakit ini.
RIG-I adalah sensor sitosolik RNA, dan dipicu oleh transkripse RNA yang muncul selama replikasi virus influenza, menyebabkan produksi IFN-β, dan ekspresi downstream ISG. Interferon menginisiasi program antiviral pada sel disekelilingnya, membatasi penyebaran virus, dan mengurangi titer virus. Intervensi dalam ekspresi RIG-I adalah penanda adanya infeksi influenza letal, yang telah didemonstrasikan dengan menginfeksikan strain regenerasi influenza ‘flu-spanyol’ tahun 1918 kepada kera macaca [68]. Virus RNA bersifat lebih virulen dan bereplikasi dalam level yang lebih tinggi pada tikus yang tidak memiliki RIG-I [66]. Lebih jauh lagi, komplementasi gen yang diaktivasi oleh RGI-I dan IFN-β tidaklah mubazir, karena gen yang diaktivasi oleh reseptor influenza lain menyebabkan produksi IFN-α (misalnya TLR3, NRLP3).
Berkaitan dengan unggas, itik memiliki RGI-I yang fungsional, akan tetapi ayam tidak memilikinya [10]. Itik bertahan dari infeksi HPAIV karena respons imun bawaan yang cepat. Sebaliknya, ayam mati dalam waktu beberapa hari setelah terinfeksi HPAIV, bahkan dengan adanya imunitas bawaan. Manusia yang terinfeksi HPAIV H5N1 dengan strain HPAIV H5N1 juga menyerah kepada virus dalam kisaran waktu yang sama. Signaling RIG-I melanjut pada produksi IFN-β dan ISGs downstream. Perbedaan kritikal antar spesies unggas mendefinisikan kerentanan diferensial terhadap influenza dalam beberapa hari pertama pasca infeksi, meskipun mungkin itu bukanlah satu-satunya perbedaan yang ada.
Studi yang dilakukan baru-baru ini menyiratkan bahwa fungsi RIG-I pada sel ayam. RIG-1 dari itik ditransfeksikan ke dalam sel DF-1 (galur sel yang diambil dari sel fibrolas dari embio ayam), yang tidak memiliki RIG-I. ayam memiliki reseptor (MDA5), yang berbagi jalur downstream dengan RIG-I. Telah didemonstrasikan bahwa RIG-I dari itik bersifat fungsional pada sel ayam DF-1 dan memberikan deteksi terhadap ligand RIG-I [32]. Deteksi RIG-I terhadap influenza pada itik tetapi tidak pada ayam, menyediakan sebuah penjelasan sederhana tentang mengapa itik lebih resisten terhadap strain yang dapat membunuh ayam dalam hitungan hari. Mekanisme protektif lain yang telah diketahui baru-baru ini adalah bahwa jumlah sel primer itik mengalami kematian sel/ apoptosis dalam proporsi yang jauh lebih besar saat diinfeksikan dengan virus influenza jika dibandingkan dengan sel ayam [33]. Kejadian kematian sel awal ini mungkin saja membatasi replikasi dan pelepasan partikel virus pada periode awal di seluruh tubuh hospes, dengan demikian memungkinkan interferon dan adaptasi waktu untuk mencegah kerusakan letal yang akan disebabkan oleh virus. Signaling melalui mitokondria untuk memicu apoptosis juga mungkin dipengaruhi oleh RIG-I.
RIG-I dari itik menginisasi program antiviral pada sel ayam yang ditransfeksikan. Pada manusia dan tikus, deteksi RIG-I terhadap akumulasi RNA virus di intraseluler memicu IFN-α, yang meregulasi lebih dari 100 gen yang berespons terhadap interferon, dan menginisiasi program antiviral dan menghambat replikasi virus. RIG-I dari itik yang diekspresikan pada sel ayam DF-1 mengkomplenter RIG-I ayam yang sebelumnya tidak ada dalam jalur. Deteksi ligand RIG-I memicu IFN-α pada sel ayam, dan juga memicu ekspresi gen respons interferon Mx dan PKR. Keberadaan RIG-I pada sel tertransfiksi, yang terinfeksi oleh LPAIV maupun HPAIV, secara efekti mengurangi titer virus sebesar 50% dibandingkan jika hanya vector saja [9]. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan nodus regulatori mana yang mengontrol gen yang distimulasi interferon downstream, dan lebih penting lagi, apakah jalur-jalur ini mensugestikan target terapeutik alternatif yang dapat dimanipulasi untuk melindungi manusia atau hewan.
RIG-I itik diregulasi oleh HPAIV tetapi tidak oleh LPAIV. Telah didemonstrasikan bahwa RIG-I diregulasikan pada jaringan itik yang terinfeksi pda hari pertama post-infeksi, yang mensugestikan bahwa RIG-I langsung diaktifkan seketika setelah terjadinya infeksi influenza [28]. Jika dibandingkan dengan hewan yang diinfeksikan secara tiruan, versi rekombinan HPAIV yang diambil dari isolat fatal H5N1 pada manusia – A/Vietnam/1230/2004 (VN1203) – sangat meningkatkan ekspresi gen RIG-1, sementara virus LPAI H5N2 dari lapangan – A/British Columbia/500/2005 (BC 500) – tidak meningkatkannya [9]. Hal ini terjadi walaupun menggunakan titer virus yang lebih tinggi yang diambil dari swab itik yang terinfeksi virus LPAI. Hal ini memunculkan pertanyaan bagaimana gen RIG-I (DDX58) dikontrol atau diatur. Telah diketahui bahwa RIG-I diinduksi oleh interferon, akan tetapi masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Regulasi transkripsional RIG-I belum diamati sama sekali untuk semua spesies. Telah didemonstrasikan lebih jauh pula bahwa RIG-I meningkat sebanyak 200 kali lipat pada jaringan paru yang terinfeksi VN1203, akan tetapi ditemukan peningkatan kurang dari 10 kali-lipat oleh BC500 di usus. Tidak diketahui apakah faktor spesifik sel ataupun jaringan berkontribusi kepada regulasi RIG-I. Ekspresi RIG-I juga meningkat seiring bertambahnya umur hewan, dan faktor yang mengkontribusi hal ini belum diketahui.
Komponen antimikrobial yang diinduksi
Respons fase akut adalah respons awal yang diikuti oleh perubahan lokal, sistemik, dan metabolik dalam jumlah besar yang juga dapat direferensikan sebagai inflamasi. Protein-protein yang bervariasi terlibat dalam respons aktif yang muncul setelah induksi masuknya virus influenza. Inhibitor bawaan ni termasuk ke dalam keluarga protein yang sangat dilestarikan selama proses evolusi, dan meliputi protein plasma yang disebut protein fase akut (acute-phase proteins/APPs), protein C-reaktif, serum amyloid A, lektin kolagenus (yaitu: kolektin, surfaktan, dan dikolin), pentraksin, keluarga macroglobulin-alfa, dan peptide antimicrobial (misalnya defensin dan katelisidin).
Keluarga protein alfa-makroglobulin telah sejak lama diketahui memiliki aktivitas antiviral poten. Mkroglobulin Aplha-2 adalah inhibitor penetralisir utama virus influenza A pada serum babi dan kuda [104, 114]. Kolektin mengekspresikan domain rekognisi karbohidrat (carbohydrate recognition domains/ CRDs) yang berikatan dengan glikan kaya mannose pada hemagglutinin virus (HA), dan pada beebra kasus juga meningkat neuraminidase (NA) [47, 128], untuk memediasi berbagai aktivitas anti-virus AI seperti inhibisi enzim hemaglutinasi dan neuraminidase virus AI, netralisasi infektivitas virus, agregasi virus, meningkatkan eliminasi virus oleh netrofil, dan opsonisasi virus untuk mamacu respons ledakan netrofil respiratori tehadap virus AI [50, 93, 108]. Surfaktan D dari babi memiliki aktivitas anti-influenza yang sangat poten dibandingkan dengan elemen serupa yang ada pada manusia dan rodensia [135]. Meskipun bukan merupakan kolektin melainkan lektik tipe-C dikarenakan kurangnya domain kolagen, lektin yang ada pada paru-paru ayam memiliki aktivitas yang moderat terhadap virus AI [54].
Sebaliknya dari kolektin, anggota dari keluarga pentraksin – PTX3 pentraksin panjang, pentraksin pendek, dan komponen serum amyloid P – menyediakan ligan tersialase yang menirukan struktur reseptor seluler yang digunakan oleh virus AI, dan karena itu dapat memblok lokasi perlekatan reseptor HA. PTX3 disimpan di dalam netrofil, dimana DC dan makrofag meproduksi PTX3 de novo mengikuti stimulasi inflamasi (untuk membaca review, silahkan liat referensi [17]). PTX3 baru-baru ini telah dideskripsikan pada babi, dan ekspresinya di serum meningkat selama infeksi influenza secara eksperimental [30]. Pertahanan bawaan pulmoner mungkin saja efisien melawan virus AI pada babi, dan merepresentasikan pembatas penting yang membatasi keparahan penyakit. Pembatasan infeksi virus AI oleh sistem pertahanan bawaan tubuh babi juga mungkin membatasi induksi respons imun adaptif yang dimediasi oleh antibodi. Respons ini diperlukan untuk menyebabkan antigenic drift.
Sel penyaji antigen (Antigen-presenting components)
Induksi imunitas bawaan adalah langkah krusial dalam memulai onset dan mengarahkan respons imun adaptif yang seterusnya. Sel penyaji antigen pada khususnya, termasuk makrofag (Mφ) dan sel dendritic (DC), memainkan peranan sentral sebagai regulator respons imun adaptif, dengan berinteraksi dengan limfosit-T dan limfosit-B. meskipun salurah respirasi unggas berbeda secara signifikan dengan mamalia dari segi morfologi dan aliran udara, baik pada spesies mamalia maupun unggas saluran respirasi memiliki jaringan makrofag dan sel dendritic yang terletak dalam jarak yang dekat dengan sel epitel respitaroi [32, 110]. Sel makrofag dan dendritic respiratori adalah salah satu sel pertama yang mendeteksi dan merespons virus AI, dan merupakan unsur esensial dalam kontrol respons imun bawaan dan adaftif.
Beberapa studi telah melaporkan bawa virus AI bereplikasi secara produktif pada makrofag dan sel dendritic manusia dan tikus, sementara studi lainnya telah mendeskripsikan infeksi-infeksi ini sebagai ‘abortif’ ataupun ‘jalan buntu’ (untuk membaca reviewnya, silahkan baca referensi [121]). Perbedaan strain virus dan sebagian makrofag dan sel dendritik (berasal dari paru dan dari darah di sumsum tulang) tampaknya mempengaruhi hasil akhir infeksi. Infeksi dengan virus AI dan virus LPAI yang paling musimam bersifat abortif dan berkontribusi terhadap pertahanan hospes yang efektif. Beberapa strain virus HPAI dapat menginfeksi makrofag dan sel dendritic secara produktif, yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan konsekuensi terkait diseminasi virus, amplifikasinya, dan kemudian patogenitas dan immunogenisitasnya. Pada mamalia, sel dendritic telah dihubungkan dengan penghilangan batasan keluarnya sitokin yang diinduksi virus atau yang disebut sebagai ‘badai sitokin’, yang memiliki karakteristik adanya peningkatan level sitokin dan IFN pro-inflamasi [12, 33]. Badai sitokin pada babi dan ayam kurang jelas terlihat, dan tampaknya tergantung pada strain virus [8, 65, 89, 109]. Interpretasi data sitokin harus dilakukan dengan sangat hati-hati, terutama level ekspresi mRNA, karena belum jelas di level sitokon yang ke berapa yang dapat memberikan efek biologis yang merusak. Sebagai contoh, jika ayam terinfeksi dengan pathogen lain, respons sitokin juga meningkat serupa dengan level yang ditemukan pada ayam yang terinfeksi dengan virus HPAI, akan tetapi sebaliknya dibandingkan dengan HPAI, pada kasus ini tidak terdapat kematian, yang memberikan pemikiran bahwa terdapat faktor lain yang bermain dalam menyebabkan angka kematian sangat tinggi yang terjadi selama infeksi virus HPAI.
Baru-baru ini, interaksi sel dendritik dengan virus AI pada babi, kuda, dan ayam telah diinvestigasi dengan lebih detail. Sel dendritik yang diambil dari sumsung tulang (bone marrow-derived DC/ BM-DC) babi, sel dendritic yang berasal dari darah kuda, dan BM-DC dari ayam yang dikultur secara in-vitro dapat dinfeksi dengan virus LPAI dengan sukses, meskipun replikasi yang terdeteksi hanya terbatas [13, 16, 90, 97, 137]. Sel dendritic kuda memproduksi IFN tipe I setelah infeksi, tapi sel dendritic ayam tidak memproduksinya, dan tidak ditemukannya perubahan atau hanya ada sedikit perubahan dalam penanda/marker aktivasi permukaan sel (CD80, CD86, dan MHC II) yang terinduksi setelah infeksi [13, 16, 137]. Pada babi, makrofag alverolar dan sel trakea anak babi yang baru lahir yang dinfeksikan dengan virus flu babi H3N2, terjadi peningkatan IFN-β dan IFN tipe III (IFNλ1), akan tetapi IFN-α tidak meningkat [34].
Perbandingan respons terhadap infeksi virus LPAI dan virus HPAI pada ayam mengindikasikan bahwa berlawanan dengan virus LPAI, infeksi virus HPAI H7N1 atau H5N2 pada ayam BM-DC (Bone-marrow derived dendritic cells) berakibat meningkatnya viral load dan peningkatan IL-8 (CXCLi2), IFN-α, dan ekspresi mRNA IFN-γ [137].
Sel dendritik mengekspresikan beragam PRRs pada permukaan selnya, termasuk TLR yang mengenali PAMP, berakibat pada aktivasi makrofag dan sel dendritik. Jika sel dendritic ayam diinfeksi oleh virus LPAI dan HPAI strain H7N1 atau H5N1, maka terdapat perbedaan dalam peningkatan induksi ekpresi mRNA TLR1, TLR3, dan TLR21, yang mungkin saja berhubungan dengan perbedaan respons sitokin yang ditimulkan oleh strain virus HPAI dan LPAI ini. Pada makrofag alveolar babi, ekspresi mRNA RIG-I, TLR3, TLR7, dan TLR8 ditingkatkan secara cepat pada kasus infeksi virus AI babi H3N2. Sebaliknya, hanya RIG-I yang meningkat pada sel trakea anak babi yang baru lahir [35].
Sel dendritik, selain juga memiliki peranan krusial dalam induksi respons imun adaptif, mungkin juga berperan dalam meningkatnya infeksi dan menyebarnya virus. Meskipun reseptor perlekatan utama virus AI adalah asam sialic (S), perlekatan dan masuknya virus AI ke dalam sel dapat terjadi secara independent dari asam sialic [125]. Asam sialic dapat meningkatkan ikatan dengan permukaan sel untuk meningkatkan interaksi dengan reseptor lain atau co-reseptor. Interaksi ini muncul secara bersamaan ataupun muncul setelahnya. Interaksi ini diperlukan untuk pemasukan virus. Bukti yang ditemukan baru-baru ini menunjukkan reseptor terspesialisasi yang ada pada makrofag dan sel dendritic, yang disebut CLR, dapat beraksi sebagai alat penangkap maupun reseptor untuk banyak pathogen virus, termasuk virus AI. Pada tikus telah diperlihatkan bahwa reseptor mannose pada makrofag, galaktosa makrofag tipe lektin-1 dan DC-SIGN/L-SIGN, dapat berikatan dengan virus AI untuk memfasilitasi pemasukan dan penghancuran vieus [75, 107, 134]. Meskipun hal ini tidak diperlihatkan dilakukan oleh semua CLR, MGL [92] dan DC-SIGN [51] dapat berlaku sebagai reseptor endositik untuk virus AI dan menyokong infeksi, akan tetapi untuk reseptor yang lain, reseptor tambahan ataupun co-reseptor mungkin saja diperlukan untuk masuknya virus. Pemahaman tentang mekanisme spesifik dimana makrofag dan sel dendritic mengenali dan mengintenalisasi virus AI mungkin akan menyediakan informasi penting yang relevan tentang tropisme virus-virus AI yang berbeda, terutama pada sel-sel yang ada disaluran nafas, juga patogenesisnya. Ekspresi mRNA dari CLR pada sel dendritic ayam dipengaruhi oleh infeksi virus AI [31], akan tetapi studi ikatan-reseptor pada hewan ternak dan hospes alami masih belum dipublikasikan.
Natural Killer (NK) cells
Sel NK adalah limfosit bawaan yang menyediakan proteksi awal terhadap banyak patogen intraseluler. Mereka dapat menimbulkan respons antiviral dengan membunuh sel yangterinfeksi virus tanpa membutuhkan sensitisasi sebelumnya dalam jalur non-MHC-restriksi non-adaptif. Sel NK mengekspresikan baik reseptor aktivasi dan reseptor inhibisi, dan keseimbangan antara kedua sinyal ini menentukan aktivasi sel NK (untuk review, baca referensi [46]). Pada pasien manusia yang terinfeksi influenza dengan parah, terdapat kurangnya frekuensi sel NK di dalam darah [36, 49], dan sel NK pulmoner juga berkurang [139]. Pada studi in vivo pada tikus telah dtunjukkan bahwa sel NK [94, 124] diperlukan dalam pembersihan virus. Peningkatan aktivasi sel NK pada paru telah terdeskripsikan setelah infeksi virus H9N2. Sebaliknya, infeksi virus HPAI H5N1 berakibat penurunan aktivasi sel NK paru, yang mengindikasikan bahwa berkurangnya aktivasi sel NK mungkin merupakan salah satu mekanisme yang berkontribusi pada patogenisitas virus HPAI H5N1 [59]. Pada pada anak babi yang diinfeksi dengan virus pandemic H1N1, peningkatan jumlah sel NK diasosiasikan dengan lokasi dimana nucleoprotein (NP) telah terdeteksi [41]. Respons sel NK pada kuda belum dideskripsikan, meskipun model matematika tentang respons imun pada kuda menunjukkan bahwa penurunan virus yang cepat dan substansial (sebanyak 2-4 log dalam 1 hari) dapat dijelaskan sebagai proses pembunuhan sel-sel terinfeksi yang dimediasi oleh sel yang diaktivasi interferon, seperti sel NK, selama munculnya respons imun bawaan [99].
Leukosit Polimorfonuklear
Leukosit polimorfonuklear atau granulosit adalah sel pertahanan diri yang penting saat fase imunitas bawaan. Granulosit yang telah aktif menelan mkroorganisme dengan fagositosis, dan membunuh mikrorganisme yang telah ditelan melalui kombinasi produksi radikal oksigen toksik, enzim proteolitik, myeloperoksidase, defensin dan peptide bakterisidal lainnya. Tingkat aktivasi, pelepasan protein granul, dan pembentukan reactive oxygen species (ROS), kesemuanya memiliki peran kunci dalam pembersihan pathogen. Meskipun granulosit secara tradisional dihubungkan dengan perlawanan terhadap infeksi bacterial, sel-sel ini juga bisa terlibat dalam patologi yang diinduksi virus [105, 136].
Virus dapat mengaktivasi granulosit baik dengan berikatan langsung atau dengan berikatan melalui antibody antivirus yang memediasi sitotoksisitas yang tegantung dengan antibody. Replikasi virus influenza AI yang tidak kompleks pada epitel respiratori berakibat infiltrasi bahan inflamasi, yang sebagian besar terdiri dari leukosit mononuclear dan sedikit leukosit polimorfonuklear. Sebaliknya, infeksi strain virus AI, seperti virus H1N1 tahun 1918 HA/NA:Tx/91 pada tikus sebagai hewan model, memproduksi perubahan patologis pada makrofag alveolar dan migrasi netrofil yang berkorelasi dengan inflamasi paru. Berkurangnya jumlah netrofil sebelum infeksi subletal dengan virus 1918 HA/NA:Tx/91 berakibat kepada perkembangan virus yang tidak terkontrol dan akhirnya kematian pada tikus. Ditambah lagi, pengurangan uni diasosiasikan dengan berkurangnya ekspresi sitokin dan kemokin [132].
Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa matriks metalloprotease (MMP) 9 memediasi migrasi netrofil secara berlebihan kedalam saluran respirasi sebagai respons terhadap replikasi virus influenza [20]. MMP adalah keluarga enzim proteolitik yang terlibat dalam modifikasi matriks ekstraseluer (ECM) dibawah kondisi fisiologis dan patologis. MMP dapat diproduksi oleh berbagai sel pada saluran pernafasan, dimana mereka memediasi penyembuhan luka, renovasi saluran nafas, dan cell trafficking. Karena itulah, MMP memainkan peranan penting dalam imunitas, dan aktivitas proteolitiknya juga dapat langsung mengurangi potensi inflamasi dengan mengurangi fungsi sitokin dan kemokin. Akan tetapi, respons uang berlebihan seperti yang ditemukan selama infeksi virus HPAI berkontribusi pada proses patologi. Pada sisi lainnya, peranan netrofil sebagai antiviral telah didemonstrasikan pada mencit [38]. IL-6 penting dalam proses mengakhiri infeksi influenza dengan melindungi netrofil dari kematian yang diinduksi virus pada paru, dan dengan mempromosikan pembersihan virus yang dimediasi netrofil. Pada akhirnya, keseimbangan antara produksi sitokin, aktivasi sel, banyaknya kematian sel, dan durasi respons akan menentukan perubahan patologis dan hasil akhir infeksi.
Pembentukan ROS atau inducible nitric oxide synthases (INOS), sebuah keluarga enzim yang mengkatalasi produksi nitic oxide (NO) dari L-arginin, telah dipelajari selama infeksi virus AI pada ayam dan itik. Perbedaan yang sangat jelas pada level iNOS mRNA telah terdeteksi diantara itik dan ayam yang diinfeksi virus HPAI H7N1. Itik yang terinfeksi menunjukkan peningkatan ekspresi iNOS dengan cepat (dalam waktu 8 jam pasca infeksi) pada paru, sementara ayam menunjukkan peningkatan ekspreso iNOS yang lambat (2 hari pasca infeksi) [28]. Menariknya, pada satu hari pasca infeksi dengan virus HPAI H5N1, level iNOS mRNA pada paru-paru ayam lebih tinggi daripada pada itik, seperti juga level NO pada serum [22]. Pemahaman tentang peranan NO dan iNOS baik yang bermanfaat maupun yang merugikan selama infeksi virus HPAI dapat memberikan wawasan tentang mekanisme dasar dan perbedaan-perbedaan yang terobservasi pada keparahan penyakit, akan tetapi seperti pada banyak parameter lain respons-respons ini tampaknya bervariasi dan tergantung pada strain virus.
Kata penutup tentang imunitas bawaan
Sistem imunitas bawaan membentuk garis perlindungan pertama terhadap virus influenza. Sistem ini terdiri dari banyak komponen dan respons yang bertujuan untuk mencegah infeksi sel epitel dan jaringan-jaringan pokok. Sel imun bawaan, seperti makrofag, granulosit, dan sel NK, direkrut menuju lokasi infeksi dalam rangka mengontrol replikasi virus dan mencegah diseminasi virus lebih lanjut. Perbedaan utama dalam kerentanan yang ditemukan pada ayam dan unggas air mungkin disebabkan oleh respons imun bawaan awal ini. Menariknya, beberapa gen imun yang terlibat dalam respons bawaan tampaknya tidak terdapat pada genome unggas. Ayam tampaknya tidak memiliki TLR8 dan RIG-I dalam genomenya, yang mempengaruhi pengelanan bakteri intraselular dan virus-virus RNA, termasuk virus AI, dan dapat juga berhubungan dengan tingkat kematian yang tinggi setelah infeksi virus HPAI. Sebaliknya, itik hanya tidak mempunyai TLR8 dan bertahan terhadap infeksi virus HPAI.
Karena banyaknya respons dan komponen yang terlibat dalam respons melawan virus influenza, tidak ada satupun komponen, sel ataupun jalur yang dapat bertanggungjawab sendiri terhadap hasil akhir infeksi. Penelitian tentang respons bawaan di masa depan tidak hanya akan memperbaiki pemahaman dasar kita tentang resistensi terhadap penyakit, akan tetapi juga akan memungkinkan strategi intervensi untuk meningkatkan pertahanan awal melawan pemasukan virus dan disseminasi virus selanjutnya, dan untuk memperbaiki onset dan magnitude respons imun adaptif.
Dasar immunologi untuk perlakuan vaksinasi pada unggas
Perkenalan
Bagian ini akan menyediakan ulasan umum tentang imonologi dasar yang terlibat dalam respons terhadap Avian Influenza. Banyak faktor, diantaranya umur unggas, tipe, dosis, dan tempat inokulasi mengikuti vaksinasi akan mempengaruhi keberadaan dan prosesing antigen oleh sel-sel imun hospes. Meskipun banyak sel dengan tipe berbeda yang terlibat dalam membentuk respons imun, vaksinasi mungkin berakibat atau tidak berakibat pada proteksi setelah uji tantang dengan virus AI (AIV). Banyak faktor dapat berkontribusi terhadap kegagalan vaksin, termasuk diantaranya kurangnya kesamaan antigen dalam vaksin dengan strain virus yang ada di lapangan, dosis tantang yang berlebihan, atau jumlah antigen yang tidak cukup untuk memproduksi respon imunologis protektif. Meskipun banyak vaksin untuk unggas mengandung virus hidup untuk membangun imunitas protektif dengan memperkenalkan infeksi non letal, limitasi penggunaan virus AI hidup untuk peternakan unggas komersial mewakili halangan unik dalam rangka pengembangan proteksi terhadap AI pada unggas melalui vaksin.
Mengikuti pemberian vaksin, system imun hospes mengarahkan pengambilan dan memprosesan antigen melalui respons system imun bawaan dan adaptif. Respons sistem imun bawaan terjadi lebih dulu, dan telah dideskripsikan pada bagian awal Bab ini. respons imun adaptif yang muncul kemudian menggunakan reseptor antigen sangat spesifik pada limfosit B yang berasal dari bursa (imunitas humoral) dan limfosit T yang berasal dari timus (imunitas selular) yang muncul secara acak mengikuti pengaturan ulang gen. Respons imun adaptif yang muncul setelah vaksinasilah yang memproduksi antibody penetralisir virus, dan juga limfosit sitotoksin yang bersifat spesifik virus AI yang bertanggungjawab untuk mengenali virus dan pembersihan virus di dalam tubuh hospes mengikuti paparan. Kedua sistem imun ini muncul setelah vaksinasi dan bekerja secara bersama-sama dalam menyediakan proteksi tubuh hospes terhadap penyakit.
Immunologi tentang pengenalan dan memprosesan antigen
System imun unggas tampaknya memiliki kemiripan dalam berbagai hal dengan system imun mamalia [18, 61, 106, 120]. Secara tradisional, respons imun terhadap pathogen telah dibagi ke dalam respons humoral dan respons yang dimediasi oleh sel. Imunitas protektif humoral pada unggas terhadap virus AI utamanya adalah akibat dari respons antibody yang diarahkan terhadap hemagglutinin (HA), yang terdiri dari 16 subtipe HA yang berbeda. Antibodi yang diproduksi melawan HA adalah antibody penetralisir, yang kemudian mencegah perlekatan virus dengan sel hospes. Saat ayam yang dihilangkan bursa fabriciusnya (yang tidak mampu untuk memproduksi respons antibody) divaksinasi dan diuji tantang, tidak ada proteksi yang muncul, mengindikasikan peranan antibody dalam memberikan proteksi terhadap AI. Vaksin A umunya dibuat sesuai dengan subtipe HA dan atau NA yang spesifik yang ada pada virus di lapangan. Karena proteksi disediakan melalui respons imun terhadap HA, vaksin yang lebih tinggi efikasinya akan menargetkan jalur filogenik yang lebih spesifik dari virus didalam subtipe HA nya. Imunitas yang dimediasi sel (Cell mediated immunity / CMI) adalah imunitas spesifik yang dimediasi oleh sel limfosit T, dan telah disarankan merupakan faktor penting dalam perkembangan perlindungan pada ayam yang divaksin terhadap penyakit virus [119, 120]. Sebagian dari limfosit-T, yang disebut sel pembantu (helper cell) CD4+ dan sel sitotoksik CD8+, menyusun sel-sel utama respons imun yang dimediasi sel. Kompleks histokompabilitas utama (major histocompatibility complex/ MHC) memainkan peranan sentral dalam penyajian antigen kepada sel limfosit T sitotoksik (CTL). Aktivasi CTL secara optimal tergantung kepada antigen MCH kelas I yang identik dengannya. Selama terjadinya respons imun, antigen vaksin harus mencapai jaringan limfoid sekunder. Sel penyaji antigen, seperti sel dentritik, makrofag dan sel B, memproses antigen dan menyampaikan epitope kepada sel T dalam molekul MHC kelas II dan menyediakan signal lain yang diperlukan untuk menginisiasi imunitas. Imunitas terhadap penyakit infeksius yang berbeda memerlukan reaksi imun dengan tipe yang berbeda, yang harus dipicu oleh vaksin yang didesain secara berbeda pula. Kriteria efikasi vaksin AI yang baik meliputi kemampuan memunculkan system imun se-awal mungkin dan memiliki durasi se-lama mungkin. Karena burung yang terinfeksi dapat menyerah terhadap virus HPAI sebelum respons imun yang dimediasi sel dimobilisasikan, pembentukan antibodi penetralisir adalah kunci parameter imunologik yang relevan dengan imunitas terhadap AI yang diinduksi vaksin. Sebagian besar respons antibodi yang bertujuan untuk memicu immunoglobulin G (Ig) spesifik atau afinitas yang tinggi bergantung kepada asistensi sel T pembatu, yang menerima sinyal aktivasi dari sel penyaji antigen.
Anatomi dan fisiologi sistem imun unggas
Dalam hubungannya dengan fisiologi, banyak sekali perbedaan yang ada antara system imun unggas dan mamalia, termasuk struktur dan distribusi jaringan limfoid. Salah satu dari perbedaan utama adalah penggunaan system limfatik untuk migrasi limfosit ke dan dari tempat vaksinasi, dan tantangnya bebeda antar spesies. Sistem mamalia memiliki nodus limfatik – tempat sangat terorganisir untuk terjadinya interaksi antara sel B, Sel T, makrofag, dan sel penyaji antigen lainnya yang sangat penting untuk aktivasi imunitas adaptif. Meskipun begitu, nodus limfatik tidak terdapat pada sebagian besar spesies unggas, termasuk ayam [100, 140]. Spesies unggas memiliki konsentrasi jaringan limfoid tidak berkapsul di sekeliling organ dan mengandung limfosit kecil [100]. Seperti nodus limfatik, agregat limfofit-limfosit kecil ini membentuk pusat germinal sebagai respons terhadap antigen [131]. Spesies unggas memang memiliki pembuluh limfatik, yang dipercaya terlibat pada trafficking sel stem mesenkimal menuju organ limfoid sentral [100]. Pada ayam, akumulasi limfoid telah diobservasi sepanjang vena tibia posterior, popliteal dan femoral distal [96]. Sebaliknya dari ayam, itik memiliki nodus limfatik, yang terbentuk sebagai pembengkakan ductus limfatik, dan mengandung baik pembuluh limfatik eferen dan aferen [140].
Sejumlah jaringan yang relevan secara imunologi digunakan untuk prosesing antigen telah diidentifikasi pada ayam. Jaringan limfoit intestinal unggas berupa bursa Fabrisius (bursa kloaka), seka tonsil, diverticulum Meckel’s, Peyer’s patches, dan infiltrasi limfoid mucosal yang diffuse. Bursa adalah organ utama yang bertanggungjawab dalam produksi dan diferensiasi sel B, dan terletak pada bagian dorsal dari ujung distal kloaka. Seka tonsil adalah jarring paling terkonsenstrasi pada usus, dan dapat terlihat sebagai dua area oval pada dinding seka yang saling berhadapan. Dua tipe pusat germinal ditemukan pada seka tonsil [95]. Pada jaringan dalam, pusat ini hanya terkapsulasi sebagian, sedangkan pada bagian yang lebih dekat ke permukaan organ, pusat-pusat ini terbungkus secara penuh. Peyer’s patches utamanya terletak di sepajang ileum distal, dan terdiri dari pusat germinal dan jaringan limfoid difus [23]. Antigen intestinal diserap dan diproses oleh makrofag dari pusat germinal dan sel epitel. Diverticulum Meckel mengandung sel epitel sekretorik pada pusat germinal yang memproduksi sejumlah besar sel plasma [96].
Beberapa akumulasi jaringan limfoid telah dideskripsikan di area paranasal. Yang paling penting dari jaringan ini adalah kelenjar Harderian, yang dianggap sebagai organ limfoid kedua [7]. Pada ayam, kelenjar Harderian adalah tempat utama bagi sel-sel antiviral yang meproduksi antibody IgA, dimana IgA bebas ditemukan pada cairan empedu dan cairan mukosa dan dapat berupa bentuk monomer maupun multimer [56]. Kelenjar Harderian terletak langsung dibelakang rongga mata dan sangat diinfiltrasi oleh sel plasma [141]. Kelenjar ini dipercaya bersifat kritikal terhadap respons imun lokal pada mata, lobang hidung, dan area pernafasan atas. Produksi pusat germinal pada kelenjar Harderian dapat diamati mulai umur 3 sampai 4 minggu [3]. Vaksinasi unggas melalui metode tetes mata dipercaya dapat menstimulasi respons imun mucosal melalui kelenjar Harderian.
Meskipun ada perbedaan fisiologis dalam struktur dan organisasi antara spesies mamalia dan unggas, aspek fungsional dari sel limfoid dan organ perifer dari keduanya serupa. Hal ini termasuk fungsi sel limfoid, pembelahan, pengelompokan, interaksi, spesifisitas, dan efek bersih, yang sangat mirip pada spesies mamalia dan unggas.
Gambaran tentang respons immunologi terhadap virus avian influenza
Fungsi utama dari respons imun adalah untuk mengenali dan mengeliminasi pathogen melalui system imun bawaan dan system imun adaptif. Respons imun bawaan dan adaptif adalah mekanisme dari sistem pertahanan tubuh terintegrasi dimana sel dan molekul yang tak terhitung jumlahnya berfungsi secara kooperatif. Deskripsi umum tentang respons imun vertebrata telah dituliskan dalam gambaran umum tentang imunitas pada bagian awal Bab ini, dan unggas memiliki banyak fitur umum ini, diantaranya PRRs, PAMPs, barrier fisik dan kimia, sel fagosit, protein komplemen, dan mediator inflamasi, sitokin dan keluarga TLR.
Respons imun adaptif adalah respons induksi yang terjadi hanya pada vertebrata. Pertahanan adaptif hospes, dimediasi oleh limfosit T (berasal dari Tymus) dan limfosit B (berasal dari Bursa), menyesuaikan dengan respons antigenic karena adanya pengaturan gen reseptor sel T dan immunoglobulin. Hal ini berakibat terbentuknya klon limfosit individual yang mengekspresikan reseptor antigen yang jauh berbeda. Reseptor pada limfosit dimunculkan oleh mekanisme somatic selama ontogeni setiap individu, dan karena itulah menyebabkan beragam repertoar dari reseptor antigen dengan spesifisitas acak pada limfosit. Untuk influenza, CTL CD8+ memainkan peran krusial dalam mengontrol virus infeksius pada paru-paru mencit. Studi sebelumnya telah menyediakan bukti bahwa CTL CD8+ diarahkan melawan epitope virus yang tersimpan diantara virus-virus influenza A, seperti misalnya yang berada pada HA dan NP, berkontribusi terhadap proteksi terhadap influenza [4, 5]. Juga telah ditentukan bahwa CTL spesifik NP untuk virus yang diperkenalkan melalui vaksin ataupun melalui transfer adaptif memberikan pembersihan virus yang lebih cepat dan kesembuhan hospes yang lebih cepat pula, serta melindungi terhadap kematian [2, 6]. Kompleks histokompatibiliti utama (Major Histocompatibility complex/ MHC) memainkan peranan sentral dalam penyajian antigen oleh sel penyaji antigen kepada CTL, dan aktivasi optimal CTL tergantung kepada antigen kelas I MHC yang identic. Hanya ada data yang terbatas tentang respons CTL terhadap virus influenza pada unggas, yang memerlukan ketersediaan ayam hasil inbreeding. Meskipun begitu, telah didemonstrasikan bahwa limfosit T ataupun el CD8+ yang diproduksi tubuh ayam terinfeksi virus H9N2 dapat memrpteksi terhadap uji tantang H5N1 letal saat ditransfer secara adaptif kepada unggas yang MHC-nya cocok.
Secara klasik, molekul MHC kelas II digunakan oleh sel penyaji antigen professional dan dikenali oleh CD4+. Mengikuti penyembuhan dari infeksi, klon antigen spesifik tetap sebagai sel limfosit memori (baik limfosit T dan B) yang menyediakan respons lebih cepat terhadap papran kedua terhadap antigen.
Berkaitan dengan infeksi virus AI, perlekatan terjadi utamanya melalui interaksi protein HA dengan residu asam sialic hospes yang ditemukan apda sel-sel yang membatasi permukaan mukosa, dan berakibat internalisasi dan infeksi virus di dalam tubuh hospes. Penutupan endosomal dan maturase di sekeliling virus mengakibatkan penurunan pH, yang diperlukan dalam pelepasan mantel virus. Selama tahapan ini hospes menginisiasi respons imun bawaan yang distimulasi melalui interaksi TLR yang terletak di endosome dengan genom TLR7 dari materi untai tunggal RNA virus. Aktivasi TLR7 dengan agonis RNA berakibat pada kaskade sitokin dan produksi interferon yang didesain untuk menekan replikasi virus dan merekrut sel efektor untuk menstimulasi imunitas adaptif. Menariknya, aktivasi TLR pada kompartemen endosomal juga tampaknya memerlukan maturase endosome dengan perubahan pH, karena perlakuan dengan klorokuin pada sel berakibat pada menurunnya atau tidak terdeteksinya induksi sitokin mengikuti infeksi virus AI [37, 77]. Selama virus bereplikasi di sitoplasma, protein virus akan diproses dan dieskpresikan oleh molekul MHC kelas 1 untuk dipersembahkan kepada limfosit CD8+, berakibat perkembangan limfosit T stitotoksi yang mampu untuk melisiskan sel yang terinfeksi virus. Pada saat yang sama, virion yang baru saja dilepaskan akan diambil oleh sel professional yang mempersembahkan antigen (antigen-presenting cell), meliputi makrofag, sel dendritic, dan sel B. Peptida virus diekspresikan melalui molekul MHC kelas II yang dikenali oleh limfosit T-helper CD4+. Limfosit CD4+ yang telah diaktifkan ini mempersembahkan antigen kepada sel B, menyebabkan produksi antibody.
Imunitas mukosa
Permukaan mukosa yang ditemukan pada saluran respirasi dan gastrointestinal berfungsi sebagai portal masuknya banyak agen infeksius yang menyerang unggas [88, 143]. Imunitas mucosal adalah garis pertahanan pertama untuk hospes, dan telah dilakukan upaya ekstensif yang sedang dilaksanakan menggunakan model hewan rodensia dan manusia untuk mendesain vaksin yang dapat memberikan proteksi langsung pada lokasi mukosa [123]. Pada mamalia, kedua lokasi mukosa dapat berespon secara individual terhadap stimulasi antigen, dan induksi respons imun pada salah satu lokasi berakibat pada munculnya imunitas apda bagian mukosa yang lain – sebuah fenomena yang disebut sebagai ‘sistem imun mukosa umum’ [80, 82]. Mekanisme imun yang mirip juga telah dideskripsikan pada ayam [88]. Telah didemonstrasikan pula bahwa limfosit imun dapat bermigrasi dari satu lokasi mukosa untuk berepopulasi dan menyediakan imunitas protektif pada lokasi mukosa yang jauh [55]. Karena pathogen respiratori, seperti virus AI, menginvasi melalui permukaan mukosa, vaksin yang dapat menginduksi imunitas mukosa yang kuat akan menjadi sangat superior daripada tipe vaksin yang lain. Vaksin AI yang selama ini, yang diberikan melalui rute parenteral, sangat sedikit sekali menginduksi imunitas mukosa, dan karena itulah organisme pathogen dapat menginvasi hospes sebelum imunitas sistemik dapat melawan infeksi [29]. Imunisasi mukosa memiliki keuntungan dalam menginduksi imunitas mucosal dan sistemik [123]. Virus-virus AI yang menginfeksi unggas menginvasi dua wilayah mukosa utama, saluran respiratori dan saluran gastrointestinal. Penelitian awal terhadap imunologi mukosa mengindikasikan bahwa respons sel-T yang kuat dapat diobservasi pada saluran respiratori setelah imunitasi pada saluran respiratori, memberikan saran bahwa respons local mampu untuk ditimbulkan pada lokasi imunisasi – sebuah elemen kritikal untuk imunisasi mucosal [26, 138]. Pentingnya spesifitas proteksi imunitas lokal lebih ditegaskan lagi oleh hasil pengamatan baru-baru ini bahwa paparan kepada sediaan formulasi aerosol untuk memproteksi terhadap influenza lebih efektif dibandingkan vaksinasi intranasal maupun parenteral [122].
Konsep ‘mucosal priming’ pada salah satu lokasi menyediakan sel yang telah tersensitisasi untuk lokasi-lokasi mukosa yang lain mengidikasikan adanya potensi pengembangan vaksin yang diberikan secara oral untuk memberikan proteksi terhadap infeksi melalui mukosa [27]. Fenomena ini juga telah diberikan oleh sebuah laporan bahwa transfer adaptif dari klon sel-T spesifik-influenza dapat bermigrasi pada lokasi mukosa [15]. Baru-baru ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, telah ditunjukkan bahwa limfosit imunitas dapat bermigrasi dari satu lokasi mukosa untuk berepopulasi dan menyediakan imunitas protektif pada lokasi mukosa lain yang jauh jaraknya [55]. Jika disimpulkan, hasil-hasil pengamatan ini sesuai dengan jalur sirkulasi limfoblast yang telah diketahui sebelumnya dari kelenjar getah bening melalui jaringan limfa thoraks menuju permukaan mukosa yang jauh.
Antibodi utama yang memediasi proteksi pada permukaan mukosa adalah immunoglobulin A (IgA), meskipun Ig G dan IgM juga bisa ditemukan [115]. Resistensi terhadap antibiotika pada hewan model tikus dan manusia berkorelasi dengan induksi antibody IgA pada saluran respirasi [71]. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, IgA ditemukan pada cairan empedu, tembolok, dan mukosa, dan dapat berupa bentuk monomer maupun multimer [74, 102, 118]. Serupa dengan mamalia, IgA pada unggas memiliki rantai J dan komponen sekretori [87]. Meskipun IgA tidak memperbaiki komplemen, immunoglobulin tetap memiliki banyak fungsi efektor, diantaranya netralisasi virus, inhibisi perlekatan bakteri, dan bersikap sebagai opsonin untuk fagositosis mukosa [69, 81]. Antibodi IgA mukosa juga pada beberapa kasus memiliki kemampuan reaksi-silang daripada antibody serum IgG, dan karena itu juga berkontribusi pada reaksi perlindungan silang yang telah diobservasi pada mukosa hewan yang telah divaksinasi [112, 113].
Kalimat penutup tentang imunitas adaptif
Vaksin AI menyediakan proteksi dengan menstimulasi imunitas hospes, yang sebagian besarnya berdasar kepada produksi antibodi sesuai dengan glikoprotein HA virus. Antibodi-antibodi ini mampu menetralisir virus, mencegah infeksi dan mengurangi transmisi virus dan penyakit. Meskipun banyak vaksin AI telah digambarkan, hanya dua yang telah mendapatkan izin penggunaan di lapangan, yaitu virus AI inaktif dan vaksin vektor rekombinan. Vaksin rekombinan telah didemontrasikan dapat menginduksi imun seluler, dan karena itu menyediakan keuntungan kekebalan yang lebih besar untuk hospes. Akan tetapi insersi HA harus tetap dicocokkan agar dapat menimbulkan respons imun terbaik untuk mengimbangi virus yang di lapangan.
DISCLAIMER
This article was translated to enable Bahasa Indonesia readers to better understand the topic explained inside the article in their native language. The translator made no profit in translating the article.