Oleh: Leslie D. Sims and David E. Swayne

Diterjemahkan oleh: Agna D. Lantria


DISCLAIMER

Artikel terjemahan ini dimaksudkan bagi pembaca berbahasa Indonesia untuk dapat mempelajari artikel keilmuan terkait. Penerjemah tidak mendapatkan keuntungan apapun dari kegiatan penerjemahan ini.

Perkenalan

Tidak ada satu pun strategi pengendalian dan pencegahan Avian Influenza (AI) yang cocok untuk diberlakukan di setiap negara, setiap virus dan setiap spesies unggas [19, 70]. Strategi yang telah dikembangkan dan digunakan telah bergantung pada beragam faktor, meliputi ada tidaknya virus AI di negara tersebut, patogenitas virus (LP versus HP), sub tipe hemaglutinin (HA) dari virus AI tersebut (sub tipe HA H5 dan H7 versus 14 HA lain yang ditemukan pada unggas), spesies unggas dalam risiko atau terinfeksi (burung liar, burung dalam penangkaran, atau spesies domestik), tipe ekosistem (alami, pameran zoologi/cagar alam, hewan peliharaan rumahan, atau sistem pertanian), demonstrasi regionalisasi atau kompartementalisasi, sumber pendanaan yang tersedia (pemerintah versus swasta), infrastruktur kedokteran hewan yang tersedia, kemauan dan otoritas politik, besarnya infeksi, kepentingan pasar ekspor untuk produk unggas, dan tujuan atau hasil yang diinginkan. Strategi yang dilakukan telah dimodifikasi dari waktu ke waktu, merujuk kepada pengalaman wabah terdahulu [19].

Pada sebagian besar negara maju selama lebih dari 125 tahun terakhir, HPAI telah ditangani dengan variasi program stamping-out, menggunakan konsep yang berawal dari Giovanni Mario Lancisi di Italia pada awal abad ke-18 dalam mengendalikan penyakit ternak eksotik seperti Rinderpest pada sapi. Akan tetapi dalam waktu 20 tahun terakhir, terutama untuk virus HPAI H5 A/goose/Guangdong/1/1996 (keturunan Gs/GD) pada sejumlah negara berkembang, industri perunggasan dan pemerintah belum mampu untuk mencapai eradikasi melalui program stamping-out tradisional, akan tetapi berhasil menangani HPAI dengan menggunakan kombinasi stamping-out perubahan praktik peternakan dan pemasaran ternak, dan upaya untuk mengurangi pendedahan virus, dengan demikian mengurangi kontaminasi dan persebaran di lingkungan. Stamping-out bukanlah satu-satunya metode yang tersedia untuk mengendalikan AI, akan tetapi untuk wabah yang kecil, stamping-out masih merupakan metode yang paling baik. Stamping-out merupakan upaya pengendalian penyakit paling awal dalam setiap rencana kontingensi nasional [69]. Ada beberapa situasi dimana biaya keseluruhan pendekatan alternatif ini lebih rendah, dan di beberapa tempat, vaksinasi harus dianggap sebagai pendekatan alternatif atau tambahan selain stamping-out.

Sampai 50 tahun yang lalu, virus LPAI tidak dianggap masalah kesehatan yang signifikan untuk unggas. Pandangan ini berubah pada tahun 1960-an, saat sindrom klinis penyakit respirasi dan penurunan produksi telur akhirnya muncul, terutama pada kalkun, tetapi juga pada burung pegar, burung puyuh dan ayam hutan [16]. Penyakit moderat sampai berat berhubungan dengan LPAI H9N2 di Asia dan Timur Tengah dari tahun 1990 juga berakibat implementasi upaya pengendalian dan pencegahan untuk virus ini [55]. Secara global, program pengendalian LPAI sangat beragam dibandingkan HPAI, dan telah berkisar dari tidak melakukan pengendalian sama sekali sampai kepada strategi vaksinasi dan stamping-out, biasanya dibarengi dengan upaya meningkatkan biosekuriti peternakan [67]. Kemunculan virus-virus LPAI H7N9 yang bersifat zoonotik di China pada tahun 2013 telah meningkatkan tekanan kepada otoritas veteriner untuk mengendalikan virus ini dan virus LPAI lainnya yang berpotensi zoonosis.

Avian Influenza Berpatogenitas Rendah (LPAI)

Keberadaan virus LPAI pada berbagai unggas air domestik, menyebabkan infeksi yang sebagian besar asimptomatik dan sebagai bagian dari ekosistem di tujuh benua, menunjukkan bahwa keberadaan virus LPAI adalah alami, telah selama ribuan tahun, dan hanya menimbulkan konsekuensi minimal dalam keadaan alamiah. Manusia telah dan akan terus hanya dapat memberikan dampak minimal dalam pengendalian virus LPAI pada populasi burung liar. Karena banyaknya virus LPAI pada populasi burung liar, fokus utama pengendalian virus LPAI pada unggas dan burung dalam penangkaran seharusnya adalah untuk mencegah pemasukan virus AI asal burung liar ke dalam populasi ini. Di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Australia, dan negara maju lainnya, program surveilans virologi secara aktif dan pasif pada unggas komersial telah memperlihatkan bahwa sebagian besar peternakan komersial bebas dari infeksi AI, kemungkinan sebagai akibat upaya biosekuriti yang diperkenalkan untuk mencegah infeksi [21]. Namun demikian, kadang-kadang masih terjadi pemasukan virus ke dalam peternakan komersial. Sektor perunggasan di pedesaan/ rural, dan unggas khusus yang dibesarkan di luar ruangan, seperti unggas organik, berpotensi tinggi mengalami pemasukan virus LPAI dari burung liar karena sangat sulit untuk mencegah setiap kontak dengan burung liar. Sekali saja unggas terinfeksi, penyebaran dan transmisi sekunder dapat terjadi kepada unggas lain, meliputi sistem outdoor dan indoor dan pasar unggas hidup [LPM]. Virus LPAI tidak dipertahankan pada spesies unggas gallinaseus liar [46, 61]. 

Di Amerika Serikat, pengendalian virus LPAI adalah tanggung jawab pemerintah negara bagian dan atau swasta, kecuali virus LPAI H5 dan H7, yang dikendalikan secara bersama-sama oleh pemerintah federal dan otoritas negara bagian. Salah satu program pengendalian yang berhasil dilakukan telah dikembangkan di Minnesota [22, 47], Pennsylvania [8] dan Delvarma [15] melalui kemitraan antara industri perunggasan dan pemerintah negara bagian. Program-program ini telah digunakan untuk mengeradikasi berbagai virus LPAI dalam berbagai kesempatan selama 30 tahun terakhir [12, 23, 24, 53, 67]. Rencana Minnesota, pada awalnya dikembangkan pada awal tahun 1980, telah menjadi model untuk banyak rencana pengendalian LPAI di banyak negara bagian lain bahkan tingkat nasional. Rencana Minnesota memiliki lima komponen spesifik, yaitu: edukasi, pencegahan paparan, monitoring, pelaporan dan ‘respons yang bertanggungjawab’ [47]. Sejak tahun 200, Italia telah mengembangkan dan mengimplementasikan program pengendalian untuk LPAI H5 dan H7 yang telah berhasil, meliputi penggunaan vaksinasi darurat atau profilaktik dengan menggunakan vaksin AI inaktif yang mengandung sub tipe neuraminidase (NA) yang berbeda dengan virus di lapangan (NA heterologi), memonitor infeksi pada unggas yang telah divaksinasi dengan menggunakan berbagai metode yang meliputi uji serologis yang dapat membedakan NA (untuk membedakan hewan yang sudah divaksinasi dengan hewan yang terinfeksi langsung, DIVA), dan penggunaan unggas sentinel, eliminasi flok yang terinfeksi dengan stamping-out atau pemasaran yang terkontrol, dan upaya pembatasan yang ketat [9, 10, 41, 42]. Meskipun program-program ini telah berhasil dalam mengisolasi ancaman yang ada, pemasukan virus baik LPAI maupun HPAI yang banyak terjadi ke dalam populasi unggas di peternakan komersial mendemonstrasikan bahwa upaya biosekuriti yang telah diimplementasikan hanya mampu mengurangi risiko, terutama pada wilayah-wilayah yang dikunjungi secara rutin oleh burung-burung migrasi.

Dalam dua dekade terakhir, beberapa virus LPAI H5 dan H7 telah bermutasi dan menjadi virus HPAI, sementara yang lainnya tetap bersirkulasi pada unggas sebagai virus LPAI selama beberapa tahun (misalnya H7N9 di China sejak tahun 2013). Untuk dapat memprediksi virus LPAI mana yang akan atau yang lebih mungkin bermutasi menjadi HPAI terbukti sangat sulit untuk dilakukan bahkan dengan menggunakan model laboratorium [64]. Pada pertengahan tahun 1990-an, kriteria molekuler yang didasarkan pada keberadaan banyak asam amino dasar yang ada pada situs pembelahan proteolitik HA milik virus H5 dan H7 telah ditambahkan ke dalam definisi OIE tentang virus HPAI, dengan tidak memperhatikan letalitas in-vivo pada ayam [43, 73]. Akan tetapi, karena beberapa virus LPAI H5 dan H7 tanpa kriteria molekuler ini telah bermutasi menjadi virus HPAI, Pedoman pengendalian Avian Influenza nasional maupun internasional haruslah diperbaharui untuk mencakup bukan hanya virus HPAIM, namun juga selurus virus LPAI H5 dan H7. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) Code sekarang telah mencakup semua infeksi virus AI H5 dan H7 dalam definisinya dalam rangka tujuan perdagangan terkait penanganan AI [44]. Perubahan ini telah meningkatkan penggunaan program stamping-out untuk menangani dua sub tipe ini, bahkan jika hanya terdapat virus LPAI saja, sebagai cara mencegah kemunculan virus HPAI. Efek samping adanya perubahan ini adalah bahwa pembatasan perdagangan non-tarif telah ditempatkan pada beberapa negara atau bagian negara ketika hanya satu wabah atau flok terinfeksi H5 atau H7 yang terdeteksi.   

Avian Influenza Berpatogenitas Tinggi (HPAI)

Virus HPAI tidak dipercaya telah muncul pada burung liar, akan tetapi terdapat bukti adanya virus HPAI H5 keturunan Gs/GD yang bertahan dalam jangka pendek (sampai 3 tahun) pada burung liar (lihat Bab 9).  Hal ini digambarkan paling baik oleh peranan burung liar dalam transmisi virus H5 keturunan Gs/GD yang termasuk ke dalam HA clade 2.3.33 dan masuk ke Eropa dan Amerika Utara selama tahun 2014-2015 [26, 35]. Virus-virus ini hampir pasti muncul pada awalnya dari unggas di Asia Timur, akan tetapi ketika sudah menetap pada populasi burung liar, virus ini telah bertahan dalam populasi ini melalui musim dingin sampai musim semi tahun 2014-205. Persistensi virus pada burung liar terlihat antara tahun 2005 dan 2008 oleh virus H5N1 clade 2.2 pertama kali dideteksi di Provinsi Qinghai di China Barat dan kemudian di tempat-tempat dimana tidak ada populasi unggas, seperti misalnya danau-danau terpencil di Mongolia dan Rusia (lihat Bab 9). Karena adanya interaksi dekat antara unggas dan burung liar pada banyak bagian Asia, tidak mungkin untuk menentukan untuk setiap kasus bahwa virus telah menetap pada burung liar atau apakah melalui re-introduksi dari unggas yang terinfeksi. Meskipun demikian, sekarang sudah terbukti bahwa burung liar memainkan peranan signifikan dalam transmisi jarak jauh virus HPAI H5 keturunan Gs/GD, yang lebih jauh memberikan alasan keharusan pengimplementasian upaya pengendalian yang tepat dalam mengurangi kemungkinan kontak langsung maupun tidak langsung antara unggas dan burung liar. Pada banyak sistem produksi di Asia, seperti itik yang diumbar bebas dan unggas yang dibiarkan mengais makanan, upaya menghilangkan poin kontak ini tidak memungkinkan kecuali jika metode produksinya diubah [49, 58]. Sampai kemunculan virus HPAI H5 keturunan Gs/GD, jalur penyebaran yang telah diterima adalah masuknya virus LPAI H5 dan H7 dari burung liar akuatik kepada flok unggas komersial, dan strain virus HPAI muncul melalui mutasi spesifik di dalam gen HA setelah bersirkulasi mulai dari berminggu-minggu sampai bertahun-tahun [46].

Sampai kemunculan virus H5 keturunan Gs/GD, pada banyak epizootik HPAI, burung air liar belum pernah terinfeksi dengan virus HPAI dan karena itulah bukan merupakan vektor biologi virus HPAI. Pada beberapa wabah ini, burung liar dipercaya hanya merupakan vektor mekanis, menyebarkan virus dengan membawanya di kaki dan bulunya, akan tetapi hal ini pun tergantung pada kualitas upaya biosekuriti yang diimplementasikan untuk mencegah akses burung liar untuk masuk ke dalam peternakan. Akan tetapi, memasukkan burung liar dalam program stamping-out tidak bisa dibenarkan dikarenakan alasan ekologi, dan program semacam itu mungkin akan menjadi konterproduktif karena akan menyebabkan burung liar menghindari penangkapan dan akan menyebar sehingga akan memindahkan virus ke tempat-tempat baru dan wilayah geografis lainnya.

Karena beberapa populasi burung liar akuatik adalah reservoir virus LPAI, beberapa individu memiliki miskonsepsi bahwa seluruh spesies burung liar terinfeksi dan menyebarkan virus HPAI, terutama virus HPAI H5 keturunan Gs/GD. Di wilayah dimana virus-virus ini berada, pergerakan unggas terinfeksi, produk terkontaminasi seperti misalnya pupuk kandang, dan peralatan yang terinfeksi, serta pakaian dan sepatu tetap menjadi jalan penularan paling mungkin dalam menyebarkan virus antar peternakan dan antar negara yang bertetangga. Pergerakan unggas terinfeksi dan produk turunannya yang seperti itu bisa saja legal maupun ilegal, termasuk pergerakan melalui celah-celah perbatasan antar negara yang tidak dijaga. Pada beberapa wabah, penyebaran aerogen pada saat depopulasi atau proses pembersihan telah berimplikasi terhadap transmisi antara satu peternakan ke peternakan lain. Burung liar hanya dapat ditentukan sebagai penyebab jika jalur introduksi virus lainnya telah diselidiki dan jika seluruh kemungkinan jalur penularan ini telah dieliminasi (atau dianggap tidak mungkin terjadi), dan terdapat bukti yang wajar untuk mendukung keterlibatan burung liar. Kadang-kadang introduksi virus ke dalam suatu wilayah dan perpindahan virus menuju peternakan terjadi melalui berbagai cara. Introduksi virus ke dalam suatu wilayah mungkin berhubungan dengan pergerakan burung liar, sementara perpindahan virus menuju peternakan mungkin melalui fomite atau mungkin melalui transfer aerogenik. Wabah HPAI H5N2 di Amerika Utara pada tahun 2014-2015 telah memberikan banyak pertanyaan mengelai cara introduksi virus ke dalam peternakan unggas skala besar yang telah memberlakukan biosekuriti rumit, dan kemungkinan banyak mekanisme yang terlibat. Rekomendasi dan tanggung jawab dalam mengendalikan wabah HPAI telah dibahas sebelumnya [20], akan tetapi telah dimodifikasi dari waktu ke waktu untuk memperhitungkan pula pengalaman-pengalaman di tempat-tempat dimana keberadaan virus telah kuat berakar, disertai juga pengembangan penggunaan vaksin [10].  

Dari tahun 1959 sampai 1992, kebanyakan negara maju mengeradikasi epizootik maupun wabah HPAI dalam kisaran waktu seminggu sampai satu tahun dengan program stamping-out tradisional. Akan tetapi, sejak tahun 1992, beberapa negara berkembang tidak mampu untuk mencapai eradikasi langsung melalui program stamping-out tradisional. Alasan utama hal ini terjadi antara lain meliputi sulitnya melakukan deteksi dan eliminasi seluruh unggas terinfeksi, terutama di negara-negara yang memiliki populasi itik yang tinggi berserta tingginya volume perdagangan unggas melalui pasar unggas (LPM). Dalam kedua populasi ini, infeksi bisa saja tidak terdeteksi kecuali dilakukan surveilans aktif yang intens, dan hal ini melampaui kapasitas petugas kesehatan hewan yang ada [58]. Kesulitan dalam eliminasi diperparah dengan lambatnya deteksi masuknya virus di beberapa negara, yang menyebabkan virus menyebar luas sebelum aksi penanggulangan dilakukan. Akan tetapi meskipun pemasukan awal virus HPAI h5 keturunan Gs/GD tidak terdeteksi di Thailand (2003) dan Nigeria (2006), memungkinkan virus untuk menyebar, program pengendalian pada akhirnya berhasil, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor laun mungkin berperan penting dalam persistensi virus. Faktor utama tampaknya adalah struktur dari sektor perunggasan. Lokasi dimana virus HPAI H5 keturunan Gs/GD menetap dan berakar memiliki beberapa ciri yang serupa, meliputi tingginya konsentrasi unggas yang dibesarkan dalam fasilitas dengan biosekuriti yang berbeda-beda (dan terkadang tidak cukup baik), perdagangan unggas melalui pasar unggas yang tidak dikelola dengan baik, dan untuk beberapa kasus keberadaan populasi itik yang diumbar dalam jumlah besar. Hal ini ditambah lagi dengan sumber pendanaan yang terbatas, sebuah konsekuensi yang menyebabkan pelayanan kedokteran hewan masih dalam status perlu dikembangkan. Hal ini menciptakan kesulitan dalam mengembangkan dan melaksanakan penegakan pengendalian pergerakan hewan serta mengidentifikasi seluruh foki infeksi [19]. Pada wabah-wabah semacam itu, manajemen penyakit untuk menurunkan sampai level infeksi rendah adalah satu-satunya pilihan pengendalian jangka pendek sampai menengah. Tujuan jangka panjangnya masih berupa eliminasi virus, akan tetapi hal ini tidak akan mungkin terwujud sampai sistem yang tepat berhasil ditempatkan dalam rangka mencapai tujuan ini, dan juga diperlukan perubahan pada sistem pemasaran dan sistem produksi telah atau dapat diimplementasikan. Untuk lima negara/wilayah dimana virus HPAI H5 keturunan Gs/GD telah menetap dan menjadi endemik (China, Vietnam, Indonesia, Mesir, dan wilayah sekitar Bangladesh), prospek eliminasi virus di tahun 2025 masih merupakan tujuan yang masih sangat-sangat jauh untuk dicapai.

Tujuan pengendalian avian influenza, dan komponen-komponen strategi pengendalian

Terdapat tiga tujuan atau hasil akhir berbeda yang menjadi tujuan dalam pengendalian Avian influenza, yaitu pencegahan, manajemen, dan eliminasi atau eradikasi [66, 67]. Tujuan yang dikejar akan tergantung pada status infeksi suatu negara, zona atau kompartemen (ZC). Jika zona CZC bebas dari AI, tujuannya haruslah untuk mencegah introduksi virus dari burung liar atau dari unggas terinfeksi (baik LPAI maupun HPAI) dinegara atau CZC yang bertetangga. Jika CZC memiliki flok yang terinfeksi, maka tujuannya bisa jadi untuk menangani penyakit dengan mengurangi virus yang dikeluarkan dan mengurangi kerugian ekonomi, diikuti dengan eradikasi atau eradikasi langsung melalui stamping-out jika hal itu mungkin dilakukan. Tujuan utama program yang didesain untuk menangani penyakit adalah untuk mengurangi virus yang bersirkulasi. Hal ini biasanya akan mengurangi manifestasi klinis penyakit dan konsekuensi negatif yang disebabkannya terhadap perekonomian dengan memungkinkan produksi untuk terus berjalan. Pada saat yang sama akan mengurangi risiko zoonosis dan potensi kemunculan strain virus penyebab pandemi.

Dilema yang muncul saat menangani HPAI adalah metode standar yang diketahui untuk menangani flok terinfeksi adalah dengan depopulasi, akan tetapi di tempat-tempat dimana sebagian besar flok terinfeksi tetap tidak terdeteksi (dikarenakan tidak dilaporkan ataupun bersifat sub klinis, seperti yang bisa terjadi pada itik domestik), pada akhirnya program hanya merespons terhadap kasus yang teridentifikasi saja, atau bisa disebut “panen penyakit” [58]. Pendekatan ini hanya memiliki sedikit efek dalam pengendalian penyakit jangka panjang, terutama jika tidak dilakukan modifikasi terhadap kondisi yang memungkinkan terjadinya infeksi. Di sejumlah negara berkembang dimana virus HPAI H5 keturunan Gs/GD telah kuat mengakar, program surveilans telah dilaksanakan untuk menentukan apakah virus benar bersirkulasi dan dimana tempat virus tersebut bersirkulasi. Program-program ini hanya menghasilkan pengujian sedikit saja dari keseluruhan peternakan unggas. Akan tetapi jika salah satu peternakan yang disampling menunjukkan hasil positif, peternakan tersebut mungkin akan didepopulasi dan dikarantina. Respons ini akan menjadi sebuah tindak diinsentif yang akan mengurangi antusiasme masyarakat untuk terlibat dalam program surveilans, dan juga menghambat usaha dalam memahami epidemiologi penyakit.

Eliminasi virus biasanya merupakan tujuan akhir setiap rencana pengendalian avian influenza, namun hal ini bisa jadi tidak berakhir pada eradikasi strain virus tertentu, terutama jika virus tersebut terdapat di banyak tempat atau di banyak negara. Selain itu, eliminasi virus mungkin tidak dapat dilakukan, baik karena tingginya biaya yang diperlukan ataupun karena risiko re-infeksi yang tinggi. Keputusan yang diambil oleh manajer peternakan atau kompartemen peternakan mungkin juga akan berbeda dengan yang diambil oleh negara. Sebagai contoh, peternakan komersial atau kompartemen peternakan dengan manajemen yang sudah ditata dengan baik mungkin akan memilih untuk mengeliminasi virus dan mempertahankan status bebas infeksi, sementara negara mungkin memilih untuk tidak melakukan eliminasi virus di seluruh wilayah negara karena biaya yang akan timbul dan kemungkinan keberhasilan program yang terbatas di seluruh negeri. Seperti yang terjadi pada kasus terkait LPAI H9N2 dan HPAI H5 keturunan Gs/GD di sebagian wilayah Asia.

Tujuan atau hasil akhir ini dapat dicapai berdasarkan strategi komprehensif yang dikembangkan menggunakan kombinasi dari lima komponen spesifik:

  1. Edukasi, komunikasi, kewaspadaan publik, dan perubahan perilaku (misalnya meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana virus AI ditransmisikan, membuat setiap individu sadar tentang peranan mereka dalam pencegahan, perubahan manajemen, atau eradikasi penyakit, dan mempromosikan perubahan perilaku).
  2. Perubahan pada sistem produksi dan pemasaran yang berakibat peningkatan biosekuriti (misalnya fasilitas, praktik manajemen, dan prosedur untuk mencegah pemasukan virus ke dalam satu fasilitas, atau jika virus sudah ada di situ, untuk mencegah virus meninggalkan fasilitas itu).
  3. Diagnostik dan surveilans (misalnya kemampuan untuk mendeteksi virus atau bukti adanya infeksi pada populasi unggas atau lingkungan hidunya, atau sebagai cara untuk memverifikasi status bebas dari infeksi semacam itu).
  4. Eliminasi unggas terinfeksi (misalnya penghapusan/pembuangan sumber infeksi atau kemungkinan sumber penyakit dalam rangka mencegah kontaminasi dan diseminasi virus yang terus menerus ke lingkungan);
  5. Menurunkan kerentanan hospes dan mengurangi pendedahan virus (misalnya meningkatkan daya tahan hospes, biasanya dengan vaksinasi, sehingga jika terjadi paparan, infeksi dapat dicegah dan konsekuensi negatif dari infeksi dapat diminimalisir).

Efektivitas keseluruhan strategi komprehensif dalam pengendalian AI akan tergantung pada seberapa baik komponen yang tepat digunakan dan seberapa teliti komponen tersebut dipraktikkan di lapangan. Tujuan untuk setiap strategi pengendalian LPAI dan HPAI dapat saja berbeda tergantung negara terkait, sub tipe virus, situasi ekonomi, dan risiko kesehatan masyarakat. Bagian berikutnya akan berfokus pada komponen program pengendalian terkait dengan sistem pertanian dan sistem produksi industri yang berhubungan dengannya.

Edukasi, Komunikasi, Kesadaran Masyarakat, dan Perubahan Perilaku

Salah satu aspek kritis dalam pengendalian adalah dengan pendidikan seluruh petugas yang bekerja di bidang perunggasan dan industri yang bersangkutan, personel dari pemerintah, dan pihak lain yang terlibat dalam program pengendalian penyakit yang berhubungan dengan bagaimana virus AI masuk ke suatu wilayah, bagaimana virus bisa menyebar, dan bagaimana kejadian tersebut dapat terjadi. Pengendalian perilaku dan aksi-aksi berisiko sangat berperan mengurangi penyebaran virus AI dengan mengendalikan dispersi virus  melalui fomite dan aerosol, dengan demikian mencegah perpindahan virus AI ke dalam peternakan dan antar peternakan. Hal ini juga berlaku untuk produsen di tingkat pedesaan, transporter dan pengelola lapak unggas di pasar. Masyarakat umum harus dilibatkan dalam proses pendidikan dengan mengkomunikasikan informasi tentang risiko serta membantah informasi-informasi tidak benar dan rumor yang beredar, terutama yang menyangkut faktor keamanan produk asal unggas yang harus dipersiapkan dengan tepat. Hal penting lainnya adalah melatih produsen dan pegawai peternakan tentang biosekuriti dalam rangka pencegahan virus AI masuk ke dalam peternakan, dan bagaimana mencegah menyebarnya virus lebih lanjut jika virus telah masuk ke peternakan.

Satu kesimpulan penting yang dapat diambil setelah 10 tahun upaya pengendalian HPAI di lokasi-lokasi dimana virus HPAI H5 keturunan Gs/GD telah menetap dengan kuat adalah bahwa relatif mudah untuk meningkatkan pengetahuan tentang virus AI, akan tetapi lebih sulit untuk merubah perilaku yang telah lama tertanam [45]. Perubahan perilaku memerlukan pemahaman menyeluruh rentang faktor penyebab timbulnya praktik-praktik yang telah ada, dan juga memikirkan biaya dan halangan dalam mengimplementasikan upaya pengendalian penyakit yang baru. Salah satu contohnya adalah rekomendasi agar setiap penduduk desa yang memelihara unggas di rumahnya di pedesaan harus mengandangkan unggas milik mereka untuk membantu mengendalikan virus HPAI H5 keturunan Gs/GD. Serapan program ini sangat rendah dikarenakan pergeseran dari membiarkan unggas mencari makan sendiri menjadi unggas harus dikandangkan mengharuskan pemilik untuk memberi makan unggas yang dikandangkan. Hal ini biasanya memerlukan pakan yang harus dibeli, sedangkan untuk keluarga miskin hal ini tidak mampu mereka lakukan. Di pedesaan di Kamboja, strategi alternatif yaitu mengandangkan anak ayam selama beberapa bulan awal hidupnya yang meningkatkan kesempatan anak ayam tumbuh sampai dewasa, terbukti lebih sukses karena biaya yang diperlukan rendah dan pengembalian investasinya tinggi (melalui meningkatnya anak ayam yang hidup). Program ini disertai dengan pengandangan sementara untuk unggas di suatu desa ketika satu atau lebih rumah tangga telah teridentifikasi mengalami peningkatan kematian unggas di rumah mereka. Hal ini dicapai dengan menggunakan keranjang ayam dan hanya memerlukan sedikit suplai pakan, yang cukup untuk 1-2 minggu sampai penyakit telah terbukti tidak menyebar dan upaya pengendalian telah diaplikasikan pada rumah tangga terdampak. Unggas kemudian diperbolehkan kembali mencari makan sendiri. Melalui perpanjangan program, penduduk desa belajar untuk menghentikan pedagangg yang ini memasuki peternakan mereka. Sebaliknya unggas yang akan dijual dibawa ke penjual yang menunggu di depan peternakan [75]. 

Kemiskinan adalah pendorong utama tingkah laku, seperti juga pengalaman di masa lalu, seperti misalnya mempersiapkan ayam yang sakit atau mati untuk dikonsumsi yang kemudian tidak menunjukkan konsekuensi buruk, hal ini umum dilakukan di sejumlah negara Asia. Untuk merubah perilaku ini melalui kesadaran masyarakat terhadap risikonya tidak selalu berhasil dilakukan, akan tetapi hal ini dimungkinkan jika tingkat bertahan hidup unggas terhadap penyakit meningkat, yang kemudian menghilangkan perlunya mempersiapkan unggas sakit atau mati untuk dikonsumsi. Program-program baru seperti misalnya menyediakan informasi tentang AI, seperti melalui kegiatan aktivitas di sekolah-sekolah, telah terbukti berguna di Vietnam [76].

Perubahan terhadap sistem produksi dan pemasaran berakibat pada perbaikan biosekuriti

Usaha yang dilakukan dalam rangka mengurangi kemungkinan masuknya patogen ke peternakan atau pasar dan transmisi virus yang terjadi setelahnya masuk ke dalam sebuah upaya yang disebut “biosekuriti”. Biosekuriti adalah lini perlindungan pertama melawan LPAI dan HPAI, dan melibatkan penggunaan fasilitas yang tepat dan praktik-praktik manajemen untuk mencegah maupun mengurangi penyebaran virus AI dengan mencegah kontaminasi, mengendalikan perpindahan unggas dan produknya, orang dan peralatan, atau mengurangi jumlah virus yang dikeluarkan (misalnya dengan pembersihan dan disinfeksi) [22, 70]. Secara konsep, biosekuriti dibagi menjadi dua kategori [66, 67]. Biosekuriti inklusi, atau biokontainmen menggunakan usaha-usaha seperti karantina yang didesain untuk membuat virus AI tetap berada di dalam fasilitas atau zona (CZC) terdampak. Biosekuriti eksklusi atau bioeksklusi, dipraktikkan untuk mencegah virus AI masuk ke dalam fasilitas atau zona bebas AI. Banyak pedoman untuk peternakan unggas dan biosekuriti pasar unggas telah diterbitkan [13, 57]. Sumber risiko tinggi untuk unggas rentan yang belum pernah terinfeksi adalah terpaparnya unggas secara langsung dari unggas yang sudah terinfeksi yang mendedahkan virus dalam jumlah banyak dari saluran respirasi dan atau saluran pencernaan ke lingkungan sekitarnya. Pada umumnya transmisi terjadi baik pada saat unggas rentan berkontak dekat dengan unggas terinfeksi, atau secara tidak langsung saat unggas tersebut terpapar bahan terkontaminasi di lingkungan, terutama kotoran ataupun peralatan yang terkontaminasi kotoran unggas. Paparan dan infeksi biasanya merupakan akibat inhalasi, kontak dengan membran mukosa, atau ingesti debu, droplet air tau material terkontaminasi virus lainnya [70]. Pembersihan dan desinfeksi peralatan baik pakaian dan alas kaki pegawai sangat penting dalam mencegah masuknya virus dan persebarannya antara satu peternakan ke peternakan lainnya. Pemberlakuan upaya biosekuriti yang baik oleh peternak, pekerja peternakan dan pemilik lapak unggas di pasar akan tergantung pada kampanye kesadaran masyarakat dan pelatihan, demikian juga sebagai pemahaman perilaku. Manajemen pergerakan ternak unggas yang efektif juga merupakan bagian dari proses ini.

Dalam rangka mencegah pemasukan awal virus AI dari unggas air liar, unggas harus dipelihara dalam kandang, atau jika dibesarkan dengan akses ke dunia luar harus dikandangkan atau dipisahkan selama periode waktu yang bersamaan dengan periode migrasi burung air liar yang kemungkinan dapat terinfeksi virus. Pedoman telah disiapkan untuk pemilik unggas yang membesarkan unggasnya di luar ruangan, yang memberikan saran untuk menghindari stres yang berhubungan dengan dikandangkannya unggas umbaran selama periode waktu ini [13]. Dari akhir tahun 1970-an sampai pertengahan 1990-an, beberapa peternakan kalkun komersial di Minnesota dibesarkan di luar ruangan di peternakan dan mengalami wabah virus LPAI setelah terpapar dari itik liar terinfeksi, dan kemudian memindahkan pemeliharaan kalkun ke dalam ruangan pada akhir tahun 1990-an telah hampir berhasil mengeliminasi infeksi LPAI dalam industri kalkun di Minnesota [25]. Perubahan ini tidak cukup untuk mencegah masuknya virus HPAI H5N2 ke dalam sejumlah peternakan dengan jumlah yang cukup signifikan di wilayah ini pada tahun 2015, yang memerlukan penilaian ulang jalan masuknya virus untuk meminimalisir risiko wabah di masa depan melalui perbaikan praktik biosekuriti. Pada beberapa negara, sistem produksi dan pemasaran dengan level biosekuriti yang rendah, meliputi itik yang diumbar, menjual unggas melalui penjual unggas dan sistem pasar unggas yang saling berhubungan, telah menjadi titik pemasukan virus AI yang penting ke dalam sistem pertanian di banyak negara maju [34, 60, 62]. Jika biosekuriti longgar, jika peternakan saling berhubungan atau terletak saling berdekatan, dan jika kepadatan unggas tinggi, virus-virus AI dapat menyebar melalui industri komersial dan bergerak dengan sangat cepat melalui sistem komersial yang terintegrasi berakibat terjadinya epidemi HPAI dan LPAI.

Pada banyak negara berkembang satu-satunya cara untuk meningkatkan biosekuriti adalah dengan memodifikasi cara-cara pemeliharaan, transportasi dan penjualan unggas. Hal ini terutama dapat diaplikasikan dimana unggas dijual di pasar unggas dengan manajemen yang buruk, atau dimana penjual menyimpan unggas jualannya di suatu tempat penampungan sementara yang berasal dari berbagai sumber berbeda. Percampuran spesies unggas juga dapat terjadi di tempat ini dan dapat berakibat transmisi virus. Hanya jika praktik-praktik ini dapat dihilangkan dengan mengharuskan pemotongan unggas terpusat atau dimodifikasi sehingga terdapat kontrol yang ketat terhadap sumber-sumber unggas dan membatasi durasi waktu unggas menetap di pasar, terdapat kemungkinan tinggi bahwa infeksi virus AI akan tetap ada pada pasar-pasar ini.

Edisi sebelumnya dari buku ini memuat informasi yang lebih mendetail tentang biosekuriti [11], audit biosekuriti peternakan [54], dan metode inaktivasi virus AI [5].   

Diagnosa dan Surveilans

Pengendalian AI yang cepat dan berhasil memerlukan diagnosa akurat dan cepat [70]. Pada wabah yang baru kecepatan pengendalian virus AI dan biaya pengendalian itu sangat tergantung pada seberapa cepat kasus pertama atau kasus-kasus awal dapat terdiagnosa, level biosekuriti yang dilaksanakan di wilayah itu, dan seberapa cepat strategi pengendalian penyakit dapat dilakukan, terutama jika eradikasi adalah tujuannya.

Surveilans pasif atau pekerjaan diagnostik sangat penting dalam mengidentifikasi virus LPAI sebagai penyebab penyakit pernafasan atau berkurangnya produksi telur atau virus HPAI sebagai penyebab kejadian kematian unggas yang tinggi. Secara lebih luas, surveilans aktif melalui sampling statistik yang terencana ataupun sampling tertarget sangat penting untuk mengidentifikasi dimana lokasi virus AI atau infeksi virus AI di dalam sistem kompartemen/zona CZC, atau untuk menyertifikasi CZC sebagai zona bebas AI. Pengujian ini biasanya dicapai melalui deteksi serologis antibodi spesifik AI (yang hanya sedikit berguna untuk mendeteksi virus HPAI pada unggas gallinaseus jika virus telah membunuh sebagian besar unggas terinfeksi) dan atau deteksi virus AI dengan rRT-PCR atau uji ELISA yang menangkap antigen. Uji-uji yang digunakan untuk diagnosis dan surveilans AI dijelaskan pada Bab 2. Bab ini akan memberikan sinopsis metode klasik yang digunakan untuk mendiagnosis virus AI, meliputi isolasi virus dalam kultur sel dan telur ayam berembrio, metode imunologi untuk identifikasi dan subtyping virus AI, dan metode bioteknologi terbaru untuk mendeteksi virus, meliputi metode deteksi antigen dan asam nukleat.

Pada akhirnya, surveilans dan monitoring sangat penting baik untuk mengevaluasi kesuksesan strategi pengendalian dan pencegahan, dan untuk digunakan dalam pengambilan keputusan sebagai awal untuk memperbaiki strategi pengendalian. Strategi khusus virologi dan serologi untuk mengidentifikasi unggas terinfeksi dalam populasi yang telah divaksinasi (misalnya DIVA) akan didiskusikan dalam Bab 15. Bagaimanapun juga, penting untuk disebutkan bahwa metode terbaik untuk mendeteksi infeksi AI dalam flok tervaksinasi adalah dengan pengujian rutin unggas mati untuk virus AI.    

Eliminasi unggas yang terinfeksi

Eliminasi sumber virus AI dalam zona CZC bersifat kritikal dalam menghentikan wabah dan mengeradikasi penyakit. Saat flok terdampak telah teridentifikasi, material berisiko tinggi harus dimusnahkan, termasuk unggas, telur dan kotoran terinfeksi [70]. Akan tetapi metode paling ekonomis dan aman untuk eliminasi virus bervariasi tergantung strain virus, kondisi lokal, level biosekuriti yang diberlakukan di peternakan dan di wilayah itu, dan ketersediaan sumber daya keuangan dan tenaga kerja. Untuk HPAI, eliminasi pada umumnya berarti depopulasi yang humanis, dan pembuangan karkas, telur, dan kotoran menggunakan metode yang ramah lingkungan seperti kompos, insinerasi, ‘rendering’, atau penguburan. Pembaca dapat mencari informasi terkait metode eutanasia [32] dan pembuangan karkas [7] dalam edisi sebelumnya dari buku ini.  

Akan tetapi, untuk LPAI, metode tradisional stamping-out dan pembuangan makin jarang dilakukan, dan saat ini metode pengendalian alternatif, meliputi pengendalian pemasaran unggas umur 2-3 minggu setelah pemulihan pasca infeksi, dan pencucian telur sebelum dipasarkan, telah dilaksanakan dengan sukses [70]. Praktik ini tidak dikombinasi dengan vaksinasi. Alternatif ini dimungkinkan karena pendedahan virus AI terjadi dalam waktu 2 minggu pertama setelah inisiasi infeksi, dan biasanya virus tidak dapat terdeteksi selama 4 minggu. Karena itulah, flok yang memiliki antibodi berisiko rendah mengalami transmisi jika mereka dijaga dengan biosekuriti yang ketat. Flok dengan antibodi positif harus diuji pendedahan virus sebelum perpindahan unggas disetujui, dengan dilakukan pengujian unggas dalam jumlah yang cukup untuk membuktikan dengan tingkat kepercayaan yang masuk akal bahwa virus tidak lagi bersirkulasi. Karena kerugian ekonomi dikarenakan virus AI bisa saja berat, setiap program pengendalian harusnya tidak menghukum peternak pembesaran unggas, terutama peternak kecil yang tidak dapat menahan kerugian ekonomi tanpa adanya kompensasi atau kemampuan untuk menjual unggas yang telah sembuh dari infeksi. Program stamping-out dan pemusnahan hanya akan berhasil jika ganti rugi dibayar oleh pemerintah pada saat yang tepat. Kesuksesan pelaksanaan stamping-out di wilayah dengan kepadatan unggas yang tinggi tergantung pada kecepatan menemukan seluruh flok terinfeksi se-awal mungkin. Ketidakmampuan untuk melakukan hal ini adalah salah satu alasan mengapa virus H5 keturunan Gs/GD mampu bertahan selama 18 tahun di Asia (sampai ini ditulis tahun 2015). Di beberapa tempat, stamping-out dilakukan dalam lingkaran cincin seluas 1 – 5 km di sekeliling tempat terinfeksi. Akan tetapi, kebanyakan negara berkembang telah meninggalkan praktik ini karena bersifat sangat disruptif dan tidak berhasil mengeliminasi virus. Di beberapa negara berkembang, stamping-out juga dilakukan beberapa minggu setelah wabah terjadi (karena lambatnya pelaporan dan pengujian terpusat), dimana pada waktu itu unggas yang ada di wilayah terdampak telah dipindahkan ke lokasi lain atau telah dijual. Karena tidak ada status karier jangka panjang untuk virus HPAI pada individu unggas, hanya ada sedikit pembenaran untuk pendekatan ini. Akan tetapi, hal ini memerlukan fleksibilitas dalam pendekatan ini yang mungkin sulit untuk dicapai dalam sistem yang sangat tersentralisasi tinggi dan terikat peraturan.

Mengurangi kerentanan hospes

Jika unggas berada dalam risiko paparan virus dari unggas terinfeksi ataupun dari lingkungan yang terinfeksi, mengurangi kerentanan unggas terhadap infeksi mungkin penting untuk memutuskan siklus infeksi [70]. Berkurangnya kerentanan semacam itu dapat dicapai baik dengan menggunakan strain hospes ataupun ras yang secara genetik tahan terhadap infeksi virus AI, atau pada umumnya dengan memproduksi imunitas aktif maupun pasif untuk melawan virus AI pada spesies, ras ataupun strain hospes rentan.

Pada saat ini obat anti-influenza manusia tidak direkomendasikan untuk pengobatan hewan untuk konsumsi manusia. Penggunaan obat-obatan semacam itu telah terbukti memungkinkan percepatan perkembangan cepat strain virus AI yang tahan terhadap produk antivirus dan membahayakan efektivitas terapi antivirus untuk manusia yang dirawat karena AI [2, 3, 14, 17, 33, 74]. Penggunaan produksi antivirus pada unggas yang tidak diizinkan telah terjadi, dan harus dilarang untuk dilakukan. Untuk infeksi virus LPAI, perawatan suportif dan terapi antibiotik telah digunakan untuk mengurangi efek negatif infeksi bakteri yang menyertai. 

Resistansi genetik

Hanya ada sedikit sekali penelitian yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi resistansi alami terhadap virus atau tentang seleksi klasik resistensi terhadap AI pada unggas. Beberapa strain ayam komersial menunjukkan resistensi terhadap patologi ginjal setelah diuji tantang dengan virus LPAI melalui intravena [63]. Survei populasi pada ras ayam lokal Leung-Hahng-Kow dan Pradoo-Hahng-Dam di Thailand mengidentifikasi major histocompatibility class (MHC) haplotipe I dan II A9, B14 dan B21 lebih sering ada pada unggas yang bertahan hidup setelah wabah HPAI H5N1 di pedesaan, sedangkan haplotipe AI, B12, B13 dan B19 dominan pada ayam yang mati, dan haplotipe B2, B4 dan B5 terdapat secara merata pada ayam yang bertahan hidup maupun yang mati [6]. Akan tetapi, percobaan eksperimental menggunakan galur ayam kongenik yang berbeda haplotipe MHC nya yaitu B2, B12, B13, B19 dan B21 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada angka kematian setelah ditantang dengan dosis virus HPAI H5N2, yang mematahkan hipotesis bahwa haplotipe MHC menentukan resistansi terhadap infeksi dan letalitas virus HPAI [27]. 

Studi pada mencit telah mengidentifikasi gen fungsional Mx1+ telah memberikan resistensi terhadap virus-virus influenza A manusia yang telah teradaptasi laboratorium [28]. Homolog Mx telah didemonstrasikan pada itik dan ayam, dan telah menunjukkan variabel kemampuan antivirus in-vitro melawan virus influenza A dan virus lainnya [1, 4, 31, 36], akan tetapi tidak diketahui apakah ia dapat memberikan resistensi terhadap infeksi AI pada unggas. Pada akhirnya, teknologi yang memasukkan RNA campur (siRNA) telah membisukan ekspresi beberapa gen virus AI dalam sel avian dan mamalia, yang memberikan resistensi kepada replikasi virus AI [37]. Penggunaan siRNA pada saluran respirasi memberikan proteksi pada hewan model tikus setelah ditantang dengan virus influenza A letal [72]. Menggabungkan siRNA menggunakan teknologi transgenik memiliki potensi untuk pengembangan unggas yang resistan terhadap virus AI. Salah satu studi yang dilakukan dimana ayam transgenik dikembangkan untuk mengekspresikan RNA sort-hairpin yang didesain untuk berfungsi sebagai pengecoh yang menghambat dan menghalangi polimerase virus influenza. Ayam transgenik yang diinfeksi secara eksperimental dengan virus HPAI tidak mencegah infeksi maupun kematian, akan tetapi terjadi pengurangan kontak transmisi virus yang ditantang kepada ayam transgenik maupun non-transgenik [40]. 

Imunitas

Metode yang telah ditetapkan dan dipraktikkan untuk memberikan kekebalan terhadap virus AI melalui imunitas aktif maupun pasif, terutama terhadap virus AI HA, serta NA meskipun dalam level lebih kecil. Akan tetapi perlindungan seperti itu bersifat spesifik pada sub tipe dan pada beberapa kasus bersifat spesifik untuk strain tertentu. Pada praktiknya, imunitas telah dicapai terutama melalui vaksinasi dan melalu antibodi maternal yang diturunkan pada keturunannya melalui kuning telur (meskipun perlindungannya lebih kecil). Antibodi maternal hanya memberikan perlindungan selama 1 – 3 minggu pertama pasca menetas, sementara imunitas aktif lebih efektif dalam waktu yang lebih lama. Vaksin avian influenza telah digunakan pada berbagai spesies unggas, termasuk ayam, kalkun dan itik.

Berbagai teknologi vaksin telah dikembangkan dan telah efektif melawan virus LPAI dan HPAI dalam lingkungan laboratorium [66].  Penggunaan vaksin di lapangan tergantung pada perizinan oleh otoritas veteriner nasional setelah menunjukkan kualitas kemurnian, keamanan, efikasi dan tingkat potensinya [50], juga perlunya vaksinasi dalam rangka pengendalian AI. Sebagian besar vaksin yang dipergunakan di lapangan adalah vaksin AI inaktif lengkap, biasanya dibuat dari strain yang berasal dari wabah LPAI di lapangan dan sekarang mempergunakan vaksin dari strain AI yang dibuat dengan teknik pembalikan genetik, diikuti dengan inaktivasi kimia dan emulsifikasi dengan minyak [68]. Penggunaan virus HPAI sebagai strain sumber vaksin inaktif telah dilakukan, akan tetapi memerlukan fasilitas khusus dengan level biokontainmen yang tinggi untuk mencegah kecelakaan yang melepaskan virus ke lingkungan dan terinfeksinya unggas rentan. Virus HPAI tidak direkomendasikan untuk vaksin [43]. Sejak akhir tahun 1990-an, vaksin dengan vektor virus cacar ayam dan paramyxovirus tipe I (virus ND lentogenik) hidup dengan gen virus AI HA yang dimasukkan ke dalamnya telah diberikan izin edar dan digunakan di beberapa negara. Vaksin vektor virus lain juga telah digunakan untuk pengendalian dan pencegahan virus H5 keturunan Gs/GD, termasuk vaksin yang berdasarkan virus herpes kalkun [29, 59], dan vaksin duck viral enteritis [38]. Vaksin duck viral enteritis telah diaplikasikan di beberapa negara dan membuahkan beberapa keberhasilan sebagai vaksin di level penetasan unggas. Vaksin duck viral enteritis juga telah berhasil digunakan dalam pengujian lapangan pada itik, dan juga mungkin memberikan perlindungan pada ayam broiler [39].

Studi eksperimental telah mendemonstrasikan bahwa vaksin berkualitas tinggi yang digunakan dengan tepat akan mampu memberikan perlindungan melawan kematian, penyakit dan penurunan produksi telur [70]. Selain itu, vaksin juga meningkatkan resistansi terhadap infeksi virus AI, mengurangi jumlah unggas yang mendedahkan virus, sangat mengurangi titer virus yang didedahkan, mencegah transmisi kontak, dan mengurangi kontaminasi lingkungan. Karena itulah, vaksinasi dapat menjadi alat yang berguna untuk program pengendalian AI yang komprehensif jika digunakan secara kombinasi dengan komponen pengendalian penyakit lainnya. Wabah HPAI H5N2 tahun 2015 di Amerika Utara telah mengakibatkan pemusnahan jutaan unggas sehat pada kandang-kandang ternak yang sebenarnya tidak terdampak akan tetapi terdapat satu saja kandang yang terdampak dalam peternakan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang didasarkan pada vaksinasi darurat, terutama untuk unggas yang memiliki rentan hidup lama, mungkin saja dilakukan jika terdapat vaksin yang tepat dan permasalahan terkait perdagangan yang berhubungan dengan penggunaan vaksin bisa dituntaskan. Pendekatan ini telah digunakan dengan sukses pada penanganan wabah di wilayah administrasi khusus Hong Kong [18].

Topik tentang Vaksin dan penggunaannya akan disajikan lebih mendalam di Bab 15.

Biaya Ekonomi

Biaya ekonomi Avian Influenza bisa merupakan akibat dari kerugian langsung maupun tidak langsung karena penyakit dan kematian flok-flok terdampak, hilangnya kepercayaan konsumen terhadap produksi unggas dari zona tidak terdampak, dan waktu henti dalam operasi peternakan, demikian juga biaya mencegah, mengelola dan mengeradikasi penyakit atau infeksi. Biaya yang dikeluarkan bervariasi tergantung strain virus, spesies hospes, tipe sistem pertanian yang terdampak, jumlah fasilitas yang terlibat, strategi pengendalian yang digunakan, dan kecepatan implementasi program pengendalian [70]. Pada banyak negara maju, HPAI maupun LPAI telah menjadi endemik pada industri perunggasan komersial, akan tetapi LPAI telah dikenali sebagai penyebab infeksi sporadis sampai endemik pada beberapa peternakan belakang rumah dan sistem pasar unggas uang melayani pembeli dari populasi etnis di wilayah metropolitan besar. Sebagian besar wabah dan dampak kerugian ekonomi yang disebabkannya telah berasal dari infeksi epidemi HPAI yang menyerang ayam dan kalkun yang dipelihara baik secara komersial maupun non-komersial. Sebaliknya, pada banyak negara berkembang, virus LPAI telah menjadi endemik pada unggas komersial maupun non-komersial, terutama virus-virus dari sub tipe H9N2 sejak tahun 1990-an dan telah menyebabkan meningkatnya biaya untuk produksi unggas. Sejak tahun 1996, virus HPAI H5 keturunan Gs/GD telah menyebabkan epidemi pafa berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Dimulai dari tahun 2003, HPAI H5N1 telah menjadi endemik dalam sistem produksi unggas, terutama pada itik domestik dan pasar unggas, di beberapa negara Asia dan Mesir.

Infeksi virus LPAI pada unggas telah menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan karena sakit dan kematian pada burung terinfeksi, terutama saat disertai dengan infeksi sekunder bakteri atau patogen viral [70]. Akan tetapi, angka kerugian ekonomi yang sebenarnya pada umumnya tidak terdokumentasi atau tidak tersedia sama sekali. Pada umumnya, kerugian karena wabah LPAI lebih sedikit dibandingkan kerugian akibat wabah HPAI karena angka kesakitan dan kematian yang lebih rendah. Pada beberapa situasi, flok yang telah sembuh dari LPAI telah dieliminasi melalui program pemasaran terkontrol, yang memberikan beberapa bentuk subsidi pemulihan kepada peternak. Biaya eradikasi yang dilakukan pemerintah pusat federal maupun negara bagian lebih sedikit untuk penanganan LPAI. Umumnya LPAI hanya menyebabkan gangguan minor dalam perdagangan unggas dan produknya di tingkat nasional maupun internasional. Infeksi LPAI H9N2 endemik pada unggas di Asia dan Timur Tengah, dan infeksi LPAI H5N2 pada unggas di Meksiko dan Amerika Tengah telah menyebabkan beban keuangan signifikan terhadap produksi unggas, dan sekarang telah dikendalikan melalui vaksinasi rutin dan program manajemen untuk mengendalikan infeksi sekunder bakteri dan viral patogen. Akan tetapi, pada beberapa negara maju virus LPAI H5 dan H7 telah dikendalikan melalui program stamping-out tradisional yang menghabiskan biaya keuangan tinggi. Sebagai contoh, program stamping-out yang dilakukan di Virginia untuk mengendalikan LPAI H7N2 selama tahun 2002 menghabiskan biaya eradikasi yang ditanggung pemerintah Federal sebesar 461.000 dolar US per peternakan, yang sedikit lebih besar daripada biaya eradikasi HPAI H5N2 di Amerika Serikat pada tahun 2006 sebesar 275.000 dolar US per peternakan setelah disesuaikan terhadap angka inflasi tahun 2006 [70]. Pada umumnya, kerugian ekonomi lebih besar pada wabah HPAI daripada LPAI, pembiayaannya proporsional dengan jumlah unggas yang mati ditambah unggas lain yang dieliminasi. Akan tetapi, biaya yang diproyeksikan jika tidak dilakukan program eliminasi HPAI akan menjadi lebih tinggi jika dilihat dari aspek kerugian kesehatan hewan dan hilangnya pasar ekspor [70]. Diskusi yang lebih mendetail tentang biaya avian influenza, terutama epidemi HPAI H5N1, dapat ditemukan pada Bab 3 [70].

Aspek-Aspek Kesehatan Masyarakat

Pada umumnya, virus influenza A mengekspresikan adaptasi terhadap hospes melalui transmisi dan infeksi. Yang paling sering dan paling mudah terjadi adalah antar individual dalam spesies yang sama atau yang berkerabat dekat (misalnya ayam dan kalkun), tetapi terkadang juga menyebabkan infeksi pada spesies yang berbeda tapi berada dalam kelas yang sama (misalnya babi ke manusia, atau itik liar ke kalkun). Yang jarang terjadi, yaitu infeksi antar spesies dan antar kelas (misalnya ayam ke manusia) [65].  Infeksi virus AI telah terjadi pada manusia, akan tetapi sangat jarang terjadi jika dilihat dari jumlah kasus paparan virus HPAI H5N1 dan LPAI H9N2 yang telah terjadi di Asia dan Afrika selama 10 tahun terakhir, dan jika dibandingkan dengan jumlah infeksi virus influenza manusia H1N1 dan H3N2 endemik yang terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Tampaknya mungkin terdapat tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada yang sudah dideteksi melalui penyakit klinis, terutama untuk virus H5N9 dan H7N9. Meskipun jarang terjadi, virus AI dapat menyebabkan infeksi sporadis pada individu, atau sudah muncul gen virus AI pada virus influenza A yang menginfeksi manusia (misalnya telah terjadi reasortansi segmen gen).

Antara tahun 1959 dan 1997, hanya ada enam kejadian yang melibatkan 15 kasus fatal yang dilaporkan. Akan tetapi antara tahun 1997 sampai 2014, tiga strain virus AI bertanggung jawab untuk 356 kasus, beberapa diantarnya mengalami konsekuensi berat, yaitu H7N7 di Belanda tahun 2003, virus H5 keturunan Guangdong dari tahun 1997 dan seterusnya, dan virus LPAI H7N9 yang muncul di tahun 2013 di China bagian timur (dibahas oleh Swayne dkk.) [70]. Dalam kejadian-kejadian ini, banyak kematian terjadi berhubungan dengan virus HPAI H5N1, dan satu kematian berhubungan virus HPAI H7N7. Pada sebagian besar kasus pada manusia, individu yang terinfeksi HPAI H5 telah berkontak dengan unggas yang mati atau sakit karena terinfeksi, seperti pada saat mempersiapkan unggas untuk dikonsumsi di pedesaan, atau terpapar unggas terinfeksi di pasar-pasar yang menjual unggas, sementara virus HPAI H7N7 menginfeksi peternak, dokter hewan unggas dan petugas pemusnahan ternak dalam sektor produksi unggas komersial. Dengan fakta ini telah ditentukan bahwa faktor risiko utama adalah terpaparnya manusia dengan unggas terinfeksi yang sakit atau mati [46, 56]. Hal ini menggarisbawahi perlunya kehati-hatian saat bekerja menangani unggas yang terinfeksi oleh beberapa strain virus HPAI. Virus H7N7 sudah berhasil dieradikasi. Pada saat tulisan ini dibuat, virus LPAI H7N9 dan virus HPAI H5 yang ada di dunia sekarang ini masih belum dapat bertransmisi antar manusia. Akan tetapi, potensi hal ini dapat terjadi dan menimbulkan pandemi influenza pada manusia telah mengakibatkan digelontorkannya investasi kesehatan masyarakat dari pendanaan pemerintah maupun swasta untuk mengendalikan virus-virus ini, meliputi sejumlah besar uang donasi untuk mendukung negara-negara terdampak dan negara-negara yang masih dalam risiko oleh virus ini.

Virus AI telah berkontribusi menambahkan gen kepada virus penyebab pandemi virus influenza melalui reasortansi. Virus pandemi influenza manusia tahun 1975 (H2N2) dan 1968 (H3N2) muncul setelah terjadi reasortansi tiga gen virus (HA, NA dan PB1) dengan lima gen internal virus influenza manusia, dan dua gen virus (HA dan PB1) dengan enam gen internal virus influenza manusia [30, 48, 51, 52]. Masih belum jelas apakah reasortansi ini terjadi pada manusia, atau di dalam spesies yang memiliki kapasitas sebagai “wadah percampuran” seperti misalnya babi, akan tetapi dengan ditemukannya banyak infeksi virus AI pada manusia dalam waktu 20 tahun terakhir, tampaknya “wadah percampuran” ini tidak begitu diperlukan untuk menciptakan virus pandemi influenza A. Beberapa bukti terbaru menunjukkan bahwa virus pandemi 1918 mungkin saja sepenuhnya avian, dan mungkin saja muncul sebagai hasil adaptasi langsung virus tersebut kepada manusia [71]. Telah diajukan juga hipotesis bahwa reassortment mungkin terjadi antara virus H1 asal unggas yang telah bersirkulasi pada manusia selama beberapa tahun dengan virus asal unggas lainnya dari sub tipe N1 sebelum terjadinya pandemi [77]. 

Aspek zoonosis AI dan infeksi yang disebabkannya telah didiskusikan secara detail pada Bab 5.

Peranan organisasi-organisasi kesehatan hewan internasional

Pedoman perdagangan unggas dan produknya disediakan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) melalui Terrestrial Animal Health Code. Dokumen ini memberikan pedoman teknis dalam upaya yang harus diambil untuk meminimalisir kemungkinan importasi virus AI melalui perdagangan. Informasi yang terdapat dalam Terrestrial Animal Health Code terus diperbaharui saat ditemukan sistem penilaian baru tersedia untuk menilai patogenitas, patobiologi, epidemiologi, dan fitur molekuler virus AI. Sebagai penyakit eksotik, AI telah digunakan sebagai dasar pemberlakuan pembatasan perdagangan resmi untuk melindungi negara dan wilayah dari pemasukan penyakit hewan yang merusak ini. Sejak tahun 2004, OIE telah mengkodifikasi upaya kesehatan hewan untuk AI, seperti yang telah didefinisikan oleh OIE. Bab 4 telah membahas dengan lebih mendalam tentang upaya-upaya yang diadopsi dalam rangka mengurangi risiko dalam perdagangan unggas dan produknya (topik yang dibahas meliputi risiko transmisi virus AI melalui daging atau produk asal unggas lainnya kepada unggas lain dan manusia, distribusi virus LPAI dan HPAI dalam daging dan jaringan unggas terinfeksi, dan metode yang digunakan untuk menonaktifkan virus AI dalam makanan).

Selain OIE yang memiliki peranan penting dalam memberikan peraturan terkait standar kesehatan hewan internasional untuk perdagangan hewan dan produknya, Organisasi Pangan Dunia (FAO) dari Persekutuan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memiliki peranan besar sehubungan dengan produksi hewan ternak dan program kesehatan hewan di negara-negara berkembang. FAO memfasilitasi negara-negara dalam mengembangkan program yang memungkinkan produksi produk hewan yang bersih dan aman untuk konsumen, terutama membantu dalam membuat dan memperbaiki kesempatan bagi peternak hewan kecil-kecilan di negara-negara berkembang. FAO telah sangat aktif dalam membantu negara-negara ini untuk mengatasi pengendalian dan pencegahan avian influenza. Untuk virus-virus H5 keturunan Gs/GD terdapat tiga kategori negara berbeda, dan pendekatan setiap negara akan berbeda pula. Untuk negara-negara dimana virus tidak ada pada unggas, tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan status bebas. Negara-negara yang telah mendeteksi virus baru-baru ini biasanya akan segera mencoba untuk mengisolasi dan mengeliminasi virus, dan keputusan harus diambil kemudian ketika situasi sudah menjadi jelas untuk menentukan apakah eliminasi mungkin dilakukan. Jika hal itu mungkin maka negara itu akan bergerak untuk mengeliminasi virus. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan maka negara tersebut akan dianggap sebagai tempat dimana virus menjadi endemik, dan upaya akan dilakukan untuk mengisolasi virus dalam rangka persiapan eliminasi, meskipun pengalaman yang ada menunjukkan bahwa jumlah negara dimana terdapat virus terus meluas. Hal ini akan menjadi proses jangka panjang yang tidak akan terjadi sampai ada restrukturisasi besar-besaran pada sektor perunggasan dan perubahan praktik produksi dan pemasaran yang sudah ada.

Kesimpulan

Tidak ada satu pun strategi pengendalian Avian Influenza yang cocok untuk diimplementasikan untuk semua negara dan semua spesies avian. Setiap strategi pengendalian haruslah dibuat menyesuaikan secara spesifik virus AI dan kebutuhan dalam situasi secara lokal. Pada sebagian besar negara maju, HPAI telah ditangani dengan berbagai variasi program stamping-out, akan tetapi dengan kemunculan virus HPAI H5 keturunan Gs/GD di Asia 18 tahun yang lalu (saat kajian ini dibuat), strategi pengendalian HPAI, demikian LPAI telah meluas, terutama untuk negara-negara dimana prospek eliminasi virus masih buruk, karena itu telah diadopsi berbagai pilihan pengendalian.

Ada tiga tujuan atau hasil akhir berbeda dalam pengendalian AI, meliputi pencegahan, manajemen, dan eliminasi atau eradikasi. Pencapaian tujuan-tujuan ini didasarkan pada strategi komprehensif dikembangkan menggunakan kombinasi lima komponen atau fitur spesifik, yaitu:

  1. Edukasi, komunikasi, kewaspadaan publik, dan perubahan perilaku (misalnya meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana virus AI ditransmisikan, membuat setiap individu sadar tentang peranan mereka dalam pencegahan, perubahan manajemen, atau eradikasi penyakit, dan mempromosikan perubahan perilaku).
  2. Perubahan pada sistem produksi dan pemasaran yang berakibat peningkatan biosekuriti (misalnya fasilitas, praktik manajemen, dan prosedur untuk mencegah pemasukan virus ke dalam satu fasilitas, atau jika virus sudah ada di situ, untuk mencegah virus meninggalkan fasilitas itu).
  3. Diagnostik dan surveilans (misalnya kemampuan untuk mendeteksi virus atau bukti adanya infeksi pada populasi unggas atau lingkungan hidunya, atau sebagai cara untuk memverifikasi status bebas dari infeksi semacam itu).
  4. Eliminasi unggas terinfeksi (misalnya penghapusan/pembuangan sumber infeksi atau kemungkinan sumber penyakit dalam rangka mencegah kontaminasi dan diseminasi virus yang terus menerus ke lingkungan);
  5. Menurunkan kerentanan hospes dan mengurangi pendedahan virus (misalnya meningkatkan daya tahan hospes, biasanya dengan vaksinasi, sehingga jika terjadi paparan, infeksi dapat dicegah dan konsekuensi negatif dari infeksi dapat diminimalisir).

Efektivitas strategi komprehensif dalam mengendalikan Avian Influenza tergantung pada bagaimana kelima komponen ini digunakan dan diimplementasikan secara menyeluruh di lapangan. Tujuan awal strategi pengendalian LPAI dan HPAI mungkin saja berbeda, tergantung negara, sub tipe virus, situasi ekonomi, dan risiko kesehatan masyarakat akan, tetapi tujuan jangka panjang haruslah eliminasi seluruh virus AI sub tipe H5 dan H7 dari unggas domestik.

Biaya ekonomi yang berhubungan dengan AI dapat merupakan akibat kerugian langsung dan tidak langsung karena penyakit dan kematian pada flok terdampak, hilangnya kepercayaan konsumen terhadap produk unggas yang berasal dari zona tidak terdampak, dan waktu henti operasi peternakan, demikian juga biaya pencegahan, penanganan, atau eradikasi penyakit atau infeksi. Biaya bervariasi dan tergantung pada strain virus, spesies hospes, tipe sistem pertanian terdampak, jumlah fasilitas peternakan yang terlibat, strategi pengendalian yang digunakan, dan kecepatan implementasi program pengendalian.

Infeksi virus AI juga telah terjadi pada manusia, akan tetapi infeksi semacam itu jarang terjadi melihat pada jumlah paparan terhadap virus HPAI H5 dan LPAI H9N2 yang telah terjadi di Asia dan Afrika selama 18 tahun terakhir. Terutama jika dibandingkan dengan jumlah manusia yang terinfeksi virus influenza manusia H1N1 dan H3N2 yang sudah endemik per tahunnya secara global. 

  1. Bazzigher, L., A. Schwarz, and P. Staeheli. 1993. No enhanced influenza virus resistance of murine and avian cells expressing cloned duck Mx protein. Virology 195:100–112.
  2. Beard, C.W.,M. Brugh, and D. C. Johnson. 1984. Laboratory studies with the Pennsylvania avian influenza viruses (H5N2). Proceedings of the United States Animal Health Association 88:462–473.
  3. Beard, C. W., M. Brugh, and R. G. Webster. 1987. Emergence of amantadine-resistant H5N2 avian influenza virus during a simulated layer flock treatment program. Avian Diseases 31:533–537.
  4. Bernasconi, D., U. Schultz, and P. Staeheli. 1995. The interferon-induced Mx protein of chickens lacks antiviral activity. Journal of Interferon & Cytokine Research 15:47–53.
  5. Birnbaum, N. G. and B. O’Brien. 2008. Methods for inactivation of avian influenza virus in the environment. In: Avian Influenza, D. E. Swayne, ed. Blackwell Publishing: Ames, IA. 391–404.
  6. Boonyanuwat, K., S. Thummabutra, N. Sookmanee, V. Vatchavalkhu, V. Siripholvat, and T. Mitsuhashi. 2006. Influences of MHC class II haplotypes on avian influenza traits in Thai indigenous chicken. Journal of Poultry Science 43:120–125.
  7. Brglez, B. and J. Hahn. 2008. Methods for disposal of poultry carcasses. In: Avian Influenza, D. E. Swayne, ed. Wiley-Blackwell: Ames, IA. 333–352.
  8. Brugh, M. and D. C. Johnson. 1987. Epidemiology of avian influenza in domestic poultry. In: Proceedings of the Second International Symposium on Avian Influenza, B. C. Easterday and C. W. Beard, eds. United States Animal Health Association: Athens, GA. 177–186.
  9. Capua, I. and D. J. Alexander. 2004. Avian influenza: recent developments. Avian Pathology 33:393–404.
  10. Capua, I. and D. J. Alexander. 2006. The challenge of avian influenza to the veterinary community. Avian Pathology 35:189–205.
  11. Cardona, C. 2008. Farm and regional biosecurity practices. In: Avian Influenza, D. E. Swayne, ed. Wiley-Blackwell: Ames, IA. 353–368.
  12. Davison, S., R. J. Eckroade, and A. F. Ziegler. 2003. A review of the 1996–1998 nonpathogenic H7N2 avian influenza outbreak in Pennsylvania. Avian Diseases 47:823–827. 13 Department for Environment, Food and Rural Affairs (Defra). 2014. Biosecurity and Preventing Disease in Captive Birds. Available at www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/390044/captive-birds-biosecurity-preventingdisease-141221.pdf (accessed January 10, 2015).
  13. Department for Environment, Food and Rural Affairs (Defra). 2014. Biosecurity and Preventing Disease in Captive Birds. Available at www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/390044/captive-birds-biosecurity-preventingdisease-141221.pdf (accessed January 10, 2015).
  14. Dolin, R., R. C. Reichman, H. P. Madore, R. Maynard, P. N. Linton, and J. Webber Jones. 1982. A controlled trial of amantadine and rimantadine in the prophylaxis of influenza A infection. New England Journal of Medicine 307:580–584.
  15. Delmarva Poultry Industry, Inc. 2004. Proceedings of the 39th National Meeting on Poultry Health and Processing. Delmarva Poultry Industry, Inc.: Georgetown, DE.
  16. Easterday, B. C. and B. Tumova. 1972. Avian influenza. In: Diseases of Poultry, M. S. Hofstad, B. W. Calnek, C. F. Helmbolt, W. M. Reid, and H. W. Yoder, Jr., eds. Iowa State University Press: Ames, IA. 670–700.
  17. Easterday, B. C., V. S. Hinshaw, and D. A. Halvorson. 1997. Influenza. In: Diseases of Poultry, B. W. Calnek, H. J. Barnes, C. W. Beard, L. R. McDougald, and Y. M. Saif, eds. Iowa State University Press: Ames, IA. 583–605.
  18. Ellis, T. M., C. Y. Leung, M. K. Chow, L. A. Bissett, W. Wong, Y. Guan, and J. S. Malik Peiris. 2004. Vaccination of chickens against H5N1 avian influenza in the face of an outbreak interrupts virus transmission. Avian Pathology 33:405–412.
  19. Food and Agriculture Organization (FAO). 2011. Approaches to Controlling, Preventing and Eliminating H5N1 Highly Pathogenic Avian Influenza in Endemic Countries. Available at www.fao.org/docrep/014/i2150e/i2150e00.htm (accessed February 1, 2015).
  20. Fichtner, G. J. 1987. The Pennsylvania/Virginia experience in eradication of avian influenza (H5N2). In: Proceedings of the Second International Symposium on Avian Influenza, B. C. Easterday, ed. United States Animal Health Association: Richmond, VA. 33–38.
  21. Gonzales, J. L., J. A. Stegeman, G. Koch, S. J. de Wit, and A. R. Elbers. 2013. Rate of introduction of a low pathogenic avian influenza virus infection in different poultry production sectors in the Netherlands. Influenza and Other Respiratory Viruses 7:6–10.
  22. Halvorson, D. A. 1987. A Minnesota cooperative control program. In: Proceedings of the Second International Symposium on Avian Influenza, B. C. Easterday, ed. United States Animal Health Association: Richmond, VA. 327–336.
  23. Halvorson, D. A. 1995. Avian influenza control in Minnesota. Poultry Digest 54:12–19.
  24. Halvorson, D. A. 1998. Epidemiology and control of avian influenza inMinnesota. In: Proceedings of the 47th New England Poultry Health Conference. New England Poultry Association: Portsmouth, NH. 5–11.
  25. Halvorson, D. A. 2002. Twenty-five years of avian influenza in Minnesota. In: Proceedings of the 53rd North Central Avian Disease Conference. North Central Avian Disease Conference: Minneapolis, MN. 65–69.
  26. Harder, T., S. Maurer-Stroh, A. Pohlmann et al. 2015. Influenza A(H5N8) virus similar to strain in Korea causing highly pathogenic avian influenza in Germany. Emerging Infectious Diseases 21:860–863.
  27. Hunt, H. D., S. Jadhao, and D. E. Swayne. 2010. Major histocompatibility complex and background genes in chickens influence susceptibility to high pathogenicity avian influenza virus. Avian Diseases 54:572–575.
  28. Jin, H. K., T. Yamasihita, K. Ochiai, O. Haller, and T. Watanabe. 1998. Characterization and expression of theMx1 gene inwild mouse species. Biochemical Genetics 36:311–322.
  29. Kapczynski, D. R., M. Esaki, K. M. Dorsey, H. Jiang, M. Jackwood, M. Moraes, and Y. Gardin. 2015. Vaccine protection of chickens against antigenically diverse H5 highly pathogenic avian influenza isolates with a live HVT vector vaccine expressing the influenza hemagglutinin gene derived from a clade 2.2 avian influenza virus. Vaccine 33:1197–1205.
  30. Kawaoka, Y., S. Krauss, and R. G. Webster. 1989. Avian-to-human transmission of the PB1 gene of influenza A viruses in the 1957 and 1968 pandemics. Journal of Virology 63:4603–4608.
  31. Ko, J. H., A. Takada, T. Mitsuhashi, T. Agui, and T. Watanabe. 2004. Native antiviral specificity of chicken Mx protein depends on amino acid variation at position 631. Animal Genetics 35:119–122.
  32. Krushinskie, E. A., M. Smeltzer, P. Klein, and H. Kiezebrink. 2008. Mass depopulation as an effective measure for disease control purposes. In: Avian Influenza, D. E. Swayne, ed. Wiley-Blackwell: Ames, IA. 309–332.
  33. Lang, G., O. Narayan, and B. T. Rouse. 1970. Prevention of malignant avian influenza by 1-adamantanamine hydrochloride. Archiv für die Gesamte Virusforschung 32:171–184.
  34. Lee, C. W., D. A. Senne, J. A. Linares, P. R. Woolcock, D. E. Stallknecht, E. Spackman, D. E. Swayne, and D. L. Suarez. 2004. Characterization of recent H5 subtype avian influenza viruses from US poultry. Avian Pathology 33:288–297.
  35. Lee, D. H., M. K. Torchetti, K. Winker, H. S. Ip, C. S. Song, and D. E. Swayne. 2015. Intercontinental spread of Asian-origin H5N8 to North America through Beringia by migratory birds. Journal of Virology 89:6521–6524.
  36. Li, X. Y., L. J. Qu, J. F. Yao, and N. Yang. 2006. Skewed allele frequencies of an Mx gene mutation with potential resistance to avian influenza virus in different chicken populations. Poultry Science 85:1327–1329.
  37. Li, Y. C., L. H. Kong, B. Z. Cheng, and K. S. Li. 2005. Construction of influenza virus siRNA expression vectors and their inhibitory effects on multiplication of influenza virus. Avian Diseases 49:562–573.
  38. Liu, J., P. Chen, Y. Jiang, L. Wu, X. Zeng, G. Tian, J. Ge, Y. Kawaoka, Z. Bu, and H. Chen. 2011. A duck enteritis virus-vectored bivalent live vaccine provides fast and complete protection against H5N1 avian influenza virus infection in ducks. Journal of Virology 85:10989–10998.
  39. Liu, J., P. Chen, Y. Jiang, G. Deng, J. Shi, L.Wu, Y. Lin, Z. Bu, and H. Chen. 2013. Recombinant duck enteritis virus works as a single-dose vaccine in broilers providing rapid protection against H5N1 influenza infection. Antiviral Research 97:329–333.
  40. Lyall, J., R. M. Irvine, A. Sherman, T. J. McKinley, A. Nunez, A. Purdie, L. Outtrim, I. H. Brown, G. Rolleston-Smith, H. Sang, and L. Tiley. 2011. Suppression of avian influenza transmission in genetically modified chickens. Science 331:223–226.
  41. Marangon, S. and I. Capua. Control of avian influenza in Italy: from stamping out to emergency and prophylactic vaccination. Developments in Biologicals 124:109–115.
  42. Marangon, S., I. Capua, G. Pozza, and U. Santucci. 2004. Field experiences in the control of avian influenza outbreaks in densely populated poultry areas. Developments in Biologicals 119:155–164.
  43. OIE (World Organisation for Animal Health). 2014. Avian Influenza. Available at oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.03.04_AI.pdf (accessed December 16, 2014).
  44. OIE (World Organisation for Animal Health). 2014. Infection with Avian Influenza Viruses. Available at www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=chapitre_avian_influenza_viruses.htm (accessed February 20, 2015).
  45. Osbjer, K., S. Boqvist, S. Sokerya, C. Kannarath, S. San, H. Davun, and U. Magnusson. 2015. Household practices related to disease transmission between animals and humans in rural Cambodia. BMC Public Health 15:476.
  46. Perdue, M. L., D. L. Suarez, and D. E. Swayne. 2000. Avian influenza in the 1990s. Avian and Poultry Biology Reviews 11:1–20.
  47. Poss, P. E., K. A. Friendshuh, and L. T. Ausherman. 1987. The control of avian influenza. In: Proceedings of the Second International Symposium on Avian Influenza, B. C. Easterday and C. W. Beard, eds. United States Animal Health Association: Richmond, VA. 318–326.
  48. Reid, A. H. and J. K. Taubenberger. 1999. The 1918 flu and other influenza pandemics: “over there” and back again. Laboratory Investigation 79:95–101.
  49. Rohm, C., T. Horimoto, Y. Kawaoka, J. Suss, and R. G. Webster. 1995. Do hemagglutinin genes of highly pathogenic avian influenza viruses constitute unique phylogenetic lineages? Virology 209:664–670.
  50. Roth, J. A. and L. M. Henderson. 2001. New technology for improved vaccine safety and efficacy. Veterinary Clinics of North America: Food Animal Practice 17:585–597.
  51. Schafer,W. 1955. Vergleichende sero-immunologische untersuchungen uber die viren der influenza unf klassichen geflugelpest. Zeitschrift für Naturforschung 10B:81–91.
  52. Scholtissek, C., I. Koennecke, and R. Rott. 1978. Host range recombinants of fowl plague (influenza A) virus. Virology 91:79–85.
  53. Senne, D. A. 2004. Avian influenza. Proceedings of the United States Animal Health Association 108:545–547. 54 Shapiro, D. and B. Stewart-Brown. 2009. Farm biosecurity risk assessment and audits. In: Avian Influenza, D. E. Swayne, ed. Blackwell Publishing: Ames, IA. 369–390.
  54. Shapiro, D. and B. Stewart-Brown. 2009. Farm biosecurity risk assessment and audits. In: Avian Influenza, D. E. Swayne, ed. Blackwell Publishing: Ames, IA. 369–390.
  55. Shehata, A. A., R. Parvin, H. Sultan, M. Y. Halami, S. Talaat, E. A. Abd, M. Ibrahim, K. Heenemann, and T. Vahlenkamp. 2015. Isolation and full genome characterization of avian influenza subtype H9N2 from poultry respiratory disease outbreak in Egypt. Virus Genes 50:389–400.
  56. Shortridge, K. F. 1999. Poultry and the influenza H5N1 outbreak in Hong Kong, 1997: abridged chronology and virus isolation. Vaccine 17:S26–S29.
  57. Sims, L. D. 2007. Risks Associated with Poultry Production Systems. Available at www.fao.org/ag/againfo/home/events/bangkok2007/docs/part2/2_1.pdf (accessed January 5, 2015).
  58. Sims, L. D. 2012. Progress in control of H5N1 highly pathogenic avian influenza and the future for eradication. Avian Diseases 56:829–835.
  59. Soejoedono, R. D., S. Murtini, V. Palya, B. Felfoldi, T. Mato, and Y. Gardin. 2012. Efficacy of a recombinant HVT-H5 vaccine against challenge with two genetically divergent Indonesian HPAI H5N1 strains. Avian Diseases 56:923–927.
  60. Spackman, E., D. A. Senne, S. Davison, and D. L. Suarez. 2003. Sequence analysis of recent H7 avian influenza viruses associated with three different outbreaks in commercial poultry in the United States. Journal of Virology 77:13399–13402.
  61. Suarez, D. L. and C. S. Schultz. 2000. Immunology of avian influenza virus: a review. Developmental and Comparative Immunology 24:269–283.
  62. Suarez, D. L., E. Spackman, and D. A. Senne. 2003. Update on molecular epidemiology of H1, H5, and H7 influenza virus infections in poultry in North America. Avian Diseases 47:888–897.
  63. Swayne,D. E., M. J. Radin, T. M. Hoepf, and R.D. Slemons. 1994. Acute renal failure as the cause of death in chickens following intravenous inoculation with avian influenza virus A/chicken/Alabama/7395/75 (H4N8). Avian Diseases 38:151–157.
  64. Swayne, D. E., J. R. Beck, M. Garcia, M. L. Perdue, and M. Brugh. 1998. Pathogenicity shifts in experimental avian influenza virus infections in chickens. In: Proceedings of the Fourth International Symposium on Avian Influenza, D. E. Swayne and R. D. Slemons, eds. United States Animal Health Association: Richmond, VA. 171–181
  65. Swayne, D. E. 2000. Understanding the ecology and epidemiology of avian influenza viruses: implications for zoonotic potential. In: Emerging Diseases of Animals, C. C. Brown and C. A. Bolin, eds. ASM Press: Washington, DC. 101–130.
  66. Swayne, D. E. 2004. Application of new vaccine technologies for the control of transboundary diseases. Developments in Biologicals 119:219–228.
  67. Swayne, D. E. and B. Akey. 2005. Avian influenza control strategies in the United States of America. In: Avian Influenza: Prevention and Control, R. S. Schrijver and G. Koch, eds. Springer: Dordrecht. 113–130.
  68. Swayne, D. E. 2009. Avian influenza vaccines and therapies for poultry. Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Diseases 32:351–363.
  69. Swayne, D. E., G. Pavade, K. Hamilton, B. Vallat, and K. Miyagishima. 2011. Assessment of national strategies for control of high-pathogenicity avian influenza and low-pathogenicity notifiable avian influenza in poultry, with emphasis on vaccines and vaccination. Revue Scientifique et Technique (IOE) 30:839–870.
  70. Swayne, D. E., D. L. Suarez, and L. D. Sims. 2013. Influenza. In: Diseases of Poultry, D. E. Swayne, J. R. Glisson, L. R. McDougald, V. Nair, L. K. Nolan, and D. L. Suarez, eds. Wiley-Blackwell: Ames, IA. 181–218.
  71. Taubenberger, J. K. 2005. Characterization of the 1918 influenza virus polymerase genes. Nature 437:889–893.
  72. Tompkins, S. M., C. Y. Lo, T. M. Tumpey, and S. L. Epstein. 2004. Protection against lethal influenza virus challenge by RNA interference in vivo. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 101:8682–8686.
  73. United States Animal Health Association. 1994. Report of the Committee on Transmissible Diseases of Poultry and Other Avian Species. Criteria for determining that an AI virus isolation causing an outbreak must be considered for eradication. Proceedings of the United States Animal Health Association 98:522.
  74. Webster, R. G., Y. Kawaoka, W. J. Bean, C. W. Beard, and M. Brugh. 1985. Chemotherapy and vaccination: a possible strategy for the control of highly virulent influenza virus. Journal of Virology 55:173–176.
  75. World Bank. 2014. Avian and Human Influenza Control and Preparedness, Cambodia. Implementation Completion and Results Report. Available at www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2014/10/31/000333037_20141031005316/Rendered/PDF/ICR27810P1000800disclosed0100290140.pdf (accessed October 30, 2014).
  76. World Bank. 2014. Implementation Completion and Results Report. Vietnam Avian and Human Influenza Project. Available at www-wds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2014/12/31/000477144_20141231114957/Rendered/PDF/ICR33300P1016000disclosed0120300140.pdf (accessed January 5, 2015).
  77. Worobey, M., G. Z. Han, and A. Rambaut. 2014. Genesis and pathogenesis of the 1918 pandemic H1N1 influenza A virus. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 111:8107–8112


DISCLAIMER

This article was translated to enable Bahasa Indonesia readers to better understand the topic explained inside the article in their native language. The translator made no profit in translating the article.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *