Oleh: Montserrat Torremorell

Diterjemahkan oleh: Agna D. Lantria


DISCLAIMER

This article was translated to enable Bahasa Indonesia readers to better understand the topic explained inside the article in their native language. The translator made no profit in translating the article.

Imunitas

Imunitas cairan/humoral

Infeksi virus influenza A (IAV) menimbulkan respons imun yang dicirikan dengan produksi antibodi dan proliferasi sel imun. Respons berdasar antibodi atau humoral penting untuk mencegah atau mengurangi infeksi dalam tubuh hospes, sementara respons seluler penting untuk menghilangkan virus selama stadium akhir infeksi.

Babi mengembangkan respons imun yang cepat dan efektif melawan virus AI karena mereka mampu mengatasi infeksi virus dalam kira-kira 7 hari saja. Babi biasanya tetap terlindungi terhadap reinfeksi dengan strain yang sama atau yang serupa dengannya.

Pengetahuan kita tentang imunitas melawan virus AI babi masih terbatas, dan sebagian besarnya didasarkan pada imunologi manusia. Setelah infeksi, antibodi yang diproduksi utamanya untuk melawan hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA), matriks (M), dan neukleoprotein (NP). Akan tetapi, hanya antibodi yang melawan bagian globular protein HA dapat menghalangi masuknya virus AI kedalam sel target dan menetralisir infektivitas virus. Protein HA bertanggungjawab untuk perlekatan virus kepada reseptor hospes dan masuknya virus ke dalam sel. Antibodi melawan NA bergerak setelah infeksi dengan membatasi pelepasan virion dari sel terinfeksi. Antibodi terhadap protein virus lainnya, terutama NP dan M, memediasi kehancuran sel terinfeksi dengan mekanisme dependensi antibodi. 

Kebanyakan studi telah mengukur respons antibodi dalam serum, akan tetapi antibodi mukosa dalam saluran pernafasan adalah yang paling penting dalam perlindungan terhadap AI. dalam serum, antibodi IgM diproduksi paling pertama dan dapat dideteksi dalam 3 – 5 hari pasca infeksi, sementara antibodi IgG dapat dideteksi dalam 7- 10 hari pasca infeksi [19], tetapi biasanya mencapai puncak pada 15 – 21 hari. Antibodi IgG ditemukan utamanya dalam serum, meskipun juga dapat dideteksi dalam cairan bronchoalveolar lavage (BALF) dan sekresi nasal, meskipun dalam jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan antibodi IgA. antibodi IgG melindungi parenkim paru, dan terdapat beberapa bukti bahwa antibodi ini dapat diproduksi secara lokal. Antibodi IgA memainkan peranan penting dalam imunitas mukosa, dan dapat terdeteksi 4 – 7 hari pasca infeksi dalam basuhan nasal [13, 19]. IgA mencapai titer maksimum dalam serum dan sekresi mukosa sekitar 15 hari pasca infeksi, dan tetap tinggi dalam sekresi mukosa setidaknya 6 – 8 minggu pasca infeksi [13, 18]. Aktivitas spesifik IgA lebih tinggi dalam BALF dan sekresi nasal jika dibandingkan dengan serum.

Terdapat perbedaan dalam kemampuan strain virus untuk menginduksi antibodi cross-reaktif yang mampu untuk menghalangi masuknya virus melawan strain virus yang berbeda secara antigenik. Antibodi cross-reaktif cenderung bersifat subtipe spesifik dan tergantung pada antibodi melawan protein HA. Proteksi hetero subtipik cenderung bersifat independen/tidak tergantung pada antibodi HI cross-reaktif dalam serum [4, 9, 47], dan terdapat cross-proteksi lemah antar virus AI HI dengan keragaman genetik yang lebih luas [12, 43]. Ditambah lagi, respons sel-T bersifat lebih cross-reaktif daripada antibodi terhadap HA dan NA.

Imunitas seluler

Respon imunitas yang dimediasi sel (CMI) penting baik dalam menghilangkan virus dan dalam proses pemulihan, dan diperkirakan memainkan peranan dalam imunitas heterolog dan melindungi terhadap infeksi virus AI dosis rendah. Sel pembantu (helper) CD4+ atau sel T-helper membantu memfasilitasi response antibodi, dan setelah infeksi primer dan sekunder, terdapat peningkatan limfosit-T sitotoksik CD8+ (CTLs) dalam paru-paru babi yang terinfeksi virus AI. sebagian besar dari sel-sel ini mengenali epitop konservasi NP [12]. Selain itu terdapat juga peningkatan jumlah sel natural killer (NK) dalam paru-paru. Sel NK menghancurkan sel epitel yang terinfeksi virus AU pada stadium awal infeksi dengan cara yang tidak spesifik, tetapi dalam stadium akhir infeksi primer, demikian juga pada stadium awal infeksi sekunder, sel ini mungkin diarahkan oleh antibodi untuk menargetkan sel hospes yang terinfeksi [12]. Respon sel-T yang kuat, yang diukur dengan sel yang memproduksi interferon-ℽ, telah terlihat pada nodus limfa trakeo bronchiolar dan limpa babi yang terinfeksi tak lama setelah infeksi dan mencapai puncaknya sekitar 21 hari setelah infeksi [18]. 

Imunitas yang diturunkan dari induk (kekebalan maternal)

Transfer kekebalan maternal (MDI) dari induk kepada anak babi melalui ingesti kolostrum, yang kaya antibodi, sel dan faktor-faktor lain [36]. Kolostrum bersifat sangat vital, karena plasentasi epiteliokorial pada babi mencegah perpindahan antibodi dan sel dalam kandungan (in utero) [16]. MDI penting untuk melindungi babi secara klinis, akan tetapi dapat merintangi perkembangan respons imun efektif melawan infeksi virus AI [16]. MDI menunjukkan level tertinggi setelah meminum kolostrum, berkurang secara progresif setelahnya, dan antibodi maternal dapat bertahan sampai sekitar 4 – 14 minggu [23].

Proteksi menyeluruh telah ditunjukkan pada babi dengan MDI setelah uji tantang dengan virus AI homolog [3]. Akan tetapi, studi lainnya hanya menunjukkan perlindungan parsial, dengan berkurangnya gejala klinis dan pendedahan virus [7, 23]. Babi yang memiliki antibodi kekebalan maternal (MDA) mendedahkan virus dalam jangka waktu lebih lama setelah infeksi dan menunjukkan berkurangnya pertumbuhan (Stunting) dibandingkan dengan anak babi tanpa MDA [23].

Keberadaan MDA harus dihubungkan dengan berkurangnya respons antibodi dan respons imun yang lebih lemah secara keseluruhan [3, 17, 23, 26, 32]. MDA telah ditemukan mempengaruhi respons sel-T proliferatif setelah infeksi primer [23], dan untuk menekan induksi sel T memori spesifik virus AI mengikuti vaksinasi [17]. Efektivitas vaksinasi dengan vaksin inaktif atau vaksin atenuasi hidup berkurang dengan keberadaan MDA [48], meskipun reduksinya lebih besar saat vaksin inaktif digunakan. Keberadaan MDA saat vaksinasi memiliki dampak negatif terhadap efektivitas vaksin, demam dan gejala klinis lainnya menjadi lebih panjang, dan tidak disangka, babi dengan MDA juga mengalami pneumonia berat dibandingkan dengan babi tanpa MDA [17, 48]. 

Keberadaan MDA dapat mempengaruhi tingkat penularan virus AI. Penularan AI dapat dikurangi akan tetapi tidak dapat dicegah pada anak babi baru lahir dengan MDI yang homolog jika dibandingkan dengan anak babi baru lahir yang seronegatif dan babi dengan imunitas maternal heterolog [1]. Pada babi yang memiliki MDI, penularan tetap terjadi meskipun tidak ada gejala klinis. Selain itu, antigenic drift telah didokumentasikan pada babi dengan imunitas maternal [10].  

Diagnosis

Diagnosis infeksi virus AI pada babi memerlukan dukungan laboratorium, karena gejala klinis yang muncul tidak patognomonis dan harus dibedakan dari berbagai penyakit pernafasan lainnya. Diagnosis definitif hanya dapat dibuat berdasarkan isolasi virus, deteksi asam nukleat atau protein virus, atau temuan antibodi spesifik terhadap virus AI. Karena banyaknya strain virus AI yang bersirkulasi pada babi, sangat penting untuk mendiagnosa dan mencirikan strainnya, dan untuk mengerti batasan-batasan pengujian diagnosis yang ada.

Isolasi virus menyediakan bukti adanya virus yang layak dalam sampel. Virus AI dapat diisolasi dalam telur ayam berembrio dan berbagai kultur sel [40], salah satunya adala kultur sel ginjal anjing Madin-Darby (MDCK) yang paling sering digunakan [27]. Detail tentang prosedurnya dapat ditemukan pada bab 2 buku ini.

Polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi materi genetik virus, akan tetapi tidak dapat membedakan antara virus yang layak dan tidak layak. Diagnostik PCR digunakan secara luas dalam diagnosa laboratorium karena sensitivitas, kecepatan, akurasi, dan skalanya, dan telah menjadi metode pilihan untuk mendiagnosa virus AI. Ada beberapa protokol berdasar PCR untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus AI pada babi, termasuk kit komersial [14, 24, 37, 39]. Untuk mendeteksi kisaran umum subtipe AI, primer yang digunakan untuk reverse transcriptase PCR (RT-PCR) didesain untuk menargetkan gen matriks konservasi (M) atau gen nukleoprotein (NP). RT-PCR yang telah divalidasi oleh USDA untuk AI terhadap gen M [38, 39] telah diadaptasi untuk diagnosis rutin di Amerika Serikat. Metode berbasis PCR juga dapat digunakan untuk membedakan antar subtipe atau strain dalam satu subtipe [5, 22, 49], dan untuk mencirikan strain menggunakan sekuensing materi genetik langsung dari sampel atau isolat virus [5, 50].

Virus AI menyebabkan lesi yang dicirikan dengan bronkopneumonia dengan bronkitis dan bronkiolitis nekrotik, dan pneumonia interstitial. Virus AI dapat dideteksi secara langsung dalam lesi segar atau jaringan beku melalui imunofluoresensi atau dalam jaringan yang telah difiksasi dalam formalin dengan imunohistokimia.

Antibodi melawan virus AI mendeteksi paparan infeksi virus AI atau vaksinasi, dan juga dapat menjadi indikasi transfer antibodi maternal. Pengujian serologis paling umum untuk diagnosis rutin meliputi uji inhibisi hemaglutinasi (HI) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Pengujian HI didasarkan pada aglutinasi sel darah merah, mendeteksi antibodi melawan protein HA virus yang digunakan pada pengujian, dan bersifat subtipe spesifik. Mungkin terdapat cross-reaktivitas dalam strain dalam satu subtipe, terutama di antara klaster alpha, beta dan gamma dalam subtipe H1 virus AI babi, tapi secara umum HI sangat spesifik jika dibandingkan dengan metode ELISA. Terdapat beberapa kit uji ELISA yang tersedia secara komersial, meliputi kit ELISA bersifat subtipe spesifik yang dapat mendeteksi antibodi terhadap H1N1 dan H3N2. Uji-uji ini seringkali lebih sedikit sensitivitasnya dibandingkan dengan uji HI [2, 21]., dan juga kurang spesifik, karena bisa bereaksi silang dengan epitop yang umum ditemukan pada virus-virus H3N2 dan H1N1. Uji ELISA melawan nukleoprotein mendeteksi antibodi yang tidak bersifat subtipe spesifik, dan dapat digunakan sebagai metode untuk menyaring keberadaan infeksi virus AI. baru-baru ini, kit yang didasarkan pada unggas telah diadaptasikan untuk digunakan mendeteksi antibodi anti-NP pada babi [8]. Uji ini sangat sensitif, meskipun antibodi melawan vaksinasi AI mungkin tidak selalu terdeteksi. Uji netralisasi virus menunjukkan ciri performa yang sama dengan uji HI, akan tetapi lebih sulit dilakukan dan memakan lebih banyak waktu, sehingga lebih cocok untuk dilakukan di laboratorium terspesialisasi. 

Sampel yang paling umum untuk mendiagnosa infeksi virus AI pada babi adalah spesimen respiratorik, seperti paru-paru dan jaringan trakea dan sekresi nasal/hidung. Cairan oral juga sampel yang cocok untuk mendiagnosa virus AI dalam kelompok babi [35]. Baik metode berdasarkan PCR dan isolasi virus dapat dilakukan dengan cairan oral, tetapi PCR memiliki sensitivitas yang lebih tinggi. Sampel serum digunakan untuk mendeteksi antibodi, bukan virus, dan baru-baru ini pengujian ELISA menggunakan cairan oral telah divalidasi untuk mendeteksi antibodi [30]. Waktu koleksi sampel untuk deteksi antigen sehubungan dengan infeksi sangat penting, karena pendeknya durasi waktu pendedahan virus. Sampel yang diambil dari hewan yang febril (demam) 2-5 hari pasca infeksi adalah sampel yang paling baik. Akan tetapi, pendedahan dapat dipengaruhi oleh vaksinasi atau keberadaan imunitas alami, yang sebaliknya mungkin dapat berdampak pada performans pengujian [35].

Diagnosis diferensial harus mencakup patogen respiratorik lain yang umum ditemukan pada babi, seperti porcine reproductive respiratory syndrome virus (PRRSV), porcine circovirus (PCV2), virus penyakit Aujeszky, Mycoplasma hyopneumoniae, Erysipelas rhusiopathiae, dan Haemophilus parasuis. Ko-infeksi dengan virus AI dan M. hyopneumoniae telah menunjukkan akibat meningkatnya keparahan gejala klinis dan lesi makroskopis [41]. Ko-infeksi bersama PRRSV dan PCV2 telah didokumentasikan, dan di beberapa studi dampaknya telah ditemukan memiliki signifikansi [44].

Strategi intervensi 

Biaya ekonomi untuk penanggulangan infeksi AI pada babi sulit untuk diperkirakan meskipun dianggap signifikan. Perkiraan sebesar 3 – 10 USD per hewan telah dilaporkan untuk babi yang terinfeksi virus AI saja atau tanpa ko-infeksi. Sebagian besar biaya ekonomi muncul dikarenakan berkurangnya pertumbuhan, meningkatnya konversi pakan, meningkatnya kematian, dan biaya pengobatan yang tinggi [11, 42]. Pengendalian virus AI pada babi telah menjadi lebih sulit karena bersirkulasinya strain-strain virus yang berbeda secara genetik dan masuknya virus pandemi 2009. Virus baru hasil reasortansi umum ditemukan, yang berarti bahwa pengendalian virus AI dengan vaksin yang saat ini ada memerlukan evaluasi rutin.

Infeksi AI pada babi juga relevan dengan kesehatan masyarakat. Meskipun dampak infeksi-infeksi ini pada manusia sulit untuk diestimasi, infeksi virus AI asal babi telah terdokumentasikan pada individu yang bekerja dengan babi, pelanggan yang pergi ke pasar menjual hewan babi hidup, dan pengunjung pameran-pameran pertanian [6, 15, 28]. Memang terjadi 300 kasus pada manusia disebabkan virus varian H3N2 yang dilaporkan tahun 2012 pada pameran-pameran pertanian di sepanjang wilayah Midwest Amerika Serikat [15]. Meskipun virus AI tidak ditularkan melalui konsumsi babi [46], laporan kasus penularan dari babi ke manusia atau munculnya strain baru yang berhubungan dengan babi, dapat menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan untuk produsen karena adanya efek kepercayaan masyarakat konsumen, seperti yang terjadi saat pandemi virus 2009.

Vaksinasi adalah upaya yang paling sering digunakan untuk mengendalikan infeksi virus AI pada babi. Vaksin pada awalnya disiapkan berdasarkan metode konvensional menggunakan strain dominan klasik H1N1, dan dilaksanakan dengan tujuan utama mengurangi dampak ekonomi penyakit dalam kumpulan hewan breeder dan populasi anak babi baru lahir. Akan tetapi, karena meningkatnya keragaman subtIpe dan strain influenza, vaksin yang ada sekarang biasanya mengandung lebih dari satu isolat, dengan tujuan memasukkan strain paling umum dan strain yang bereaksi silang. Meskipun vaksin influenza yang ada masih jauh sebagai solusi yang ideal, vaksin dapat menjadi sebuah sarana yang valid untuk dapat mengendalikan influenza. Vaksin dapat mencegah gejala klinis, menurunkan jumlah lesim menurunkan dampak ekonomi penyakit, dan dapat mengurangi pendedahan virus [17, 20, 45]. Tetapi, tantangan utama dalam penggunaan vaksin virus AI adalah kebutuhan untuk menggunakan strain yang dapat memberikan proteksi silang dan untuk dapat mencegah penularan dan infeksi dengan efektif. Tantangan yang pertama dijawab dengan menggunakan vaksin multivalen dan produk-produk autogenous yang disiapkan dari strain yang spesifik dengan peternakan terdampak. Baru-baru ini, vaksin eksperimental menggunakan strain influenza yang telah diatenuasi telah menunjukkan hasil proteksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan vaksin heterolog, dengan bukti penurunan pendedahan virus dan induksi imunitas mukosal [25, 48]. Sampai saat ini masih belum tersedia vaksin hidup atenuasi untuk babi, meskipun beberapa diantaranya masih dalam pengembangan. Efek vaksinasi terhadap penularan masih belum dimengerti secara jelas, karena tergantung dengan level proteksi silang antara virus yang bersirkulasi di lapangan dan virus yang ada dalam vaksin. Meskipun beberapa laporan yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa penularan virus AI dapat dikurangi dalam populasi yang sudah divaksin [34], laporan lainnya menunjukkan bahwa tidak selalu seperti itu. Penularan masih dapat terjadi dalam tingkat yang rendah dalam kelompok hewan yang sudah divaksin dengan vaksin yang hanya dapat menimbulkan imunitas parsial. Hipotesis ini diperkuat dengan studi model matematika yang mengindikasikan bahwa hanya vaksinasi saja tidak mampu untuk mengeliminasi virus AI dalam kawanan hewan [33].

Meskipun ada perdebatan tentang manfaat jangka panjang vaksinasi AI, protokol umum untuk pemberian vaksinasi AI pada babi meliputi vaksinasi hewan pengganti/baru masuk, dan vaksinasi sebelum melahirkan (pre-farrowing) atau vaksinasi seluruh hewan dalam kelompok breeding. Tujuan protokol ini adalah untuk meningkatkan transfer antibodi maternal kepada anak babi dan memitigasi infeksi virus AI dalam kawanan hewan induk. Vaksinasi babi yang sudah disapih juga mungkin dilakukan, meskipun manfaat ekonomi praktek ini masih sulit diukur, karena adanya gangguan terhadap antibodi maternal [23]. Selain itu, vaksinasi melawan virus AI dalam kawanan yang telah mengalami wabah penyakit telah diketahui memiliki nilai yang masih dipertanyakan [31]. Terakhir,  vaksin yang ada mungkin harus bersifat spesifik kepada wilayah atau negara tertentu, karena strain virus AI dominan berbeda antar negara dan benua (misalnya strain Amerika Utara vs Eropa vs Amerika Selatan).

Tidak ada obat antivirus yang diresepkan untuk dipakai pada hewan konsumsi untuk memitigasi infeksi virus AI dan tidak ada pengobatan spesifik untuk virus AI. Akan tetapi, ko-infeksi bersama virus dan bakteri sering kali terdiagnosa pada hewan yang terinfeksi dengan AO. ko-infeksi virus dengan PRRSV dan PCV2 umum ditemukan, dan program vaksinasi/pencegahan terhadap virus-virus tersebut harus tersedia. Ko-infeksi dengan agen bakteri penyebab pneumonia seperti misalnya H.parasuis, Pasteurella multocida, Streptococcus suis, Actinobacillus suis, dan Actinobacillus pleuropneumoniae juga umum ditemukan. Dalam kasus-kasus ini direkomendasikan penggunaan produk mikrobial. Produk antimikroba yang dipilih dapat tergantung pada spesies bakteri target pengobatan, akan tetapi agen antimikroba berspektrum luas lebih disarankan, dan harus diberikan melalui injeksi pada stadium awal penyakit, saat hanya ada sedikit hewan yang terdampak. Produk antimikroba tersedia baik yang berjangka pendek (short acting) maupun panjang (long acting). Formulasi oral yang dapat diberikan melalui air minum juga disarankan untuk diberikan terutama jika banyak babi terdampak dan diperlukan respons cepat. Akan tetapi, salah satu kekurangan pemberian produk antimikroba melalui air minum adalah bahwa hewan terlalu sakit untuk bisa mendekati tempat minum atau wadah makanan. Pemberian pakan yang mengandung obat bisa dipilih jika wabah terjadi berulang dan dapat diprediksi waktu dan tempatnya. Akan tetapi, jika dihadapkan pada penyakit akut, saat produk antimikroba mungkin hanya memberikan manfaat terbatas karena hewan tidak makan, lebih efektif jika memberikan pengobatan antibiotik injeksi dengan efek panjang pada setiap babi yang mengalami infeksi bakterial sekunder meskipun hal ini memakan cukup banyak waktu dan tenaga. Secara keseluruhan, pengobatan dengan produk antimikroba harusnya dapat mengurangi kematian terkait infeksi AI dan memperbaiki gejala klinis, terutama yang berhubungan dengan infeksi respirasi sekunder.  

Pendekatan umum dalam pengendalian virus AI yang dilaksanakan di berbagai negara dan wilayah serupa satu sama lainnya, terutama menyangkut penggunaan produk antimikroba. Akan tetapi ada beberapa perbedaan, tergantung jika kerugian akibat virus AI dihitung dalam biaya. Pendekatan terhadap vaksinasi mungkin bervariasi tergantung negara atau wilayahnya. Misalnya, penggunaan vaksin autogenus (misalnya produk yang disiapkan dari satu strain atau banyak strain spesifik peternakan tertentu) tidak diizinkan di negara-negara Eropa, sedangkan di Amerika Serikat penggunaan vaksin autogenus sangat umum. Di beberapa wilayah Amerika Selatan dan Asia penggunaan vaksinasi mungkin terbatas pada produk-produk komersial yang tersedia dari wilayah lain, dan tergantung pada kemudahan akses terhadap diagnostik dan pengakuan umum bahwa infeksi virus AI adalah sebuah masalah. Praktek biosekuriti umum juga harus diamati dalam proses pencegahan terhadap infeksi AI pada babi. Karena virus Ai juga dapat menular dari manusia ke babi, dan banyak strain virus AI yang bersirkulasi pada babi merupakan akibat penularan dari manusia [29], pencegahan penularan virus AI dari pekerja peternakan yang terinfeksi AI memerlukan pemberlakuan upaya pencegahan seperti misalnya vaksinasi personel, penggunaan masker, dan menyarankan petugas untuk tidak masuk kerja jika mengalami gejala mirip influenza.

Meskipun protokol untuk menghilangkan virus AI dari kawanan babi telah dipublikasikan [42], jika dilihat dari sifat infeksi AI yang bersifat terbatas (self-limiting) dan ditambah dengan reinfeksi kawanan bersifat umum, diskusi tentang menghilangkan virus AI dari kawanan babi mungkin masih terlalu dini untuk dibicarakan. 

  1. Allerson, M., J. Deen, S. E. Detmer, M. R. Gramer, H. S. Joo, A. Romagosa, and M. Torremorell. 2013. The impact of maternally derived immunity on influenza A virus transmission in neonatal pig populations. Vaccine 31:500–505.
  2. Barbe, F., G. Labarque,M. Pensaert, and K. Van Reeth. 2009. Performance of a commercial swine influenza virus H1N1 and H3N2 antibody enzyme-linked immunosorbent assay in pigs experimentally infected with European influenza viruses. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 21:88–96.
  3. Blaskovic, D., V. Rathova, D. Kociskova, M. M. Kaplan, O. Jamrichova, and E. Sadecky. 1970. Experimental infection of weanling pigs with A/Swine influenza virus. 3. Immunity in piglets farrowed by antibody-bearing dams experimentally infected a year earlier. Bulletin of the World Health Organization 42:771–777.
  4. Busquets, N., J. Segales, L. Cordoba, T. Mussa, E. Crisci, G. E. Martin-Valls, M. Simon-Grife, M. Perez-Simo, M. Perez-Maillo, J. I. Nunez, F. X. Abad, L. Fraile, S. Pina, N. Majo, A. Bensaid, M. Domingo, and M. Montoya. Experimental infection with H1N1 European swine influenza virus protects pigs from an infection with the 2009 pandemic H1N1 human influenza virus. Veterinary Research 41:14.
  5. Chander, Y., N. Jindal, D. E. Stallknecht, S. Sreevatsan, and S. M. Goyal. 2010. Full length sequencing of all nine subtypes of the neuraminidase gene of influenza A viruses using subtype specific primer sets. Journal of Virological Methods 165:116–120.
  6. Choi, M. J., C. A. Morin, J. Scheftel, S. M. Vetter, K. Smith, and R. Lynfield. 2015. Variant influenza associated with live animal markets, Minnesota. Zoonoses and Public Health 62:326–330.
  7. Choi, Y. K., S. M. Goyal, and H. S. Joo. 2004. Evaluation of transmission of swine influenza type A subtype H1N2 virus in seropositive pigs. American Journal of Veterinary Research 65:303–306.
  8. Ciacci-Zanella, J. R., A. L. Vincent, J. R. Prickett, S. M. Zimmerman, and J. J. Zimmerman. 2010. Detection of anti-influenza A nucleoprotein antibodies in pigs using a commercial influenza epitope-blocking enzyme-linked immunosorbent assay developed for avian species. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 22:3–9.
  9. De Vleeschauwer, A. R., S. G. Van Poucke, A. I. Karasin, C. W. Olsen, and K. Van Reeth. 2011. Cross-protection between antigenically distinct H1N1 swine influenza viruses from Europe and North America. Influenza and Other Respiratory Viruses 5:115–122.
  10. Diaz, A., M. Allerson, M. Culhane, S. Sreevatsan, and M. Torremorell. 2013. Antigenic drift of H1N1 influenza A virus in pigs with and without passive immunity. Influenza and Other Respiratory Viruses 7:52–60.
  11. Donovan, T. 2005. The role of influenza on growing pig performance. In: 2005 Allen D. Leman Swine Conference. Volume 32. College of Veterinary Medicine, University of Minnesota: St. Paul, MN. 97–98.
  12. Heinen, P. P., E. A. de Boer-Luijtze, and A. T. J. Bianchi. 2001. Respiratory and systemic humoral and cellular immune responses of pigs to a heterosubtypic influenza A virus infection. Journal of General Virology 82:2697–2707.
  13. Heinen, P. P., A. P. van Nieuwstadt, J. M. A. Pol, E. A. de Boer-Luijtze, J. T. van Oirschot, and A. T. J. Bianchi. 2000. Systemic and mucosal isotype-specific antibody responses in pigs to experimental influenza virus infection. Viral Immunology 13:237–247.
  14. Hiromoto, Y., Y. Uchida, N. Takemae, T. Hayashi, T. Tsuda, and T. Saito. 2010. Real-time reverse transcription-PCR assay for differentiating the Pandemic H1N1 2009 influenza virus from swine influenza viruses. Journal of Virological Methods 170:169–172.
  15. Jhung, M. A., S. Epperson, M. Biggerstaff, D. Allen, A. Balish, N. Barnes, A. Beaudoin, L. Berman, S. Bidol, L. Blanton, D. Blythe, L. Brammer, T. D’Mello, R. Danila, W. Davis, S. de Fijter, M. DiOrio, L. O. Durand, S. Emery, B. Fowler, R. Garten, Y. Grant, A. Greenbaum, L. Gubareva, F. Havers, T. Haupt, J. House, S. Ibrahim, V. Jiang, S. Jain, D. Jernigan, J. Kazmierczak, A. Klimov, S. Lindstrom, A. Longenberger, P. Lucas, R. Lynfield, M. McMorrow, M. Moll, C. Morin, S. Ostroff, S. L. Page, S. Y. Park, S. Peters, C. Quinn, C. Reed, S. Richards, J. Scheftel, O. Simwale, B. Shu, K. Soyemi, J. Stauffer, C. Steffens, S. Su, L. Torso, T. M. Uyeki, S. Vetter, J. Villanueva, K. K. Wong, M. Shaw, J. S. Bresee, N. Cox, and L. Finelli. 2013. Outbreak of variant influenza A(H3N2) virus in the United States. Clinical Infectious Diseases 57:1703–1712.
  16. Kim, Y. B. 1975. Developmental immunity in the piglet. Birth Defects Original Article Series 11:549–557.
  17. Kitikoon, P., D. Nilubol, B. J. Erickson, B. H. Janke, T. C. Hoover, S. A. Sornsen, and E. L. Thacker. 2006. The immune response and maternal antibody interference to a heterologous H1N1 swine influenza virus infection following vaccination. Veterinary Immunology and Immunopathology 112:117–128.
  18. Larsen, D. L., A. Karasin, F. Zuckerman, and C. W. Olsen. 2000. Systemic and mucosal immune responses to H1N1 influenza virus infection in pigs. Veterinary Microbiology 74:117–131.
  19. Lee, B.W., R. F. Bey, M. J. Baarsch, and M. E. Larson. 1995. Class-specific antibody response to influenza A H1N1 infection in swine. Veterinary Microbiology 43:241–250.
  20. Lee, J. H., M. R. Gramer, and H. S. Joo. 2007. Efficacy of swine influenza A virus vaccines against an H3N2 virus variant. Canadian Journal of Veterinary Research 71:207–212.
  21. Leuwerke, B., P. Kitikoon, R. Evans, and E. Thacker. 2008. Comparison of three serological assays to determine the cross-reactivity of antibodies from eight genetically diverse U.S. swine influenza viruses. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 20:426–432.
  22. Li, J. P., S. Chen, and D. H. Evans. 2001. Typing and subtyping influenza virus using DNA microarrays and multiplex reverse transcriptase PCR. Journal of Clinical Microbiology 39:696–704.
  23. Loeffen, W. L. A., P. P. Heinen, A. T. J. Bianchi, W. A. Hunneman, and J. H. M. Verheijden. 2003. Effect of maternally derived antibodies on the clinical signs and immune response in pigs after primary and secondary infection with an influenza H1N1 virus. Veterinary Immunology and Immunopathology 92:23–35.
  24. Lorusso, A., K. S. Faaberg, M. L. Killian, L. Koster,and A. L. Vincent. 2010. One-step real-time RT-PCR for pandemic influenza A virus (H1N1) 2009 matrix gene detection in swine samples. Journal of Virological Methods 164:83–87.
  25. Ma, W., and J. A. Richt. 2010. Swine influenza vaccines: current status and future perspectives. Animal Health Research Reviews 11:81–96.
  26. Markowska-Daniel, I., M. Pomorska-Mol, and Z. Pejsak. 2011. The influence of age and maternal antibodies on the postvaccinal response against swine influenza viruses in pigs. Veterinary Immunology and Immunopathology 142:81–86.
  27. Meguro, H., J. D. Bryant, A. E. Torrence, and P. F. Wright. 1979. Canine kidney cell line for isolation of respiratory viruses. Journal of Clinical Microbiology 9:175–179.
  28. Myers, K. P., C. W. Olsen, and G. C. Gray. 2007. Cases of swine influenza in humans: a review of the literature. Clinical Infectious Diseases 44:1084–1088.
  29. Nelson, M. I., D. E. Wentworth, M. R. Culhane, A. L. Vincent, C. Viboud, M. P. LaPointe, X. D. Lin, E. C. Holmes, and S. E. Detmer. 2014. Introductions and evolution of human-origin seasonal influenza A viruses in multinational swine populations. Journal of Virology 88:10110–10119.
  30. Panyasing, Y., C. K. Goodell, C. Wang, A. Kittawornrat, J. R. Prickett, K. J. Schwartz, A. Ballagi, S. Lizano, and J. J. Zimmerman. 2014. Detection of influenza A virus nucleoprotein antibodies in oral fluid specimens from pigs infected under experimental conditions using a blocking ELISA. Transboundary and Emerging Diseases 61:177–184.
  31. Poljak, Z., C. E. Dewey, S. W. Martin, J. Christensen, and R.M. Friendship. 2010. Field efficacy of an inactivated bivalent influenza vaccine in a multi-site swine production system during an outbreak of systemic porcine circovirus associated disease. Canadian Journal of Veterinary Research 74:108–117.
  32. Renshaw, H.W. 1975. Influence of antibody-mediated immune suppression on clinical, viral, and immune responses to swine influenza infection. American Journal of Veterinary Research 36:5–13.
  33. Reynolds, J. J. H., M. Torremorell, and M. E. Craft. 2014. Mathematical modeling of influenza A virus dynamics within swine farms and the effects of vaccination. PLoS One 9:e106177.
  34. Romagosa, A., M. Allerson, M. Gramer, H. S. Joo, J. Deen, S. Detmer, and M. Torremorell. 2011. Vaccination of influenza A virus decreases transmission rates in pigs. Veterinary Research 42:120.
  35. Romagosa, A., M. Gramer, H. S. Joo, and M. Torremorell. 2012. Sensitivity of oral fluids for detecting influenza A virus in populations of vaccinated and non-vaccinated pigs. Influenza and Other Respiratory Viruses 6:110–118.
  36. Salmon, H., M. Berri, V. Gerdts, and F.Meurens. 2009. Humoral and cellular factors of maternal immunity in swine. Developmental and Comparative Immunology 33:384–393.
  37. Slomka, M. J., A. L. E. Densham, V. J. Coward, S. Essen, S. M. Brookes, R. M. Irvine, E. Spackman, J. Ridgeon, R. Gardner, A. Hanna, D. L. Suarez, and I. H. Brown. 2010. Real time reverse transcription (RRT)-polymerase chain reaction (PCR) methods for detection of pandemic (H1N1) 2009 influenza virus and European swine influenza A virus infections in pigs. Influenza and Other Respiratory Viruses 4:277–293.
  38. Spackman, E., D. A. Senne, T. J.Myers, L. L. Bulaga, L. P. Garber, M. L. Perdue, K. Lohman, L. T. Daum, and D. L. Suarez. 2002. Development of a real-time reverse transcriptase PCR assay for type A influenza virus and the avian H5 and H7 hemagglutinin subtypes. Journal of Clinical Microbiology 40:3256–3260.
  39. Spackman, E. and D. L. Suarez. 2008. Type A influenza virus detection and quantitation by real-time RT-PCR. Methods in Molecular Biology 436:19–26.
  40. Swenson, S. L., L. L. Vincent, B. M. Lute, B. H. Janke, K. F. Lechtenberg, J. G. Landgraf, B. J. Schmitt, D. R. Kinker, and J. K. McMillen. 2001. A comparison of diagnostic assays for the detection of type A swine influenza virus from nasal swabs and lungs. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 13:36–42.
  41. Thacker, E. L., B. J. Thacker, and B. H. Janke. 2001. Interaction between Mycoplasma hyopneumoniae and swine influenza virus. Journal of Clinical Microbiology 39:2525–2530.
  42. Torremorell, M., A. Juarez, E. Chavez, J. Yescas, J. M. Doporto, and M. Gramer. 2009. Procedures to eliminate H3N2 swine influenza virus from a pig herd. Veterinary Record 165:74–77.
  43. Van Reeth, K., V. Gregory, A. Hay, and M. Pensaert. 2003. Protection against a European H1N2 swine influenza virus in pigs previously infected with H1N1 and/or H3N2 subtypes. Vaccine 21:1375–1381.
  44. Van Reeth, K., H. Nauwynck, and M. Pensaert. 1996. Dual infections of feeder pigs with porcine reproductive and respiratory syndrome virus followed by porcine respiratory coronavirus or swine influenza virus: a clinical and virological study. Veterinary Microbiology 48:325–335.
  45. Vincent, A. L., J. R. Ciacci-Zanella, A. Lorusso, P. C. Gauger, E. L. Zanella, M. E. Kehrli, B. H. Janke, and K. M. Lager. 2010. Efficacy of inactivated swine influenza virus vaccines against the 2009 A/H1N1 influenza virus in pigs. Vaccine 28:2782–2787.
  46. Vincent, A. L., K. M. Lager, M. Harland, A. Lorusso, E. Zanella, J. R. Ciacci-Zanella, M. E. Kehrli, and A. Klimov. 2009. Absence of 2009 pandemic H1N1 influenza A virus in fresh pork. PLoS One 4:e8367.
  47. Vincent, A. L., K. M. Lager, B. H. Janke, M. R. Gramer, and J. A. Richt. 2008. Failure of protection and enhanced pneumonia with a USH1N2 swine influenza virus in pigs vaccinated with an inactivated classical swine H1N1 vaccine. Veterinary Microbiology 126:310–323.
  48. Vincent, A. L.,W. J. Ma, K. M. Lager, J. A. Richt, B. H. Janke, M. R. Sandbulte, P. C. Gauger, C. L. Loving, R. J.Webby, and A. Garcia-Sastre. 2012. Live attenuated influenza vaccine provides superior protection from heterologous infection in pigs with maternal antibodies without inducing vaccine-associated enhanced respiratory disease. Journal of Virology 86:10597–10605.
  49. Yang, Y. W., R. Gonzalez, F. Huang, W. Wang, Y. J. Li, G. Vernet, J. W. Wang, and Q. Jin. 2010. Simultaneous typing and HA/NA subtyping of influenza A and B viruses including the pandemic influenza A/H1N1 2009 by multiplex real-time RT-PCR. Journal of Virological Methods 167:37–44.
  50. Zhou, B., M. E. Donnelly, D. T. Scholes, K. S. George, M. Hatta, Y. Kawaoka, and D. E. Wentworth. 2009. Single-reaction genomic amplification accelerates sequencing and vaccine production for classical and swine origin human influenza A viruses. Journal of Virology 83:10309–10313.


DISCLAIMER

Artikel terjemahan ini dimaksudkan bagi pembaca berbahasa Indonesia untuk dapat mempelajari artikel keilmuan terkait. Penerjemah tidak mendapatkan keuntungan apapun dari kegiatan penerjemahan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *